Banyak hal yang tertera di benakku saat mendengar nama Leony Chikako. Diantaranya ialah ramah, sopan, lemah lembut, dan tentunya paras yang sempurna bagiku. Bila wajahnya dibandingkan dengan wajahku, mungkin akan terlihat perbedaan yang sangat menonjol. Bisa dibilang wajahku sangat jelek kalau dibandingkan dengannya--meskipun ada orang yang mengatakan bahwa wajahku ayu.
Jangan dikira aku lupa dengan masa-masa awal pertemuanku dengan Kak Christian hingga akhirnya dia mengungkapkan 'perasaannya'. Aku ingat betul kronologinya hingga detik ini. Sebelum dia mengetahui bahwa aku adalah adik kandungnya, dia mengatakan jika aku cantik dan sebagainya--sangat berbeda pernyataannya setelah dia mengetahui kenyataan. Entah dia yang gengsi mengatakan dengan jujur atau memang dulu dia mengatakan dengan bohong alias sekedar rayuan receh.
Kembali pada topik awal, aku merasa cocok dengan Leony. Dia adalah tipikal orang yang suka mengalah dan benar-benar sopan. Sudah seminggu bersekolah di sekolahku, dia masih menggunakan 'aku-kamu'. Untuk menghargai dan menghormatinya juga, pastinya aku juga memakai gaya bahasa yang sama dengannya.
Berbeda dengan Justin. Walaupun Leony memakai 'aku-kamu', Justin tetaplah Justin. Gaya bahasa Justin tidak ada yang berubah. Ada sedikit rasa senang ketika mengetahui Justin tetap menggunakan gaya bahasanya yang seperti biasa, karena apabila Justin menggunakan 'aku-kamu', dapat dipastikan ada 'sesuatu'. Memang, semakin hari semakin dekat mereka berdua lantaran diriku yang dekat pula dengan Justin.
Acap kali Leony memuji Justin, baik secara langsung maupun saat berbincang-bincang denganku. Pria idaman, smart, tampan, dan masih banyak lagi pujian-pujian yang diberikan Leony untuk Justin. Aku bisa membaca sorotan mata Leony terhadap Justin yang menyiratkan rasa suka atau bahkan lebih dari suka. Justin tampaknya tenang-tenang saja mengenai perilaku Leony yang kelewat baik, tidak risih sedikitpun.
"Justin, kamu ikut ekstrakurikuler apa? Aku bingung nih."
Suara Leony memecah keheningan perpustakaan. Saat ini memang jamkos dikarenakan beberapa guru termasuk guru yang seharusnya mengajar di kelasku ada rapat mendadak. Perpustakaan adalah tempat favoritku dan Justin saat jamkos. Aku tidak tahu apakah Leony memang suka pergi ke perpustakaan. Yang kutahu, Leony selalu mengikuti Justin. Di mana ada Justin, di situ ada Leony. Kecuali saat Justin pulang ke rumah atau ke toilet, barulah Leony tidak mendampinginya, pasti.
Justin menoleh ke arah Leony yang disusul olehku. Leony menatap Justin dengan pandangan bimbang.
"Gue sih ikut basket."
"Kalau gitu, aku ikut basket juga deh." Leony tersenyum, lantas ia mengambil bolpoin yang sudah dibawanya dari tadi. Ia mulai menuliskan sesuatu di lembaran kertas pendaftaran ekstrakurikuler.
"Emangnya kamu suka basket?" Leony menghentikan aktivitasnya. Ia memandangku. Kedua sudut bibirnya tertarik dan kepalanya menggeleng pelan. "Gak sih. Tapi kalau Justin ikut basket, aku jadi pengen ikut deh."
Ini yang namanya modus tingkat dewa atau apa sih?
"Justin," panggil Leony.
Ada jeda yang sedikit panjang setelah Leony memanggil Justin. Aku dan Justin dengan setia menunggunya untuk melanjutkan pembicaraannya. Doa-doa terus kupanjatkan agar kata-kata yang diucapkan Leony tidak menyangkut perasaan dan semacamnya.
"Tipe cewekmu gimana sih?"
Aku merasakan jantungku yang berdegup lebih kencang dari biasanya. Pertanyaan yang barusan dilontarkan oleh Leony, 80% membuktikan bahwa dihatinya ada 'perasaan' yang masih menjadi misteri sampai sekarang.
Justin sedikit terkejut mendengar pertanyaan Leony--tak jauh beda dengan ekspresiku. Sesaat kemudian, Justin kembali tenang. Sekilas, aku melihat senyuman miring penuh arti dari bibir Justin yang amat tipis, nyaris tak terlihat.
KAMU SEDANG MEMBACA
But I Choose You
Teen FictionCewek yang tidak pernah merasakan cinta akhirnya mengungkapkan rasa cintanya pada seorang cowok, setelah berkutat sekian lama dengan pikirannya yang bingung memilih antara dua laki-laki. Apalagi kedua laki-laki itu memiliki hubungan darah. Bagaimana...