Second Rune - Another Journey

8 0 0
                                    

"Lari. Aku harus berlari sejauh mungkin. Meninggalkan mimpi buruk ini dan segera terbangun di kamarku. Kamar kecilku yang hangat. Dan aku akan mencium aroma tamagoyaki buatan okasan*. Seperti Melos yang berlari untuk mengejar sahabat sejatinya, akupun harus berlari demi mengejar kebenaran yang sesungguhnya. Ya, kebenaran akan mimpi buruk ini."

Midori terus melangkahkan kakinya dengan cepat. Sekelilingnya adalah pepohonan tinggi menghujam angkasa, hampir menutupi cahaya rembulan yang hendak masuk menyinari hutan lebat itu. Suasananya dingin, ngeri. Ia hanya mendengar suara burung hantu yang bernyanyi dalam gelapnya malam, dan suara langkah kakinya menginjak tanah, bebatuan, rerumputan, atau ranting-ranting kecil.

Gadis kecil itu masih terus berlari tanpa tujuan, layaknya anak burung yang kebingungan mencari sarangnya. Hingga akhirnya, sebuah batu besar berhasil menghentikan larinya. Ia terjatuh berdebum di atas permukaan tanah yang kasar itu. Terduduk dan merunduk, gadis itu menemukan guratan-guratan berwarna merah darah di kedua kakinya. Ia mengerang pelan saat hembusan angin malam menerpanya, seolah-olah menambah rasa sakit dari luka-luka itu. Ketika ia melihat sekeliling, dia hanya menemukan dirinya yang terduduk dalam kegelapan hutan yang tak berujung itu. Apakah ini kenyataan yang selama ini dicari-cari olehnya? Apakah selama tujuhbelas tahun ini, dia hanya hidup dalam kehidupan mimpi semata?

Sambil mendongakkan kepala, ia berusaha mengusap air matanya yang membasahi pipinya dengan lengan baju piyama yang dia pakai. Kini baju piyama kesayangannya itu dipenuhi dengan debu tanah dan bau rerumputan yang ada di sana. Ujung-ujung kainnya ada yang robek. Kenyataan pahit menamparnya, bahwa ini bukanlah mimpi buruk semata. Ia benar-benar terlempar dalam dunia entah berantah, dan dia sendirian.

Perasaan takut dan ngeri semakin menyergapinya saat tiba-tiba saja ia mendengar sebuah suara langkah kaki yang tak jauh dari sampingnya. Langkah kaki itu terdengar besar dan berat. Dengan pelan dia mengalihkan pandangannya dari langit menuju samping. Suara langkah itu semakin jelas, bersamaan dengan sebuah shiluet hitam besar yang terasa sangat mengintimidasi. Shiluet itu besar, tidak membentuk sebuah shiluet manusia karena bayangan hitam itu memiliki lengkung pada bagian atas bayangan itu. Seperti lengkung sebuah tanduk.

Sayangnya, bayangan makhluk mengerikan itu bukanlah unicorn seperti yang dilihat Midori dalam buku cerita kanak-kanaknya. Tidak, makhluk itu jauh lebih mengerikan daripada kuda poni terbang itu. Tak hanya itu, makhluk besar itu memiliki nafas yang terdengar sangat berat, hampir terdengar seperti suara dengusan banteng kelaparan yang siap menerjang siapapun.

"Aku tidak akan membiarkan makhluk menjijikkan sepertimu melahapnya!"

Dalam waktu yang singkat, gadis itu melihat sebuah shiluet yang lain, tepat di depannya. Shiluet itu berdiri di hadapannya, layaknya sebuah perisai baginya. Meskipun Midori hanya melihat sosok itu dari belakang, namun ia menyadari bahwa itu adalah punggung Kanji. Dan entah mengapa, punggung cowok itu nampak sangat bersinar di hadapannya.

Kanji mengacungkan pedangnya pada makhluk hitam raksasa itu. Makhluk itu pun seketika mengeluarkan sayap besarnya, yang juga berwarna hitam legam. Terkaget dengan kemunculan bulu-bulu raksasa di hadapannya, Kanji hanya bisa mendekatkan acungan pedangnya ke sosok hitam mengerikan itu. Ia menelan ludah dengan susah payah, berusaha menghadapi apa yang terjadi padanya saat ini. Ia bukanlah seorang ksatria hebat yang siap sedia melawan kejahatan seperti dalam kisah-kisah heroik, namun jika demi mempertahankan hidup, ia harus berdiri dan berjuang layaknya ksatria. Dan itulah yang Kanji pikirkan saat itu juga.

Saat sosok besar itu hendak menerjangnya, tiba-tiba saja ia terhenti. Kemudian, diiringi suara nyanyian burung-burung kecil, sosok itu melangkah mundur. Tak lama waktu berselang, sosok itu lari kalang kabut dari hadapan Kanji. Kejadian itu membuat Kanji hampir tidak percaya setengah mati. "Apakah monster itu hanyalah makhluk jadi-jadian?" pikirnya kebingungan. Namun pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam pikiran Kanji seketika menghilang, melihat secercah sinar dari nun jauh di ujung hutan. Mata-bulan-separuh cowok itu pun refleks mencari sumber sinar, dan seketika ia membelalakkan mata saat kehangatan datang menyelimuti hutan itu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 20, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Rune of DreamlandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang