Tiga

71 1 1
                                    

SENJA menatap pantulan wajahnya di cermin. Terlihat masih pucat sekali, bagaimana jika Fajar menyadari itu. Pasti Fajar akan banyak bertanya. Senja menghela nafas lalu memoles sedikit wajahnya dengan bedak dan memakai lipbalm, setidaknya ini bisa menutupi wajah pucatnya. Hingga suara klakson motor dari bawah terdengar.

Itu pasti Fajar, batin Senja.

Senja meraih tasnya dan melangkah keluar kamar.

"Non Senja mau makan dulu?" Tanya bi Tini yang sedang menyapu pada Senja yang baru saja turun dari tangga.

Senja tersenyum. "Enggak, bi. Aku sarapan di sekolah aja." Senja mengedarkan pandangannya ke setiap sudut rumah, sepi. "Bi, mama belum pulang? Kak Agung juga kemana?"

"Nyonya semalem pulang tapi pergi lagi subuh. Kalau den Agung, setelah dari kamar non langsung pergi pakai motornya dan belum pulang."

"Yaudah, bi kalau gitu aku pergi dulu, ya."

"Iya, non. Oh iya jangan lupa obatnya di bawa, non."

Senja mengangguk lalu melangkah pergi. Obat-obat itu sudah ada di tas Senja sejak malam karena Agung yang memasukannya. Diam-diam dia tersenyum miris saat mengingat dirinya harus bertahan hidup dengan obat-obatan yang belum pasti akan menyembuhkan penyakitnya. Jika bisa, Senja lebih baik memilih mati daripada harus seperti ini.

Senja menutup pintu utama rumahnya dan dari sini dia bisa melihat Fajar duduk di motornya yang terparkir di depan rumah Senja seraya mengobrol dengan pak Tanto. Sesekali Fajar dan pak Tanto tertawa bersama. Pandangan Fajar beralih pada Senja yang berjalan menghampirinya. Saat itu juga senyum Fajar mengembang.

"Pagi, Senja." Sapa Fajar pada Senja yang sudah berdiri di samping motornya.

"Pagi," Balas Senja.

Fajar memperhatikan wajah Senja yang pagi ini sedikit berbeda dari biasanya. Fajar manaruh punggung tangannya di kening Senja.

"Apaan, sih." Senja menepis tangan Fajar.

"Kamu keliatan, ummm... sedikit pucat? Masih sakit?"

Seketika Senja tidak bisa berkata apa-apa lagi. Dia berpikir keras untuk mencari alasan. "A-aku sehat, kok."

Fajar menghela nafas. Dia tahu jawaban Senja bukan yang sebenarnya. Tidak mungkin, kan cuman kecapean tapi pucatnya sampe sekarang? Hanya orang bego yang tidak bisa lihat wajah pucat Senja. Fajar memilih tidak membahas itu, dia menyalakan motornya. Lalu memberikan helm pada Senja.

Senja bisa bernapas lega, karena ternyata Fajar tidak terlalu mempermasalahkan itu. Dengan cepat Senja naik ke atas motor Fajar dan melingkarkan tangannya di pinggang Fajar seiring dengan motor Fajar yang melaju meninggalkan rumahnya.

***

Saat motor Fajar memasuki area sekolah, banyak siswa terutama cewek yang melihat Fajar dengan spechles karena jarang-jarang mereka lihat cogan yang biasanya kesiangan datang pagi ke sekolah. Senja turun dari motor Fajar dan menyerahkan helm yang tadi ia pakai pada Fajar lalu dia merapikam sedikit rambutnya yang berantakan.

Alis Fajar bertaut saat dia melihat tangan Senja yang sibuk merapikan rambutnya. Fajar meraih tangan Senja secara tiba-tiba lalu memperhatikan punggung tangan Senja lamat-lamat dan dia turun dari motornya. Sedangkan Senja kini sudah gelisah, kenapa dia lupa dengan bekas infus di tangannya.

Fajar menatap Senja dengan datar. "Kamu di infus?"

"Gak, Faj-"

"Senja,"

Senja menghela nafas, "Oke. Iya, semalem aku diinfus karena kak Agung udah terlan-"

"Berarti semalem kamu bohong sama aku." Fajar memegang kedua bahu Senja dan menatap gadis itu dengan tatapan datar. Fajar tidak suka dibohongi.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 20, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SENJA FAJAR [Slow Update]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang