Suara Skeeter Davis menggema di ruang tengah. Gran memang punya kebiasaan menyetel lagu penyanyi beralirancountry yang memulai karier di awal tahun 1960-an itu setiap saat. Kadang-kadang, kalau ia ingin mendengarkan saat menulis artikel untuk The News Line, Gran memutarnya dalam volume kecil agar tak mengganggu konsentrasinya. Gran memang selalu tergoda berdansa atau bernyanyi mengikuti lirik lagu, sehingga sering kali mengganggu kegiatannya.
Gran sudah bekerja untuk The News Line selama dua puluh tahun. Koran itu adalah salah satu koran mingguan—selain sebuah harian lokal—yang dikhususkan bagi pembaca berusia lima puluh tahun ke atas. Kontributornya pun rata-rata seusia Gran. Isinya tentang resep masakan, cara berkebun, atau olahraga yang aman dilakukan bagi usia lanjut.
Setiap akhir bulan, The News Line akan melakukan wawancara dengan tokoh lokal yang menurut mereka bisa menginspirasi. Hal ini dimaksudkan agar para pembaca tidak merasa kesepian dan berkecil hati karena diabaikan oleh anak dan cucu, misalnya. Begitu juga para pensiunan yang tetap bisa melakukan banyak kegiatan yang sesuai dengan usia mereka. The News Line dimaksudkan untuk menemani hari-hari para kakek dan nenek yang ada di Sweet Home agar tidak merasa bosan di rumah.
"Em, kau tidak makan dulu?"
Aku sedang memeluk Party—boneka kelinci putih kesayangan Mary yang ditinggalkannya untukku—saat mendengar teriakan Gran. Malas-malasan, kuletakkan boneka itu hati-hati dan melangkah ke ruang makan. Rumah kami adalah rumah berlantai kayu pinus berwarna krem. Jadi, di tengah musim panas seperti saat ini lantainya masih terasa dingin saat dipijak.
"Kalau aku tidak makan, aku bakal mati ya, Gran?" tanyaku bodoh sambil mencomot asparagus dari piring dan mengunyahnya tanpa selera.
"Emily sayang, duniamu tidak akan kiamat meskipun Mary tidak tinggal di sini lagi. Kau hanya perlu membiasakan diri," nasihatnya sambil menyodorkan sepiring daging asap dan kentang panggang serta sebutir apel—buah kesukaanku—ke hadapanku. Gran pasti mengira kalau aku sesedih ini hanya karena Mary. Ia memang tak tahu-menahu soal hubunganku dan Matt.
Yeah, kami memang merahasiakan hubungan kami dari Gran dan Mr. Griffin. Kami hanya tak ingin kedua orang itu bertingkah berlebihan jika tahu kedua cucu mereka men- jalin hubungan. Lagi pula, kami juga ingin punya rahasia. Tak semua hal harus di-ceritakan pada semua orang, kan?
"Dua hari lagi sudah masuk sekolah, ya? Lebih baik bagimu bertemu teman-teman di sekolah," kata Gran kemudian.
Aku mengeluh dalam hati. Bagiku, sekolah tak semenyenangkan dulu. Mantan kekasih yang dulunya ingin kujumpai setiap saat, sekarang berubah menjadi seseorang yang paling tak ingin kutemui. Mary sudah tak ada di Sweet Home dan hari-hariku pasti membosankan tanpa gadis itu. Oh, aku bahkan tak bisa membayangkan betapa merananya hidupku selanjutnya, terutama saat makan siang di cafeteria sendirian.
"Gran, aku mau home schooling saja!" pintaku putus asa sambil menangkupkan wajah di atas meja. "Aku tidak bisa ke sekolah!"
Alih-alih marah, Gran justru membelai rambutku. "Dulu, duniaku juga rasanya seperti kiamat saat Made meninggal," ceritanya yang membuatku segera mendongak.
Aku selalu senang mendengar cerita tentang kisah terdahulu dari orang-orang di sekelilingku. Walaupun Gran sering mengulang-ulang ceritanya, tetapi aku tak pernah bosan mendengarnya.
"Saat itu, Gran pasti sedih sekali, ya?" Aku bertanya simpati.
Gran mengangguk pelan. "Ibumu Lizzi, baru berusia empat tahun saat ayahnya meninggal. Aku benar-benar merasa tidak punya arah, dan akhirnya memutuskan kembali ke Sweet Home." Gran menghentikan gerakan tangannya sambil menerawang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Home
Ficção AdolescenteSINOPSIS: Salah satu pemenang lomba menulis novel 100 Days of Romance Bagi Emily Cox, naik ke grade 11 sama dengan gejolak emosi yang tiada habisnya. Matthew Cooper, pacar sekaligus temannya sejak kecil, memutuskan hubungan mereka. Sementara Marion...