Chapter 2 : Lonely Christmas

537 34 5
                                    

Hari Natal, 25 Desember, enam tahun kemudian...

"Ibu, aku datang. Bagaimana kabar Ibu di sana? Apa Ibu tahu aku sangat merindukanmu?" ujar seorang gadis muda berwajah cantik, berhidung mancung, berusia sekitar delapan belas tahun, berambut panjang, hitam dan lurus.

Gadis itu mengenakan sebuah mantel berwarna merah muda serta syal dan topi berwarna senada.

Sambil mengusap airmata di pipinya dia meletakkan rangkaian bunga mawar ungu di atas sebuah makam dan membersihkan butiran salju yang jatuh di atasnya.

"Aku suka mawar ungu. Apa Ibu tahu kalau mawar ungu melambangkan keabadian? Sama seperti cintaku pada Ibu yang akan abadi selamanya walaupun Ibu tak ada lagi di sini bersamaku. Xue Jian sayang Ibu. Sayang sekali..." ujarnya dengan airmata mengalir di pipi.

Kemudian dia menelungkupkan kedua tangannya yang terbungkus sarung tangan putih di depan dada dan mengambil sikap berdoa, dia memejamkan matanya dan mulai berdoa dengan segenap hatinya, untuk arwah ibunya di Surga.

Tak jauh dari sana, seorang pemuda tampan bermantel bulu putih juga duduk berlutut di sebuah makam, memandang kosong makam itu dengan rasa sedih terpancar di matanya.

Di belakangnya, gadis muda itu berjalan melewatinya. Dia berjalan meninggalkan komplek pemakaman di atas bukit itu dan berjalan menuruni tangga demi tangga, tapi ternyata hujan salju yang turun malah semakin lebat.

Gadis itu menengadah memandang hujan salju yang turun semakin lebat dari langit dan dia tahu badai salju akan turun tak lama lagi.

Dia menghembuskan napas pasrah dan mengedarkan pandangannya ke sekeliling wilayah itu dan senyumnya mengembang saat melihat sebuah gereja kecil tak jauh dari sana.

"Lebih baik aku menginap di gereja itu hingga badai saljunya reda. Aku tidak mau mati kedinginan di tengah hujan salju yang dingin mencekam," putusnya lalu segera berlari kecil ke arah gereja kecil itu.

"Ada orang di dalam? Bolehkah aku menumpang masuk, Tuan? Di luar akan ada badai salju, bolehkah aku menumpang sebentar saja?" tanyanya nyaring di depan pintu.

Tak ada jawaban. Sekitar lima belas menit dia menunggu dan tak ada jawaban sama sekali dari dalam gereja itu.

Gadis itu mencoba membuka pintunya dan melongokkan kepalanya ke dalam, mengintip. "Sepertinya tak ada orang," gumamnya pada dirinya sendiri saat menyadari tempat itu kosong.

"Baguslah," lanjutnya senang lalu segera masuk ke dalam dan berlindung.

Gereja itu tidak terlalu besar tapi juga tidak terlalu kecil. Ada sebuah piano di tengah ruangan, tepat di samping altar gereja.

Di depan altar itu ada beberapa kursi yang biasa digunakan para jemaat untuk berdoa, terbagi menjadi dua sisi dan di tengahnya ada sebuah jalan setapak sebagai tempat untuk berjalan menuju Altar.

Tak jauh dari piano itu berada berdiri sebuah pohon Natal yang lumayan besar lengkap dengan pernak-perniknya yang indah dan berkelap-kelip.

Di bawah pohon Natal itu juga diletakkan beberapa kado Natal dan di sekeliling ruangan ini juga dihias berbagai macam hiasan Natal yang mayoritas berwarna merah dan emas, sangat indah dan memberikan kesan hangat.

"Sepertinya siang tadi, gereja ini sempat digunakan untuk perayaan Natal. Dekorasinya masih terpasang dengan indah di seluruh ruangan," ujar gadis itu dalam hati seraya berjalan perlahan mengamati seisi gereja itu.

"Rumah Tuhan. Tidak ada tempat yang lebih aman selain di Rumah Tuhan," batinnya tenang, lalu dia berjalan ke arah piano itu dan duduk di atas kursinya dan mulai memainkan sebuah nada.

Winter Tears (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang