Semua kakaknya, kalau diperhatikan baik-baik terlihat lebih senang berada di dekatnya, artinya betah di rumah, bahkan Johan sekalipun. Sebuah keanehan yang baru terjadi setelah Jora muncul dan mengambil sepetak kecil ruang di rumah Ansori. Ibrahim sendiri juga punya kebiasaan baru, yaitu tak berhenti menganggunya.
"Apa itu?" tanya Ibrahim dari atas ponsel pintar Jora.
"Game."
"Artinya?"
"Ya, game," sahut Jora mulai terganggu.
"Brutal sekali, kenapa semua orang di dalam sana pegang pistol sama pedang? Dan itu...ya itu, kenapa memenggal kepala orang seenaknya? Kenapa? apa kau ingin menjadi pembunuh?" Ibrahim memandangnya dengan penuh selidik.
"Ya, Tuhan, ini cuma game, dan itu bukan orang tapi zombie." Jora beranjak dari sofa dan masuk ke kamar Miro, Ibrahim mengikutinya.
Miro sedang sibuk bekerja memindahkan film-film dari komputer ke cakram kaset. Matanya tak berkedip saking konsentrasinya. Jora tidur-tidur dan memainkan game pertanian. Ibrahim mendelik padanya saat mendengar babi menguik-nguik tak sabaran karena lupa diberi makan.
"Apa maumu?!" ucap Jora kesal. Ibrahim mengedikkan bahu dan menyebutnya taik kurang gizi sama seperti babi-babi itu.
Si tengah merebut laptop Miro yang terbuka dan mulai membaca apa yang tertera di sana, sebuah file word.
"Ini Budi, emaknya juga, bapaknya juga. Bapak Budi naik motor ke kantor, Budi naikin emaknya di kamar mandi." Sampai di sana Ibrahim terbahak-bahak, Miro senyum-senyum, Jora ikut tertawa.
"Jadi, si Budi umurnya berapa?" tanya Ibrahim, matanya masih ke layar komputer.
"Empat belas, baru kemaren mimpi basah."
"TAIK!" Lelaki besar itu kembali tertawa.
Salah satu kegemaran Miro adalah menulis cerita porno. Jora pernah iseng coba membukanya, namun sudah di blokir oleh pemerintah kurang kerjaan—sebut Miro—waktu ia bertanya kenapa blog tersebut tak bisa diakses lagi.
"Kalau kau mau baca, aku punya naskahnya," Miro menepuk laptop-nya, Jora menggeleng tanda tak berminat.
"Sudah ku bilang, tak ada undang-undang yang dilanggar kalau kau mengakses cerita porno, karena itu tak merugikan orang lain kecuali efek samping pada tubuh sendiri."
"Tidak, terimakasih."
Dan, ketika mendengar Ibrahim membaca salah cerita khayalan Miro, Jora mau tak mau tertarik hendak membaca paragraf selanjutnya dan seterusnya hingga tamat, karena ada sesuatu dari caranya menulis yang menggelitik sisi seorang pembaca pada diri Jora. Game pertanian terlupakan, termasuk kambing mengembik tanda ingin diperas susunya. Jora duduk di sebelah Ibrahim dan ikut membaca.
Semenit berlalu, dua, tiga hingga tak sadar ia melahap semua baris demi baris kalimat yang disusun apik nyaris tanpa cela dari segi kepenulisan. Tekniknya seperti penulis profesional dan Jora rasa, Miro bisa berdiri sebagai editor sekaligus penulis dengan begitu sempurna. Memang semua desahan dan lendir yang berceceran itu tetap ada, sebagaimana harusnya cerita porno, tapi konten seksual tersebut tidak membuat cerita Miro terdegradasi ke level cerita sampah.
"Kau berbakat," kata Jora setelah menamatkan cerita tentang hubungan terlarang Budi dan Emak.
Miro menoleh dari pekerjaannya, hanya memandang ekspresi Jora yang penuh sanjungan tulus, pria itu tersenyum. "Kau kira begitu?"
"Ya," jawab Jora pasti. "Kau bisa menulis genre lain, tema yang lebih dekat dengan hidup, yeah, i know, kau pasti mau bilang kalau tema seks lebih membumi dan bla...bla...maksudku, tidak harus cerita porno, kan? Dengan bakat luar biasa ini kau sangat berpotensi untuk menjadi penulis hebat dengan cerita-cerita berkualitas."