Jeni tertawa geli melihat acara televisi yang sedang berlangsung, di sela-sela tawanya ia masih sempat memasukkan beberapa makanan ringan ke dalam mulutnya.
Ayah berjalan mendekat sambil duduk diatas sofa, ia melihat acara televisi sekilas dan beralih pada sang anak yang duduk di karpet masih terbahak-bahak.
"Kamu enak-enakan ya disini? Kamu bantu ibu kamu masak di belakang tuh," tegur ayah sambil meraih remote tv disamping Jeni.
Dengan sigap Jeni menahan remote tersebut, "Ayah mah alesan doang, mau ganti channel kan? Tak tik!"
Ayah langsung mengernyit, "Ini dibilangin malah ngelawan, gimana besok kamu mau jadi istri orang?"
"Aku kan nikahnya enggak besok, lagian kalau di suruh masak aku bisa kok," dan Jeni kembali memasukkan makanan ke dalam mulutnya.
"Bukan masalah bisa atau enggaknya, tapi mesti dibiasain. Nanti kalau udah jadi istri orang, kamu harus patuh ama suami dan rajin," jelas ayah ikut mengambil makanan dari tangan Jeni.
"Ayah tu kenapa sih kayaknya mau nyuruh aku kawin cepet-cepet?? Tamat kuliah aja belum," sungut Jeni.
"Kamu cuma tinggal wisuda doang kok, nanti kalau udah nikah kamu pasti seneng deh,"
"Eitsss!!! Stop ayah stop!!" Jeni mengangkat tangan geram, "Jangan mulai lagi deh ayah, biar semuanya jalan sewajarnya, suatu saat aku bakal dapetin jodohku kok, tenang... dia mungkin seperti Oh Sehun," Jeni tertawa bodoh sambil mengkhayal bebas.
"Oh Sehun? Siapa itu? Temen kamu?" ayah bertanya penasaran.
Jeni hanya bisa memiringkan bibir dengan ekspresi datar, "Ah ayah gak mungkin kenal,."
"Terserah itu siapa yang penting ayah tekankan sama kamu, dia mesti mau urus perusahaan ayah dan mengelolanya dengan baik,"
"Maksa banget sih? Kalau jodoh mah gak bisa dipaksa-paksa gitu dong!?" elak Jeni, dan keributan seperti ini sudah biasa terjadi.
"Kamu banyak alesan, sampai sekarang aja gak punya pacar," cibir ayah meledek.
"Idih, ngomongnya sembarangan. Udah deh ayah, to the point aja, ke anak temen ayah yang mana lagi aku bakal disodorin??"
Ayah tertawa mendapati Jeni cepat menangkap dalam masalah ini, "Enggak kok, ayah cuma pengen kenalin, siapa coba yang nyodor-nyodorin!?"
Jeni hanya mendesah lelah dengan pembicaraan sang ayah, "Bahasanya gak usah diperhalus gitu napa?"
Ayah lagi-lagi tertawa dan turun dari sofa untuk duduk disamping Jeni sambil merangkulnya, "Yang ini kayaknya bagus, dia pintar, cerdas, dan disiplin,"
"Ayah mah ngomong itu mulu! Ada satu kata lagi yang tinggal, 'dia ganteng loh' " Jeni menirukan gaya bicara ayahnya yang sudah melekat di otaknya.
"Masalah ganteng sih ayah gak tahu, belum pernah ketemu,"
"Gak ah! Biarin aja aku cari jodoh sendiri lah yah, aku udah bosen ayah sodorin mulu, emang ayah gak bosen aku tolak mulu?" Jeni menatap ayahnya tak percaya karena sang ayah begitu niat dalam hal ini. Gak pernah ada matinya.
"Ini semua demi kamu juga kok, ayah takut kamu nanti dapat jodoh yang salah. Trus kamu jangan nolak mulu, nanti kamu bakal nyesel loh, selama inikan ayah ngenalin kamu sama cowok yang bagus,"
Jeni menggaruk kepalanya bosan dengan pembicaraan ini, ia pun bangkit dari duduknya, "Udah, aku mau bantu ibu masak biar jadi calon istri yang baik," dan Jeni berjalan kesal menuju dapur.
Ayah hanya geleng-geleng melihat sikap anak gadisnya itu, ayah tersenyum senang karena ia mendapatkan apa yang incar sejak tadi,
"Remote TV!"
***
Ibu melirik heran Jeni yang memasuki dapur dengan wajah kesal dan mulai mematah-matah sayuran.
"Kamu kenapa?" tanya ibu masih mengaduk-ngaduk bumbu di kuali.
"Itu ayah, kebelet punya mantu lagi, padahal baru kemaren rumah ini rame karena nikahan Kak Seno," jawab Jeni masih kesal.
"Makanya, urus aja usaha ayah, kasian juga kan dia udah usaha keras terus gak ada yang mau ngurusin," ucap ibu berusaha membujuk sang anak, "Kamu kan kuliah ambil peminatan public relation, nanti kan muaranya ke perusahaan juga,"
"Itu kan ayah yang maksa buat ambil itu. Lagian aku gak kebayang kerja disana, waktu praktek lapangan disana aja aku gak nyaman, mereka nganggap aku itu gimana...gitu," jelas Jeni kembali membayangkan perlakuan berbeda orang-orang di kantor ayahnya padanya.
"Ya mau gimana lagi? Tapi ibu liat-liat cowok yang dikenalin ke kamu oke oke semua kok. Alesan kamu nolak apa sih?" ibu bertanya penasaran sambil ikut duduk disamping Jeni.
"Ya gak mau aja, masa sih dijodohin?? Lagian aku gak pernah nolak kok, tu cowok-cowok aja yang pada nyerahkan?"
Ibu mendesah lelah sambil mencubit hidung Jeni gemas, "Gimana gak nyerah? Pertemuan pertama kamu langsung kerjain mereka, bikin ilfeel lah, ngebuang sepatu mereka sebelah lah, ngempesin ban mobil mereka lah dan ibu gak inget lagi kamu ngapain. Ada banyak cewek lain yang mau sama mereka,"
Jeni mengelus hidungnya yang baru dicubit ibu sambil meringis, "Tahu kayak gitu, ayah masih aja gak nyerah. Emang ayah gak malu apa sama temennya?"
"Ya pasang muka tembok aja, ayahmu sudah biasa dengan itu," tawa ibu diikuti Jeni.
"Nanti malam kamu ikut ayah ama ibu ya?" ibu kembali bicara dengan nada hati-hati.
"Kemana?"
"Ketemu teman ayahmu, mereka udah lama gak ketemu,"
Jeni menghentikan gerak tangannya memotong sayur, ia menopang dagu dengan tangan sambil menatap ibu malas, "Mereka punya anak laki-laki?"
Ibu mengangguk kecil sambil tersenyum kikuk.
Jeni lagi-lagi mendesah, "Ketahuan kan? Bilang aja mau ngenalin aku sama dia, ayah tadi udah mulai tuh ngomongin itu,"
"Datang aja dulu, mana tahu yang ini nampol dihati kamu," goda ibu pada Jeni yang sudah terlanjur lesu.
"Ayah sama ibu mah gak ada bedanya,"
***
Seperti yang direncanakan tadi sore, dengan amat terpaksa Jeni menyetujui ajakan sang ayah dan ibu. Oke ini bisa diralat, ia diseret untuk ikut kesini.
Jeni hanya berusaha menutupi rasa bosannya mendengarkan pembahasan orang tua yang sama sekali tak menarik, entah apa yang mereka tertawakan sampai sakit perut, Jeni tak tahu dan tak mau tahu.
"Hum..Jeni, pasti bosan ya?" si bapak-bapak yang katanya teman ayah ini melirik Jeni.
"Itu tahu, pakek nanya pula si bapak," ujar Jeni dalam hati, ia hanya tersenyum kecil, kalau dia beneran ngomong begitu, dipastikan ayahnya bakal ngelempar dirinya ke sungai amazon.
"Anak om bentar lagi pulang dari kantor, kamu tunggu aja diluar kalau kamu bosan disini. Kalian pasti lebih nyambung kalau ngobrol," lanjut bapak itu ngeinstruksikan Jeni.
Jeni mengangguk dan berjalan keluar, lagian tampaknya halaman depan rumah ini menarik saat ia baru datang.
"Dan rencana perjodohan pun dimulai," lagi-lagi Jeni membantin saat berjalan keluar.
Ia duduk sambil memperhatikan sekitar, walaupun udaranya dingin, Jeni menyukainya.
Sudah beberapa lama Jeni asik sendiri, akhirnya orang yang ditunggu, eh bukan! Yang katanya bakal datang, datang juga..
"Malam..," sapa si cowok mengejutkan Jeni.
Jeni langsung mendongak melihat cowok yang menyapanya. Ia melihat cowok itu dari ujung rambut ke ujung kaki.
Hanya sebuah senyuman kecil yang dikeluarkan Jeni, "Seriusan ini orang yang mau dijodohin ama gue!?"
******************************
Welcome in my story!
Ini part pertama dan aku baru kali ini nulis cerita bergenre seperti ini. Jadi kalau ada salah-salah, aku mohon maaf dan mohon petunjuknya.See you in next part, :) :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Catch Me If You Can
Romance(Complete) Ini gara-gara kakak laki-lakiku yang gak mau ambil alih perusahaan super besar milik ayah, entah kenapa aku anak cewek bungsu harus jadi korban. Tapi bukan 'Jeni' namanya kalau nerima gitu aja, aku gak mau! Cara lain yang di tempuh orang...