On that Summer : Roe

13 2 0
                                    


     Riley Munroe selalu ketakutan.

     Ia takut ketika orangtuanya bertengkar ketika ia masih terlalu muda untuk mengerti kenapa. Ia takut ketika petir menyambar pohon di dekat rumahnya dan tidak ada orang untuk menolongnya. Ia takut ketika ia pikir ia akan seperti itu selamanya.

     Maka ia belajar untuk menjadi berani. Ia belajar untuk tersenyum. Ia belajar bagaimana caranya menjaga dirinya sendiri, menyembunyikan apa pun yang ada di hatinya.

     Hari itu adalah hari yang amat panas, dan Riley menyukainya. Rasanya seakan ia bebas; rasanya seakan ia jauh dari kegelapan karena malam terasa pendek dan siang terasa panjang. Pada saat itulah ia bertemu dengan si Rambut Merah. Si Rambut Merah yang marah karena Riley tidak sengaja menabraknya, menumpahkan es krim yang sudah setengah mencair di tangannya.

     Oh, Riley sudah akan minta maaf, tentu, namun si Rambut Merah itu benar-benar marah. Tonjokannya membuat Riley kalap. Kalau ia tidak membalas, maka ia akan terus ditindas seumur hidupnya, itulah yang Riley ketahui. Maka, ia membalas. Mereka terus bertengkar sampai kulit mereka memar-memar, dan ketika seorang orangtua asing mengomeli Riley dan si Rambut Merah, Riley hanya tersenyum. "Melaporkan kepada orangtuamu?" Apakah ia bahkan punya orangtua?

     Kelihatannya si Rambut Merah –Horus –malah jauh lebih peduli kepadanya. Bocah itu melotot kencang-kencang ketika ia mendapati kalau Riley satu sekolahan dengannya, berbeda dengan Riley yang sudah memperhatikan rambutnya yang menyala itu sejak lama.

     Riley juga bukan tipe orang yang suka diganggu, jadi ketika Horus mengajakinya bertengkar, oh, tentu ia tidak mundur. Meski begitu, Horus lebih tampak menggelikan padanya, daripada menyeramkan atau mengesalkan. Tapi si Rambut Merah tampaknya bertekad keras untuk mengalahkan. "Roe", begitu ia memanggil Riley. Katanya, nama Riley adalah nama yang tidak cocok untuknya, dan "Roe" setuju. Dalam sekejap, "Roe" jatuh cinta pada nama tersebut, meninggalkan nama yang diberikan oleh orangtua yang meninggalkannya pula. Ia juga jatuh cinta pada bagaimana Horus memberinya hidup –memberinya pertarungan-pertarungan menantang yang mengisi hidup Roe, menggantikan semua kekosongannya.

     Senyum Roe ada di sana asalkan Horus ada di sana. Senyum percaya diri menyebalkan, begitu Horus menyebutnya, namun Roe tidak keberatan. Itulah senyumannya.

     Beberapa orang mengatakan kalau sebenarnya Horus dan Roe bisa jadi teman yang baik, dan Roe hanya tertawa sarkastik, dalam hati menyesali pertemuan pertamanya dengan Horus yang amat buruk. Horus, seperti dugaannya, tentu saja memelototi orang tersebut, yang langsung kabur ketakutan.

     Ketika Roe sudah cukup umur, ia pergi ke kota sebelah, memasuki universitas idamannya. Kumpulan teman-temannya yang luar biasa sedikit datang untuk mengucapkan selamat tinggal. Saking sedikitnya, Roe dapat melihat Horus, berdiri memojok dan menatap Roe dari kejauhan. Roe tersenyum padanya, melambai ketika ia menaiki keretanya, ingin ikut menangis melihat tangisan Horus yang jelas ia usahakan untuk tidak tampak. Kedua pipi si Rambut Merah itu nyaris sama merahnya dengan rambutnya itu, mungkin karena marah atau menahan emosi.

     Senyum Roe masih ada, asalkan ia yakin kalau ia akan bertemu dengan Horus lagi.

     Lingkungan baru itu terasa nyaris menyesakkan tanpa adu mulutnya dengan Horus –mereka sudah terlalu tua untuk adu fisik lagi. Ia merindukan Horus, yang kini tingginya sudah jauh melebihinya. Ia merindukan rasa aman yang dapat diberikan si Rambut Merah pemarah kepadanya, karena biarpun ia selalu bertengkar dengan Roe, ia bersedia menggebuki siapa saja yang berani menindas Roe.

     Roe terkejut ketika Horus muncul di depan pintu apartemennya setahun kemudian, menerobos masuk dan langsung memutuskan untuk tinggal bersama Roe. Oh, tentu, ia akan menyengsarakan si Rambut Merah dengan banyak pekerjaan rumah –kadang fisiknya tidak memungkinkannya untuk melakukan itu semua. Dan tentu, si Rambut Merah membenci semua pekerjaanya; bangun pagi, menyiapkan sarapan, dan mencuci piring. Menurut Roe, Horus sama sekali tidak bisa memasak karena ia suka salah memasukkan bumbu atau memasak makanannya sampai gosong, namun ia toh memakannya. Horus suka tidak terima kalau masakannya yang "sempurna" dibilang tidak enak, dan Roe suka menjahilinya karena itu.

      Pekerjaan menjadi makin berat baginya semenjak itu. Tubuhnya suka mati rasa. Kepalanya sering pusing. Ia sering pulang telat, jauh setelah tengah malam, masih memikirkan kasus-kasus yang diambilnya sebagai seorang detektif, dan stress sendiri. Horus akan menyeretnya ke kasur dan menggulungnya dalam selimut, menungguinya sampai ia tidur, meski ia menggerutu dan marah-marah.

     Roe tersenyum. Horus ada bersamanya.

     Hari itu panas, seperti biasa. Roe bangun dari ranjang dan sadar kalau ia telat –Horus tidak membangunkannya. Itulah pertama kalinya ia benar-benar menjerit pada Horus setelah sekian tahun –seorang gadis kecil tengah berada dalam tangan penculik dan ia butuh untuk menyelamatkannya. Horus berteriak balik kepadanya, berseru kalau tubuh Roe tidak akan sanggup terus-menerus dipaksa untuk bekerja. Roe yang keras kepala menegaskan kalau ia benar-benar perlu menyelesaikan kasus yang satu itu. Horus geleng-geleng. Mereka saling menjulurkan lidah pada satu sama lain, dan sebelum Roe pergi, Horus menciumnya di dahi, seperti biasa.

     Roe benci bagaimana Horus mengetahuinya jauh lebih baik daripada siapa pun, karena ia benar. Tubuh Roe tidak sanggup. Ketika ia pergi untuk menyelamatkan si gadis kecil yang diculik, ia kena batunya. Peluru menembus perutnya seakan-akan tubuhnya adalah kain. Ia mendengar rekan-rekan kerjanya panik, beberapa menangkap si penculik dan mengamankan senjatanya.

     Di mana? Di mana Horus?

     Di mana si Rambut Merah kesayangannya? Yang meski sering kehilangan kesabaran dan suka marah-marah, selalu merawat Roe kalau sakit? Yang selalu menungguinya sampai pulang kalau-kalau ia telat? Yang selalu perlu Roe ajari dulu karena selalu tertinggal pelajaran di kelas –meski ia kelihatan malu minta ampun karena Roe melakukannya? Mana Horus? Mana si Rambut Merah yang selalu memberinya ciuman selamat malam?

     Kalau ia dulu tidak tidak sengaja menjatuhkan es krim Horus, apakah mereka akan berteman? Kalau ia dulu tidak membalas tonjokan Horus, apakah mereka akan berbeda sekarang? Jika saja ia menyetujui kata Horus dan tidak jadi pergi bekerja hari ini, apakah sesuatu akan berubah?

     "Jangan konyol," begitu Roe yakin Horus akan berkata. Samar-samar, suara tersebut mengecil bersama dengan kesadaran Roe. "Mukamu selalu membuatku kesal, Roe, jadi mana mungkin kita bisa berteman?"

     Ah, Roe ingin ciuman selamat malamnya yang lembut itu.

     Tapi tak apalah. Horus ada bersamanya. Si Rambut Merah ada bersamanya. Selalu.

     Ia tahu itu.

     Hari itu panas seperti biasa, dan pada suatu sisi dunia, pada suatu dimensi lain, dua anak sedang berkenalan.




-On that Summer : Roe-

End.

On that SummerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang