BAB 2

4 0 0
                                    

Mistakes don't mean a thing,

if you don't regret them.

[Silverchair— The Greatest View]

"Oh, Benjamin. Sudah sarapan?"

Benji mengangkat kepala dan mendapati Dirga Setiawan, ayah Cessa, sedang

menuruni tangga. Pria berusia pertengahan empat puluh itu tampak gagah

seperti biasanya walaupun uban sudah bermunculan dari rambutnya yang

setengah rontok. Kepandaian dan keuletan membuatnya tampak sepuluh

tahun lebih tua, tetapi Benji sangat mengidolakannya. Hanya beliau yang bisa

memanggil nama lengkapnya tanpa terdengar canggung.

"Belum, Om." Benji menyunggingkan senyum malu-malu. Kedua

orangtuanya sedang melakukan perjalanan bisnis ke Madagaskar, dan ia tak

suka sarapan sendirian di meja yang lebih panjang dari meja pingpong.

Dirga balas tersenyum, kerutan dalam menghiasi pinggir bibirnya. "Ayo,

sarapan sama-sama."

Benji mengangguk, lalu mengambil tempat duduk di samping Dirga. Benji

selalu suka sarapan bersama keluarga Setiawan karena keluarganya sendiri

jarang berkumpul. Sedari kecil, Benji memang biasa dititipkan di sini. Dirga

sudah seperti ayahnya sendiri.

"Bagaimana tahun ajaran baru?" Dirga memulai pembicaraan sementara

para pelayan menyiapkan sandwich. "Nggak terjadi apa-apa sama Princessa di

kelas baru?"

"Nggak ada apa-apa kok, Om. Semua aman terkendali." Benji menggeser

gelas dan pelayan dengan tangkas mengisi gelas itu dengan susu murni. Benji

teringat sesuatu. "Tapi...,"

Dirga urung menggigit sandwich-nya. "Tapi?"

"Ah, enggak kok, Om. Di kelas kami ada satu anak namanya Surya. Dia... dari

keluarga yang kurang mampu."Dirga mengangguk-angguk mendengar laporan Benji. Benji sudah sangat

terbiasa melaporkan segala sesuatu yang berkaitan dengan Cessa. Bahkan, hal

itu seperti sudah menjadi kewajiban bagi Benji selama tujuh belas tahun

hidupnya.

"Oh ya? Kalian sekelas?" Dirga tampak berpikir, sandwich-nya dikembalikan

ke atas piring. Ia ingat sekolah itu memang memiliki beberapa anak kurang

mampu. "Rose tidak bilang apa-apa."

Rose adalah kepala sekolah SMA Pelita Kita sekaligus teman baik Dirga. Saat

Cessa merengek ingin masuk sekolah formal, Dirga setengah mati menolak,

tetapi akhirnya ia menyanggupi dengan syarat mereka harus masuk sekolah

Pelita Kita. Selain ia bisa menitipkan Cessa, sekolah itu pun dekat dari rumah.

"Pagi."

Suara Cessa menyadarkan Dirga dan Benji. Anak perempuan itu

menghampiri mereka dengan wajah cerah, tasnya dipegang oleh salah satu

I FOR YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang