ii

33 7 5
                                    

Beruntung sekali, bunda Bumi, Ine mempunyai dress yang cocok untuk Bumi. Warna putih tulang, polos dan tidak berlebihan, ya walaupun dress nya diatas lutut dan sedikit corak bunga di bagian bawahnya.

Coba saja, Bumi tidak menemukan dress nya mungkin ia tidak akan pergi.

.-.--.-.

"Ngit, ikut gue yok!" suara teman kampusnya menyeruak kala ia menekan tombol hijau di ponsel nya.

"Kemana nyet?" Langit tau, temannya itu, Romi sedang misuh-misuh disana.

"Nyat-nyet-nyat-nyet, ke pesta rut," Langit terkikik, "Banyak makanan nyet?"

"Oh iya gue lupa lo bukan curut, ada kok dak." Kini giliran Romi yang terkekeh.

"Gue bukan badak goblok, kalo gue badak dari dulu gue udah gendut." Romi masih terkekeh.

"Kan lo perut karet," Langit pura-pura marah, kini ia sedang menahan tawanya.

Hening. Romi mengira Langit marah padanya, jadi.. "Yang, lo masih disana kan? Masih idup kan? Gue berlebihan ya? Sori sori."

Langit menjauhkan ponselnya dari telinganya. Menatap jijik ke layar ponsel yang bertuliskan monyet pantat emas Lalu ia menempelkannya lagi, "Yang-ying-yung lo pikir gue ayang lo?"

"Sori gue typo, tadi mau ngomong Lang." Romi terkekeh, Langit pun balas terkekeh. Typo dunia nyata.

"Udah woy, kok malah terkekeh sih, lanjut ke topik. Lo mau ikut gak?"

"Bentar, bentar," Langit memikirkan ajakan Romi, mendadak sih, tapi dia lagi sendiri di rumah. Mamanya udah pergi. Jadi.. "Enggak.."

"Oh yaudah," hampir saja Romi mematikan sambungan telfonnya secara sepihak namun teriakan Langit menghentikannya, "Eh gue belum selesai ngomong nyet, maksud gue ENGGAK NOLAK!!" disertai penekanan di ujungnya. Dan sudah pasti membuat telinga kanan Romi kembang kempis.

Langit sempat mendengar Romi yang meniup-niup telinganya dengan angin yang berasal dari mulutnya berkali-kali. Namun sebelum Romi mengomel, lebih baik ia mematikannya. Dan tutt-tutt-tutt.

"Loh kan kampret," Romi memandang layar ponselnya yang bertuliskan langit mendung gak ujan-ujan. LEBAY? EMANG!

.-.--.-.

"Mi, gue cantik gak?" tanya Anggi yang sudah berdiri di hadapan Bumi. Anggi was-was karena ini adalah gebetannya, gebetan pertamanya di kampus.

Bumi tersenyum tulus, "Lo diapain aja cantik Nggi, gue aja kesem-sem sama lo."

Anggi terkekeh, malu karena pipinya mulai merah. "Lo ini ya aneh, baru gue puji udah merah pipi lo. Gimana kalo Radit yang muji lo?"

Anggi memukul pelan lengan Bumi, Bumi meringis. "Gausah lebay, ayo berangkat. Keburu udah mulai."

"Iya tau yang pengen cepet-cepet ketemu gebetan, gak sabaran amat sih." Bumi mengekor di belakang Anggi dan segera menduduki bangku penumpang di sebelah Anggi yang menyetir.

Flatshoes, Bumi memakai flatshoes yang sungguh sebenarnya ingin ia lepas. Kerap kali Bumi memakai itu, dan jari kaki kelingkingnya lecet. Namun ia tidak ada pilihan lain, daripada ia harus memakai higheels dengan tinggi tiga centi meter milik Ine, bundanya.

"Hari ini lo lebih tinggi dua centi Gi," kata Bumi setelah turun dari mobil dan berjalan beriringan dengan Anggi.

Anggi menoleh dan nyengir, "Punya nyokap, lima centi."

Bumi tergelak, pantes. Pasalnya ia lebih tinggi 3 centi dari Anggi.

Pesta sudah akan di mulai, saat ternyata gebetan Anggi menunggu kehadiran Anggi di depan pagar rumahnya.

"Loh Dit, lo ngapain?" tanya Anggi pada Radit.

"Nungguin lo lah," Radit langsung menarik pergelangan tangan Anggi. Dan Bumi hanya bisa geleng-geleng kepala. Obat nyamuk, pikirnya.

Saat ia ingin melangkah, seseorang menyenggol lengannya, Bumi sedikit bergeser hampir jatuh malah, jikalau saja ia tidak menjaga keseimbangan.

Ingin sekali Bumi memaki cowok itu jikalau saja ia tidak berada di tempat yang seramai ini. Bumi hanya tamu yang bahkan tidak di undang oleh si empunya hanya di undang oleh sahabatnya.

Sabar Rit, sabar.

Bumi melangkah lagi, menerjang keramaian, mencari keberadaan sahabatnya yang ternyata sedang menjadi pusat perhatian oleh semua orang.

Bagaimana tidak, saat ini Radit tengah menyatakan perasaannya ke Anggi, memberi sebuah kalung dan mencium tangan Anggi. Dan tentu saja, Anggi menerimanya. Semua orang bertepuk tangan, Bumi bisa melihatnya.

Matanya menelanjangi setiap sudut pesta ini, namun sesuatu membuatnya terkejut.

Satu orang itu hanya duduk, bermain ponsel dan tidak peduli dengan keadaan sekitar.

Satu orang itu yang tadi menyenggolnya.

Dua kali, ia juga menyenggolnya di mal.

Satu orang itu mengingatkan Bumi pada masa lalunya, Bumi mengenalnya.

Ingin sekali Bumi menghampirinya, namun satu kesadaran membuatnya mengurungkan niatnya. Bumi ingin melupakannya. Satu tahun lebih dan Bumi tidak ingin usahanya sia-sia.

Bumi berbalik, namun seseorang menepuk pundaknya. Mampus lu.

Guys if you like it, read it, give the vote and comments! It means a lot to me :)

Bumi & LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang