Part_1: Blue Ring/Visions

414 20 1
                                    

Rahasia terbesar di dunia ini adalah kematian.

Tidak ada orang yang tahu kapan dan bagaimana kematian datang—tidak satu pun.

Kecuali jika orang itu bisa 'mengintip' rahasia yang ada di balik alam semesta nan luas ini.

Adia duduk di salah satu meja yang tersedia di kantin sekolahnya. Gadis itu memiliki paras yang manis. Dia memiliki kulit putih yang bersih, rambut hitam panjang dan juga mata berwarna coklat agak kehijauan.

Murid-murid dari berbagai macam kelas tampak mengerumuninya. Mungkin banyak orang yang berpikir kalau parasnya yang manis menyebabkan Adia dikerumuni oleh banyak murid. Akan tetapi, bukan paras manisnya yang menyebabkan hal itu.

Ada sesuatu yang sangat spesial yang Adia miliki.

Dia bisa melihat masa depan.

Atau setidaknya begitulah yang diyakini oleh murid-murid di sana.

Selama beberapa hari ini, Adia duduk di kantin setiap jam istirahat sekolah. Dia membuat semacam usaha peramalan, membaca masa depan dari murid-murid yang datang kepadanya.

Awalnya tidak banyak yang percaya dengan Adia—beberapa bahkan menganggapnya konyol. Akan tetapi, setelah satu-dua orang murid dia ramal dan terbukti bahwa ramalannya 100% benar, murid-murid lain pun berbondong-bondong mulai mendatangi Adia untuk mendapatkan 'bocoran' mengenai masa depan mereka.

Hasil meramal ini sendiri memberikan Adia keuntungan yang lumayan. Gadis itu jadi mendapatkan uang jajan tambahan dan terkadang makanan dari murid-murid lain yang tak mampu membayar dengan uang.

Adia sangat menikmati usaha peramalannya ini.

Sampai akhirnya, muncullah seorang gadis bernama Mala di hadapannya.

Gadis itu memiliki kulit putih pucat, tubuh langsing, tampak lemah dan rapuh. Rambutnya berwarna perak, panjang hingga sepinggang, lurus tetapi agak acak-acakan seperti setelah tertiup angin. Terdapat sebuah jepit rambut kupu-kupu berwarna merah di sebelah kiri kepalanya.

Hal paling mencolok dari Mala adalah mata heterochronomia miliknya. Mata kanannya berwarna merah dan mata kirinya berwarna coklat. Keduanya menciptakan sebuah kombinasi yang aneh namun meninggalkan kesan misterius kepada siapa pun yang melihatnya.

Mala tampak tersenyum ramah kepada Adia begitu duduk di seberang meja.

"Namaku—" Mala hendak memperkenalkan diri. Tetapi dia berhenti berkata begitu Adia mengayunkan tangannya pelan.

"Namamu Mala Veronica dari kelas X-C, biasa dipanggil Mala. Usia 15 tahun dan tinggi badan 155 cm. Ukuran cup...," Adia berhenti sejenak. Gadis itu menatap Mala, melihat reaksinya.

Mala terdiam. Dia hanya tersenyum—pertanda kalau tak masalah jika Adia menyebutkan ukuran dada anak itu.

"...A!" lanjut Adia.

Beberapa murid laki-laki di sana tampak berbisik-bisik sambil nyengir mendengarkannya. Dilain pihak, murid perempuan yang ada di sana tampak cekikikan.

"Wah, Kak Adia memang sehebat rumor yang beredar!" seru Mala sambil tersenyum.

"Yah, terima kasih atas pujiannya." Adia balas tersenyum.

"Tapi... kalau cuma seperti itu sih, orang lain juga banyak yang bisa. Aku pernah lihat acara-acara mentalis yang tahu banyak hal mengenai orang yang baru dia temui. Banyak sekali cara untuk mengetahui hal itu. Dan sayangnya, cara itu bukanlah sesuatu yang luar biasa ataupun... supernatural."

Adia tampak terkejut mendengarkan ucapan Mala. Ini bukanlah pertama kalinya dia mendapatkan respon seperti itu. Akan tetapi, cara Mala mengucapkannya dan juga bagaimana dia menatap Adia dengan kedua matanya yang bersudut tajam memberikan kesan misterius padanya.

Adia mengelus-elus cincin berwarna biru yang melingkar di jari manis tangan kirinya. Gadis itu kemudian menyipitkan kedua matanya.

"Kau menginginkan sesuatu yang lain. Sesuatu yang lebih besar daripada kehidupan cintamu, persahabatanmu, atau... nilai-nilai ujianmu selama di sekolah ini. Bukankah begitu?" tanya Adia.

"Tepat sekali. Aku hanya ingin memastikan kalau Kak Adia benar-benar bisa melihat masa depan. Jadi aku akan menanyakan sesuatu yang tidak diketahui oleh siapa pun: kematianku."

Adia tampak terkejut. Bukan sesuatu yang lazim bagi seorang murid SMA untuk mengetahui ajalnya. Akan tetapi, gadis di depannya ini menanyakan hal itu.

Adia terdiam, tampak gelisah. Keringat dingin membahasi dahinya.

Kegelisahan Adia bukanlah berasal dari ketidakmampuannya untuk mengetahui kematian Mala. Adia memiliki sebuah cincin biru misterius bernama Andvaranaut. Cincin itu bisa membuatnya mengetahui segala sesuatu yang ada di alam semesta tanpa terkecuali. Jadi, bukan tidak mungkin baginya untuk mengetahui kematian Mala.

Gadis itu tampak gelisah karena selama ini belum pernah menggunakan cincin itu untuk 'mengintip' ajal seseorang. Dia tidak melakukannya karena merasa takut kalau dia secara tak sengaja melihat kematian tragis dari seseorang—terlebih lagi jika dia tak sengaja melihat kematiannya sendiri.

Adia bisa saja menolak permintaan Mala. Akan tetapi, mata heterochronomia Mala yang misterius seakan mendorongnya untuk mengabulkan permohonan Mala. Belum lagi, murid-murid lain di sekitarnya tampak tak sabar untuk mengetahui jawaban dari Adia.

Mengabulkan permintaan Mala dan melihat kematiannya, ataukah menolak permintaannya dengan risiko kehilangan kepercayaan dari murid-murid di sekitar?

Adia menelan ludahnya. Meski ragu, tetapi dia merasa tidak ada salahnya untuk mencoba. Gadis itu pun berkata, "Baiklah, kemarikan tanganmu..."

Mala tersenyum ramah. Dia menjulurkan tangan kanannya menuju Adia.

Adia mengggenggam tangan Mala dengan kedua tangannya. Gadis itu kemudian menutup matanya perlahan. Jari telunjuk tangan kanannya mengelus-elus cincin Andvaranaut di jari manis tangan kirinya.

Rahasia terbesar di dunia ini adalah kematian.

Kali ini, Adia mengintip ke dalam Andvaranaut untuk mengetahui kematian Mala.

Dan Adia menyesal telah melakukannya.

The Alternative #1.5 - End of BloomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang