Orang-Orang Terlupa

517 75 51
                                    

Langit mendung. Awan yang tadinya hanya bergerak tenang kini tampak bagai menahan tangis. Denting air pun kini menetes, meluruh menyentuh tanah. Aku mengembus napas melihatnya.

Mentari yang semenjak tadi terlelap bersaksi atas penantianku. Dengan sendu terkekang terikat, hatiku tersayat. Pedih menemani sepi bagai simfoni malam.

Aku keluar, menyembul dari pintu reyot termakan rayap. Suara jangkrik bersahutan saat tubuhku muncul sepenuhnya. Memecah sunyi di udara dingin yang kukira akan stagnan selamanya.

Kulangkahkan kaki menuju lahan kosong tertimpa sinar rembulan yang tersisa, tertutup pekat awan menggantung di langit. Berdiri di sana beberapa sosok berwajah tua, menyambutku yang juga sama tuanya. Hujan yang menetes di antara mereka dan diriku tak memberi pengaruh apapun. Kami tetap berdiri di situ. Melakukan satu hal. Menanti.

Kutatap rumah milikku dari tempatku berdiri sembari sesekali mencuri dengar percakapan mereka.

Akh.

Aku tidak suka. Tidak bahagia melihat rumahku. Atap kayunya yang rapuh, lantainya yang basah nan dirambati rerumputan, juga dindingnya yang membuatku sesak-tak pantas pula disebut rumah, begitu hatiku berkata saat melihatnya.

"Kudengar, Sodiq yang sewaktu dulu kita lihat masih kanak-kanak itu, sekarang jadi pedagang." Rendro, temanku yang dulunya paling tampan, membuka topik baru. Perlu kauketahui, dia pintar sekali membuat obrolan baru.

"Oh, ya? Pedagang apa pula dia sekarang?" tanya lelaki tua bermata teduh, Goentjoro. Mata teduhnya itu kuketahui tak pernah pudar dihapus waktu. Goentjoro lelaki baik-baik, asalnya dari keluarga terhormat di kampung. Ah, ya, aku hampir lupa. Ia keturunan Melayu.

"Pedagang keliling. Setiap lewat, dia mengetuk kentongan di gerobaknya yang kulihat sudah melapuk. Pedagang mi ayam kalau aku tak salah dengar," jawab Rendro. Aku mengangguk-angguk, tak tahu harus memberi komentar apa. Sodiq yang sekarang kuingat beranjak umur setengah abad bahkan tak punya nasib baik. Lagi, aku mengembus napas.

"Oh, aku baru tahu. Jadi si Sodiq itulah yang lewat setiap sore menjelang di dekat rumah kita, ya? Ah, sudah besar sekali ia sekarang." Tjahjo berujar. Beberapa mengangguk sama sepertiku.

"Cuma dia sekarang yang tiap seminggu sekali menjenguk kita sukarela. Nasib kita pun tak ada ubahnya seperti dulu, tidak dianggap. Cih." Rendro berkata pahit. Hujan yang menderas dan dingin menusuk makin dalam, menenggelamkan harapan milikku yang tiap tahunnya meluruh satu demi satu.

Penantian kami tak berujung, juga tak ada artinya. Hatiku berkata demikian.

Hari ini pun kami masih menunggu, membuat harapan yang sama seperti kemarin-kemarin dan kemarinnya lagi, tak terputus hingga lima puluh dua tahun kurasa.

Hari ini, malam ini, tak seperti tahun-tahun yang lalu. Aku melangkah lunglai dengan kegetiran bercampur peluh alam yang menghunjam tubuh. Hari yang telah aku dan kawan-kawan sepakati sebagai hari lahir karena kami lupa ulang tahun kami sendiri.

Rumah yang tak kusuka itu tampak di depan mata. Tanah merah itu tergenang air. Aku tertawa hambar penuh luka, meninggalkan teman-temanku yang masih berharap sama. Harapan sederhana.

Dikunjungi orang-orang setidaknya setahun sekali. Terlampau sulitkah bagi mereka-orang-orang-untuk melaksanakannya?

Kami, orang-orang yang terlupa. Para veteran perang yang dulu membela negara. Yang sekarang terlupa tanpa ada sisa.

Dalam langkahku yang gontai mengayun, kudoakan Sodiq yang dulu ikut berjibaku meski hanya secuil dibanding perjuangan kami.

Tanah merah bergunduk yang dipenuhi rumput menjalar itu kini di depan mata. Nisannya yang kosong menyambutku. Asal kautahu, aku memang tak punya nama.

Jadi apakah ini sebabnya aku tak pernah ada dalam ingatan orang-orang?

Tawa getir nan pekat mengakhiri hari ini. Hari ini, hari kesepuluh di bulan kesebelas. Hari yang kata orang-orang adalah waktu untuk mengenang jasa kami yang telah terkubur kaku. Hari di mana harapan, hanya tinggal harapan.

Hari ini, Hari Pahlawan.

TAMAT

^Diadaptasi dari puisi Orang-Orang Terlupa karya ***, my beloved twin.

-***-

Huaahh ...

Akhirnya seorang Aoi mem-publish karya lagi. Seneng, deh. So, apa pendapat kalian mengenai cerpen ini? Terlalu tijelkah? Kalo iya, maafkan yaaa.

Salam,

~Aoi

Orang-Orang TerlupaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang