Sebuah mobil melewati jalan mulus berkelok dengan laju yang cukup kencang. Meski bukan keluaran terbaru, tapi catnya masih mengkilat. Mungkin karena dirawat penuh kasih sayang oleh sang pemilik. Sesekali pengemudi menurunkan kecepatannya di medan bergelombang, menghasilkan goncangan yang menganggu mimpi salah seorang penumpang.
Di dalamnya terdapat 5 orang. Gadis di bangku depan tampak sesekali berbincang dengan pengemudi, menanyakan arah hingga membahas problem antar saudara sebangsa yang sedang hangat di media. Sungguh percakapan tingkat tinggi yang dihindari penumpang lain. Dua lainnya dibangku tengah, sibuk bergurau sembari berebut makanan dalam kemasan yang mereka beli sebelum berangkat. Sementara sisanya di belakang sedang meraih mimpinya lagi.
"Al, perjalanannya sejauh mana lagi?" tanya gadis yang duduk di tengah, tepat di belakang bangku pengemudi.
"Kira-kira satu sampai dua jam lagi," jawab Alma sehabis melihat jam tangan hitam yang membalut pergelangan tangan kirinya.
Gadis yang bertanya tadi mengangguk paham. Dia melanjutkan obrolannya dengan gadis di sampingnya.
Berbagai arang lintang mereka lewati, segala kegiatan dilakukan untuk mematikan rasa lelah atas perjalanan panjang ke empat gadis tersebut.
"Za, kamu sudah siapkan kamera? Baterainya full? Fay, sudah kamu pastikan membawa catatan pertanyaannya? Ara... Siapkan oleh-olehnya. Semuanya kalian harus pastikan siap dengan tepat, ini bukan proyek main-main," jelas Alma, selaku pemimpin tim.
Agaknya ketiga nama gadis yang disebut langsung sibuk membenahi kembali segala persiapan yang dititahkan sang ketua.
Memasuki jalanan desa, mobil berguncang lebih sering dari biasanya. Berhenti beberapa kali untuk menanyakan arah tujuan. Dan sampailah mereka di sudut desa Gundih.
Mobil terparkir di tepian jalan, diatas tanah kering berbatu. Tak jauh dari sana, tampak rumah kayu berdiri sendiri. Ayam-ayam berlarian melintasi halaman sempitnya. Pakaian model lama tergantung tak beraturan di sepanjang tali yang membentang di dua batang bambu tak sejajar.
Gadis di bangku depan turun terlebih dahulu, merogoh tasnya mencari kertas dan pena. "Sekalian masuk saja, Hes?"
"Disini saja." Pengemudi tampak enggan turun, meraih sebatang tembakau sembari menjawab, "Mau ini dulu."
Alma mengangguk mengerti. "Baiklah," ucapnya. Ia lalu memandang ke kursi penumpang yang ada dibelakang dan memasang wajah serius. "Ayo turun."
Kawanan gadis dengan misi satu itu semakin mendekatkan langkah melewati keadaan rumah tua nan amat sederhana, mereka mencari keberadaan sang tokoh utama untuk misi keempat mahasiswi tersebut.
"Sepertinya rumah ini... Aku merasa masuk dalam jaman itu." Liza menyatakan pendapatnya seraya menerawang sekeliling pemandangan rumah terlampau kuno itu.
"Aku juga merasa seperti itu. Sungguh... aku merinding, apalagi mengetahui informasi tentang bagaimana kehidupannya dulu." Fay ikut memaparkan pendapatnya, sedang pemimpin mereka tengah sibuk mengetuk pintu kayu tua dihadapannya.
Gadis bernama Ara memegang tengkuknya sembari menatap Alma yang tak jauh dari tempatnya berdiri. "Al ... waktu itu apa kamu tidak takut kesini sendiri?"
Yang ditatap hanya tersenyum kecil seolah berkata 'semua baik-baik saja disini' atau lebih singkatnya 'aman'.
Tok tok tok
"Permisi," ucap Alma selaku pemandu ketiga rekannya sesaat setelah ketukan tangannya mengulur.
Teman yang menjadi pengemudi masih santai bersandar di kap depan mobil, begitu tenangnya ia menghisap sebatang benda penghilang stres –ungkap kebanyakan pecandunya- menemani kegiatan para gadis yang tengah melaksanakan tugas masing-masing.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sekuntum Layu dalam Genggam Serdadu
Historical FictionSebuah cerita yang dikisahkan dengan penuh lapang dada. Digarap dan ditulis oleh hati yang teriris. ©2016 by Alra Fayza (AWI's Historical Team)