MAPLE. Pohon itu tersorot cahaya matahari. Daunnya kekuningan. Bahkan Coklat. Satu persatu daunnya berguguran. Mengikuti musim yang membungkusnya.
Rambut pirang itu terhembus angin. Dua bola mata coklatnya menatap pohon di luar jendela. Kedua tangannya mendekap sebuah bantal di sofa ruang tamu. Dagunya tertempel di wajah bantal. Kakinya tersilang diatas bantalan sofa empuk. Badannya terayun ke depan dan ke belakang.
Meski di luar rumah begitu terang. Tapi tidak untuk seisi ruangan rumah, bagi Corni. Ia merasakan gelap menyelimuti. Sepi menemani. Hening menjadi sahabatnya.
Bayangan ayah dan ibu selalu menggelayuti pikirannya. Sewaktu-waktu air mata Corni bisa menetes. Bahkan membanjiri pipinya.
Dalam pikirannya kini. Bagaimana caranya agar bisa bertemu ayah dan ibu kembali. Terlebih, melihat setiap anak bersama orangtuanya yang melintasi jendela rumahnya. Air matanya tidak tertahankan lagi. Matanya memerah. Bantal itu diremas sekuat-kuatnya.
“Ahh..!” teriak Corni. Bantal Sofa itu terlempar dan menjatuhkan vas bunga diatas meja ruang tamu.
Mina yang baru datang. Lantas Menjatuhkan tasnya ke lantai, serta mendekap Corni. Corni terus meronta-ronta. Wajah anak berambut pirang itu memerah. Matanya membelalak. Kakinya terus menendang-nendang diatas kursi. Mina sekuat tenaga menahan dan menenangkan Corni.
“Cukup Corni... Tenang... ada kakak di sini. Ibu dan ayah baik-baik saja...” Dekap Mina pada adik bungsunya.
Corni tidak menghiraukan bujukkan Mina. Nafasnya semakin tersenggal. Deru nafasnya begitu cepat. Jeritannya semakin menggema di udara.
“Aku mau Ibu...! aku mau ayah...!” jerit Corni. Ia semakin kuat melawan dekapan Mina. Mina semakin menguatkan cengkramannya. Ia khawatir Corni melukai dirinya sendiri. Tapi, Corni menggigit lengan Mina sampai merah. Corni terlepas dari pelukan kakaknya. Ia berlari menuju keramik pecahan vas bunga. Mina lekas menarik baju Corni. Mina berteriak.
“Dilah...! Dilah...! Dilah...!” Mina sekuat tenaga memanggilku. Tapi aku tidak ada di rumah. Mina seperti tak kuat lagi menangani Corni. Dengan terseret-seret ia menahan adik bungsuku. Sebelum Corni berhasil mengambil pecahan kaca yang tinggal 5 senti lagi. Mina menarik badan Corni ke belakang dan melipat tangan ia dan Corni.
Akhirnya Corni mulai menyerah. Deru nafasnya berkurang. Tubuhnya melemas. Suaranya parau. Mina tak kuat lagi menahan emosinya. Ia menangis sambil mendekap adiknya.
“Sabar sayang... Kakak ada di sini...” Suara isak tangis menemani mereka berdua. Keheningan menjadi saksi mereka.
Dengan tubuh lemas. Mina mengangkat tubuh kurus Corni ke atas sofa. Ia menidurkan Corni dalam pangkuannya. Sambil menghadap ke jendela ruang tamu yang sama. Mereka menenangkan diri. Ditemani udara luar yang mulai mendingin.
“Assalamualaikum...” salam kuucapkan. Kakiku langsung masuk, karena Mina tidak sempat menutup pintu. Ku lihat pecahan keramik vas bunga berserakan. Seperti dilempar dan dijatuhkan sekuat tenaga. Lagi-lagi aku teruingat Corni yang ku tinggalkan.
Tubuhku melemas. Keringat dingin mulai muncul dan bercucuran. Betapa jahatnya aku. Meninggalkan Corni sendirian di rumah. Tanpa pengawasan siapapun.
Semenjak lima tahun lalu. Corni tidak pernah ditinggal sendiri biasanya aku dan Mina bergiliran menemani Corni. Jika ditinggalkan ditinggalkan sendiri. Inilah yang terjadi. Apa yang aku dan Mina takutkan terjadi. Corni bisa melukai dan mengancam keselamatan jiwanya sendiri.
Dengan langkah perlahan aku mendatangi Mina dan Corni yang duduk di sofa. Mina menjawab salamku dengan suara pelan.
“Wa’alaikumsallam...” jawab Mina. Belum sempat aku duduk. Mina bertanya dengan nada dingin.
“Darimana? Tidak ingatkah kau dengan Corni? Kau tinggalkan ia sendiri. Tanpa ada yang menemani?”
“Maafkan aku Mina. Tadi aku hanya ingin pergi ke perempatan kota untuk membeli Coffekesukaanku. Aku ingin menghirup udara segar sebentar. Tanpa berniat meninggalkan Corni lama. Tapi, tadi tiba-tiba. Rey menelponku. Bosku ingin bertemu detik itu juga. Tanpa ingat dengan Corni yang ku tinggalkan sendiri. Aku langsung naik taxi dan pergi ke kantor. Dan baru tiba sekarang. Maafkan aku ka,” dengan wajah tertunduk aku menjawab. Tak terasa air mataku satu demi satu menetes. Meremas ujung kerudungku.
“Jangan kau ulangi lagi. Meninggalkan Corni dengan angin sebagai temannya saja,” timpal Mina dengan dingin.
“Baik Mina. Sekali lagi aku minta maaf ,” jawabku. Aku berjalan menuju Corni yang tertidur di pangkuan Mina, karena lelah menangis. Ku membisikan kata maaf ditelinga merahnya.
“Maafkan aku Corni,” air mataku menetes ke pipi Corni. Ku usap air mata jatuh itu.
“Diluar sana. Daun Maple bisa mengubah karbondioksida menjadi oksigen. Bisa menerima panasnya cahaya matahari. Tapi belum untuk Corni. Dibalik jendela, ia belum siap menerima semua itu. Didalam ruangan gelap ini. Ia duduk sesak dengan kepedihannya,” Mina berkata. Dengan tatapan kosong ia menatap pohon Maple itu.
“Di toko aku merasa gelisah. Teringat Corni di rumah. Lantas aku izin untuk pulang lebih dulu. Saat tiba di rumah. Vas bunga berserakan. Emosi Corni labil. Ia hampir menghilangkan nyawanya sendiri. Ku panggil kau. Tapi batang hidungmu tak juga nampak. Jangan tinggalkan Corni lagi,” pungkas Mina.
Selanjutnya Mina menggendong tubuh kurus Corni ke dalam kamar. Ia membaringkan tubuh sibungsu dengan perlahan. Membentangkan selimut diatas tubuh kurus itu. Tidak lupa mengecup kening dan mendoakannya. Lalu ia menaiki tangga dan tubuhnya hilang dibalik pintu kamar.
Dengan wajah tertunduk dan menyesal. Ditambah isak tangis. Ku bersihkan pecahan keramik vas bunga. Ingin sekali ku memaki diriku sendiri. Mungkin, jika Mina terlambat satu menit saja. Entah apa yang akan terjadi pada si bungsu.
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
Autumn On Story
General Fiction"Kepergian ibu dan bapak. Bukan akhir dari hidupmu. Meski jerih menjalaninya cobalah buka jendela baru. Biarkan udara segar masuk untuk menyejukkan ruangan dalam hatimu. Biarkan cahaya matahari masuk dan menerangi ruangan gelap dalam hatimu. Sebelum...