Bagaimana cara menyelamatkan Mala?
Jika Adia ingin tahu jawabannya, tentu saja dia harus mengintip ke dalam Andvaranaut—cincin itu tahu segalanya.
Adia memejamkan mata. Berusaha menelan ludah yang terasa menyangkut di tenggorokan, tangannya gemetaran hendak menyentuh cincin di jarinya.
Akan tetapi, sesaat sebelum dia benar-benar menyentuh cincin itu, Adia menarik kembali tangannya. Nafasnya tampak berat, matanya terbelalak, dan perutnya kembali terasa mengejang.
Traumanya setelah melihat kematian Mala menguasai jiwa Adia. Bagaimana jika dia melihat pemandangan tragis dan mengerikan itu lagi? Meskipun tidak benar-benar terjadi—setidaknya belum—tetapi pemandangan itu sangatlah jelas dan nyata di mata Adia.
Adia sebisa mungkin tak ingin melihat hal itu lagi. Dia kini hanya percaya pada instuisinya. Jika dia menyingkirkan gambaran kematian Mala, maka yang dia ingat adalah: kematian Mala terjadi di tempat seperti gudang dan pada malam hari.
Jika Adia bisa menghindari dua kondisi tersebut, maka ada kemungkinan Mala bisa diselamatkan.
Jam sudah menunjukan pukul 5 sore, sekolah telah usai dan segala macam kegiatan ekstrakulikuler sekolah harus dihentikan. Adia kini menunggu Mala di depan gerbang sekolah. Gadis itu tampak sedikit gelisah karena sebentar lagi matahari akan tenggelam.
Lalu, tak lama kemudian, Mala terlihat berjalan menuju Adia. Gadis itu tampak kecapaian setelah seharian sekolah dan mengikuti kegiatan ekstrakulikuler teater. Sinar di wajahnya tampak meredup, berbeda sekali dengan pagi ini ketika dia bertemu Adia.
Selain itu, Adia bisa merasakan kalau ada sesuatu yang lain dari Mala: dia tampak murung.
"Kamu baik-baik saja, Mala?" tanya Adia basa-basi. Gadis itu sudah bisa menduga kalau Mala akan murung—yah, siapa yang tidak murung jika tahu ajal akan menjemput?
"A-Aku tidak apa-apa. Hanya saja... Aku agak penasaran kenapa Kak Adia sampai mau repot-repot membantuku?"
Adia terdiam sejenak. Kemudian gadis itu mendongakkan kepalanya. Bola matanya yang coklat kehijauan memandang sekumpulan awan-awan yang bergerak dengan tenang di atas langit senja.
"Aku dulunya adalah cucu kesayangan kakekku. Beliau adalah orang yang baik, penyayang dan sabar. Ketika Kakek meninggal, aku merasa sangat sedih dan kehilangan. Sebelum itu aku tak pernah sadar bahwa "
Adia menoleh ke arah Mala.
"Ketika seseorang meninggal, maka akan ada orang yang merasa kehilangan dan kesepian. Jika kamu meninggal, perasaan yang sama juga akan dirasakan oleh orang-orang yang menyayangimu, termasuk Ayahmu dan juga aku."
"Ketika aku mati, Kak Adia juga akan merasa kehilangan?" tanya Mala bingung, "Tapi bukankah Kak Adia baru mengenalku pagi ini?"
"Mungkin terdengar aneh, tapi tak peduli apakah kita baru mengenal pagi ini atau kita sudah mengenal selama bertahun-tahun, aku sudah merasa kalau kita ini berteman," Adia nyengir.
Mata Mala membundar. Sebuah senyum tampak menghiasi wajahnya. Lalu sejurus kemudian, dia menundukan wajahnya dan, tanpa sepengetahuan Adia, raut wajah gadis itu kembali muram.
"Ah, gawat!" seru Adia tiba-tiba, "Karena terlalu lama berbicara aku sampai tidak sadar kalau kurang beberapa menit lagi matahari akan tenggelam. Ayo, Mala!"
Adia meraih tangan Mala dan menariknya. Akan tetapi, Mala malah balik menggenggam tangan Adia dan menahannya.
"Ada apa, Mala?" tanya Adia bingung.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Alternative #1.5 - End of Bloom
Paranormal"Dengar Mala, aku benar-benar minta maaf harus mengatakan hal ini, tapi kamu harus tahu kebenarannya: kamu akan mati malam ini." Mendapatkan kekuatan untuk mengetahui segalanya, Adia melihat sesuatu yang tak seharusnya tidak boleh dia lihat--sesuatu...