Dio memarkirkan motornya di garasi rumah, dia segera turun dari motor dan menghampiri mobil box yang membawa barang - barang milik almarhum Zinan.
"Langsung dibawa masuk aja Pak, parkir di halaman," ujar Dio.
Rumah terlihat sepi, tapi Dio tahu kalau mama dan adiknya ada di dalam. Gimana cara ngomongnya sama mama?, pertanyaan itu tiba - tiba melintas di benak Dio. Dio mengeratkan pegangannya pada tas plastik besar yang dia jinjing, kado dari Zinan, dia menyempatkan diri mampir ke sebuah toko dan meminta pramuniaga membungkus benda - benda itu ke dalam kotak kado.
"Ditaruh dimana ini bang?" tanya sopir mobil box itu.
"Motornya masukin garasi aja pak. Barang - barang lainnya ditaruh dalem. Nanti saya kasih tahu letaknya," jelas Dio.
Barang - barang Zinan mulai diturunkan oleh sopir dan dua orang lainnya, seiring dengan itu jantung Dio berdetak semakin kencang. Dia dilanda kebingungan tentang bagaimana caranya menceritakan apa yang terjadi pada keluarganya.
"Dek, bantuin gue," batin Dio.
Motor Zinan sudah berada di garasi, kali ini tinggal menurunkan barang - barang lainnya.
"Yang ini masuk ya bang," Dio mulai berjalan ke arah rumah. Dia sempat berdo'a sebentar sebelum membuka pintu rumah.
Ruang tamu kosong, dia terus berjalan ke arah kamar Zinan yang bersebelahan dengan kamarnya. Kamar Zinan tidak pernah dikunci, biasanya dia atau ayahnya tidur di kamar itu. Tapi kali ini ada aura yang berbeda saat Dio memasuki kamar itu. Aura kesedihan, Dio tahu bahwa itu hanya perasaannya, hanya karena dia tahu pemilik kamar itu tidak akan kembali menempati ruangan ini lagi.
"Taruh pojok situ aja bang," Dio kembali mengarahkan. Dia mengamati kedua orang itu meletakkan sebuah kardus besar di sudut, kemudian diletakkannya tas plastik besar yang sedari tadi dia bawa.
Sudah ada empat kardus besar yang diletakkan di kamar itu saat Arin, mamanya memasuki kamar itu dan menatap Dio dengan penuh tanda tanya.
"Dio apa ini? Milik siapa?" tanya Arin.
Dio gelagapan, dia masih bingung harus menjawab apa.
"Dio, ini barang - barang milik siapa? Zinan?" pertanyaan Arin semakin menuntut. Matanya memancarkan sorot harapan saat menyebut nama Zinan.
"Kamu berhasil ketemu sama Zinan?"
"Bang, ini yang terakhir ya?" ujar salah seorang pengangkut barang itu, masing - masing dari mereka membawa sebuah kardus berukuran lebih kecil.
"Iya pak," sahut Dio, dia beralih menatap mamanya, "Nanti Dio jelasin ya ma," ujarnya.
Arin masih menatap tidak rela saat Dio memfokuskan dirinya pada ketiga orang yang sedari tadi mengangkut barang - barang itu. Pandangan mata Arin menatap ke arah kardus - kardus yang baru diturunkan. Dia berjalan ke arah sudut kamar. Semua kardus itu diselotip rapi, dia tidak tahu apa yang ada di dalamnya. Arin menoleh ke arah Dio yang berjalan ke arahnya, ketiga orang asing tadi sudah pergi dari kamar Zinan.
"Ini apa Di?" Arin kembali mengulang pertanyaannya.
Dio menunduk menatap kardus - kardus itu, dalam hati sedikit merutuk karena feeling ibunya cukup kuat.
"Benar milik Zinan?"
Lihatlah, bahkan Arin tidak perlu menunggu jawaban dari Dio untuk menanyakan hal selanjutnya. Dan tebakannya benar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Goodbye (Sekuel 'Gift')
Short StorySepeninggal Zinan, Dio berusaha menyampaikan keinginan terakhir Zinan. Memberikan kado pada masing - masing anggota keluarganya, dan meminta maaf atas nama Zinan. Dio gelisah tentang bagaimana reaksi keluarganya -- terutama ayahnya --, tapi dia teta...