Horus membenci Roe.
Semuanya bermula pada hari yang panas itu. Anak itu tidak sengaja menyenggol Horus, membuatnya menjatuhkan es krim miliknya, satu-satunya hal yang tidak membuat Horus kesal waktu itu. Jadi, sebagaimana apa yang biasanya dilakukan Horus ketika ia marah, ditonjoknya orang itu.
Horus tidak suka pada bagaimana anak yang lebih tua dan tinggi darinya itu membalas pukulannya, bukannya menangis dan lari seperti yang Horus harapkan. Bahkan, ketika mereka sudah biru-biru dan dimarahi oleh orangtua yang melihat mereka, anak itu hanya tersenyum.
Ia benci nama anak itu. Karena itulah Horus memanggilnya dengan nama keluarganya : Roe, dari Munroe. Ia juga benci akan bagaimana ia jauh menyukai nama baru itu. Rasanya lebih layak untuknya.
Horus juga benci pada kenyataan kalau Roe satu sekolah dengannya, memudahkan mereka untuk memulai perdebatan yang berakhir dengan pertengkaran fisik. Ia benci pada bagaimana tidak satu pun dari mereka menang atau kalah, tiap kali. Guru UKS mereka saja sampai bosan.
Ketika Horus sudah lebih besar, ia membenci Roe lebih lagi karena tiap adu mulut yang mereka lakukan, selalu dimenangi olehnya, membuat Horus terobsesi untuk mengalahkannya. Pertarungan fisik mereka yang biasa terlupakan, meski saat itu tinggi Horus akhirnya melebihi Roe.
Senyum percaya diri Roe selalu bertahan di sana.
Horus tidak pernah memedulikan kata-kata orang. Mereka berkata kalau Horus dan Roe sebenarnya bisa berteman. Berteman? Ha! Kau harusnya lihat bagaimana kita "berkenalan"! Untuk pertama kalinya Horus dan Roe setuju pada sesuatu, dan Horus masih membencinya.
Ketika umur Roe sudah cukup untuk mengantarnya pergi ke perguruan tinggi, segalanya berhenti. Dengan tas besar di tangan, Roe pergi.
Senyum percaya dirinya masih ada.
Horus membencinya. Ia membenci bagaimana kantin sekolah tempatnya ia adu mulut dengan Roe dulu terasa kosong meski padat dengan murid. Ia membenci orang-orang yang tidak bisa memicu adrenalinnya seperti Roe. Ia membenci semuanya.
Tapi ia lebih benci pada kota tempat Roe pindah, apalagi apartemennya. Oh, Demi Tuhan, betapa ia benci pada peraturan-peraturan Roe, pada tugas-tugas yang harus ia kerjakan, dan pada gedung yang harus mereka bagi berdua. Roe tidak pernah puas pada masakan Horus, terus-menerus menganggu hidup Horus yang tenang. Horus membencinya.
Roe selalu punya senyum percaya diri yang menyebalkannya itu, jadi Horus tidak heran ketika ia menjadi seorang detektif. Horus membencinya, apalagi kalau ia pulang malam, stress sendiri, dan kelihatan pucat sehabis kerja.
Meski begitu, senyum percaya dirinya masih ada. Senyum menyebalkan itu.
Hari itu panas, seperti biasa. Roe telat bangun dan sibuk bertengkar dengan Horus sambil bersiap-siap, menyalahkan Horus karena tidak membangunkannya. Horus menggeram, mengatakan kalau sudah cukup Roe terpaku pada pekerjaannya. Mereka menjulurkan lidah pada satu sama lain, dan Roe pergi. Horus membencinya.
Bencinya sampai pada puncak ketika telepon tersebut datang, berdering pada ponselnya. Ia benci perjalanannya menuju rumah sakit. Ia benci pada waktu yang ia buang ketika ia menunggu operasi terkutuk itu selesai. Ia membencinya. Sungguh-sungguh membencinya.
Dan Roe kehilangan senyum menyebalkannya itu.
Malamnya, Horus pulang. Oh, tentu, ia benci pada peratura-peraturan Roe di tempat itu, namun ia lebih membencinya lagi karena sekarang ia tidak perlu mematuhinya lagi. Ia membenci ocehan Roe tentang masakan Horus yang meski menurutnya sempurna, tidak pernah Roe sukai, namun ia lebih tidak suka ketika sadar kalau makanannya tidak akan dikritik lagi. Ia tentu saja benci pada Roe, namun ia lebih benci pada kenyataan kalau Roe sudah tidak ada di sisinya lagi.
Heh. Ironis. Bayangkan kalau Horus tidak menonjoknya pada pertemuan pertama. Apakah mereka akan berjabat tangan, dan berkenalan dengan senyum? Jika sekali saja Horus mengalah, apakah mereka akan berteman? Jika Horus melarangnya untuk pergi bekerja pagi itu, akankah Roe masih hidup sampai sekarang, dan tidak ditembak sampai mati?
Jika satu hari dari hidup mereka diulang terus, dan terus, dan terus, apakah mereka bisa mengubah takdir ini? Apakah mereka bisa mengubah hubungan mereka?
"Tentu saja tidak, bodoh," Horus dapat mendengar Roe berkata. "Kita musuh alami –nemesis, bukan begitu?"
Horus tersenyum, membiarkan air matanya mengalir. Oh, betapa ia benci pada pelukan mereka, ciuman mereka, dan Roe. Betapa ia benci pada Roe, karena teganya orang tersebut meninggalkannya tanpa memberinya kesempatan untuk mengatakan kalau Horus mencintainya.
Horus mencintainya.
Hari itu panas seperti biasa, dan pada suatu sisi dunia, pada suatu dimensi lain, dua anak sedang berkenalan.
-On that Summer : Horus-
End.
KAMU SEDANG MEMBACA
On that Summer
Short StorySebuah cerita mengenai si Rambut Merah, Roe, dan hari yang panas itu