Naik satu tingkatan ke grade 11, bagiku sama artinya dengan kehilangan sahabat terbaik dalam hidup.
Sebuah pesan di mobile messenger yang masuk ke ponselku barusan seakan menegaskan kenyataan ini.
Mary : Em, aku baru sampai di Calabasas. Tempat ini benar-benar indah! Suatu hari kau harus datang ke sini!
Mary : Oh, sampaikan juga salamku pada Gran . Aku pasti rindu apple pie buatanya :*
Aku mengerang saat membaca pesan itu. Rasanya air mata yang susah payah kubendung sejak semalam tumpah lagi. Aku baru saja ditinggalkan. Sahabatku, Marion—Mary—Scott sekaligus tetangga sebelah rumah terpaksa melanjutkan sekolah ke Calabasas, sebuah kota di negarabagian California karena ibunya yang single parent memutuskan untuk menikah lagi dengan seorang pria kaya yang tinggal di sana.
Sepuluh tahun bersama membuatku berat untuk merelakan kepergiannya. Kalau bukan karena bertetangga, kami tak akan saling kenal. Kalau bukan karena berbagi meja saat makan siang di cafeteria, kami tak akan akrab seperti sekarang. Kalau bukan karena sifatnya yang super-duper blakblakan yang lama-lama menular padaku, aku tak akan pernah menjadi diri sendiri. Intinya, kami telah melalui banyak hal bersama dan aku sangat menyayangi sahabatku yang satu itu.
Kini, kami dipisahkan antara Oregon dan California, Sweet Home dan Calabasas. Walaupun aku dan Mary masih bisa berhubungan setiap hari melalui telepon atau mobile messenger, rasanya pasti tidak akan sama. Kami tak lagi bisa saling memeluk saat sedang senang atau menepuk bahu saat salah satu dari kami mengalami masa-masa sulit.
Aku juga bakal kehilangan kebiasaan menerbangkan pesawat kertas. Dulu, aku dan Mary sepakat untuk mengirimkan pesan melalui pesawat kertas saat kami kesulitan mengucapkan apa yang ingin kami sampaikan. Pesawat kertas tersebut akan kami terbangkan dari teras kamarku ke teras kamarnya, atau sebaliknya.
Aku ingat betul kebiasaan ini dimulai saat kami berusia sembilan tahun, Mary menerbangkan pesawat kertas yang berisi permohonan maaf karena tanpa sengaja memutuskan senar gitarku. Aku pernah mengungkapkan penyesalanku karena menghabiskan liburan musim panas di rumah Mom di Sandpoint saat kenaikan kelas. Ya, hal-hal sensitif semacam itu yang kadang kala terlalu sulit diucapkan langsung.
"Kau menangis lagi?" tanya Gran takjub saat aku bergabung dengannya di meja makan untuk sarapan.
Kedua orangtuaku sudah bercerai, dan kini aku hanya tinggal berdua dengan Gran. Mom menikah lagi dan memutuskan ikut suaminya ke Idaho, tepatnya di kota Sandpoint. Sementara Dad, tetap di Sweet Home dan tinggal sendiri tidak jauh dari rumah Gran. Ia tidak membawaku tinggal bersamanya karena kesibukannya yang sering bepergian membuatnya lebih memercayakanku pada Gran. Kami sudah sebelas tahun hidup terpisah, dan bergantian saling mengunjungi. Kalau bukan aku yang datang ke rumahnya, pasti Dad yang akan datang ke rumah Gran.
Gran mirip sekali dengan ibuku, mereka sama-sama berpostur tubuh ideal. Hanya saja mereka memiliki warna rambut yang berbeda. Rambut Gran kini sudah seluruhnya berwarna abu-abu sementara rambut Mom berwarna hitam—Mom mewarisi setengah darah Indonesia. Gran dulu sempat tinggal di Indonesia, tepatnya di Bali, dan menikahdengan seorang seniman lokal di sana. Mereka memiliki seorang anak perempuan bernama Elizabeth—Lizzy, ibuku. Namun, Gramps2—Made—meninggal karena serangan jantung.
Awalnya Gran mencoba bertahan tinggal di Bali, dengan semua kenangan tentang Gramps. Namun, kenangan-kenangan itu justru selalu membuatnya terkungkung kesedihan. Dengan berbagai pertimbangan, Gran meminta izin pada keluarga Gramps untuk kembali ke Sweet Home dan memboyong ibuku, anaknya satu-satunya. Gran tidak pernah menikah lagi setelahnya dan memilih tetap melajang sampai sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Home
Teen FictionSINOPSIS: Salah satu pemenang lomba menulis novel 100 Days of Romance Bagi Emily Cox, naik ke grade 11 sama dengan gejolak emosi yang tiada habisnya. Matthew Cooper, pacar sekaligus temannya sejak kecil, memutuskan hubungan mereka. Sementara Marion...