Ayah dan Sebuah Pulau

178 20 12
                                    

By syydhaisy

Happy reading!!
Jangan lupa di-vote ya kawan-kawan.


Sangat menyebalkan. Kutendang batu yang ada di depanku dengan bersungut-sungut. Bagaimana tidak? Teman-temanku asyik bermain mobil remote di trotoar sedangkan aku hanya bisa melihat mereka menggoyang-goyangkan tombol. Ayah selalu berjanji kalau sudah punya uang cukup akan membelikan satu seperti itu kepadaku. Tapi kapan?

Sesampainya di rumah kulihat ayah sedang menyiapkan dagangannya untuk dibawanya keliling nanti sore. Segera kuhampiri dia dan meminta apa yang sudah dijanjikannya.

"Ayah, mana mobil-mobilan Alif?" ujarku dengan nada kutinggikan.

"Nanti ya nak setelah ayah keliling,"

"Sudah berbulan-bulan ayah mengatakan nanti-nanti, kapan nantinya!" aku sangat sebal dengan ayah.

"Iya nanti ayah belikan setelah ayah punya uang."

"Kapan sih ayah punya uang!"

"Nak, dengarkan baik-baik. Keluarga kita itu tidak seperti keluarga teman-temanmu yang suka menghambur-hamburkan uang. Keluarga kita sudah dikasih seperti ini saja sudah bersyukur nak. Maka dari itu, Alif kan sudah besar mohon dimengerti ya.."
Benar saja, ayah menolak membelikanku mainan dan aku sanga kecewa.

"Alif malu yah dengan keluarga kita yang miskin. ALIF BENCI AYAH!"

Aku pun lari ke kamarku dan mendorong pintu dengan keras hingga suara pintu tertutup itu berbunyi seperti suara ban meletus. Kuhempaskan badanku ke kasur kapuk yang tua dan kutelungkupkan kepalaku pada bantal yang bau.
Aku benci harus malu pada teman-teman, aku benci menjadi miskin, aku benci ayah, dan aku tidak mau punya ayah seperti dia.

***

Samar-samar telingaku menangkap suara orang berbicara saling bersahutan. Ada pula suara tangisan menggema. Dengan berat kubuka mataku. Gelap yang pertama ada di pikiranku. Dan suara-suara ombak mulai terdengar aku pun berusaha menangkap objek lain yaitu di sekelilingku. Kayu. Seperti kapal. Tak lama kemudian air membasahi tubuhku yang masih telentang. Asin. Seperti air laut. Berarti aku ada di kapal yang sedang berlayar. Kutatap lagi sekelilingku, bukan kapal melainkan perahu kecil.

Aku pun terduduk suara orang menangis dan berteriak sudah hampir hilang. Namun mataku mencari asal suara itu, tepatnya di belakangku. Aku pun menengok ke belakang. Pantai dipenuhi banyak orang, di belakang sana banyak kerabatku berkumpul. Ibu menangis hingga terduduk memanggil-manggil nama ayah. Ada apa dengan semua ini?

Mataku tertuju pada objek yang terbaring di sampingku. Ayah dengan matanya yang tertutup dan tubuhnya yang kaku serta dingin. Sekelebat bayangan terlintas di benakku. Mulai dari ibu yang menangis di ujung pantai, perlayaran ini, hingga ayah di sampingku. Astaga! Innaalillaahiwainnailaihiraaji'uun..

Tak terasa air mataku turun. Seumur hidupku baru kali ini aku menangis. Tidak mungkin ayah yang tadi siang kumarahi sekarang sudah tiada. Kupeluk tubuhnya. Sedingin es. Wajahnya juga pucat. Oh ayahku maafkan Alif telah membentakmu.

***

Entah sudah berapa lama aku mengapung di perahu ini. Semakin jauh dari pantai semakin ganas ombak yang menerpa. Yang terpenting aku tidak takut, karena ada ayah yang tentunya akan menjagaku. Walau ia sedang tertidur sekarang.

Tiba-tiba datang ombak yang sangat besar disertai petir yang menggelegar. Perahu terombang-ambing lebih kencang seperti naik bianglala. Air juga sudah memenuhi hampir setengah perahu. Aku memeluk ayah erat-erat, tak ingin jatuh dari kapal. Aku pun memejamkan mata berharap semua ini segera berakhir.

1st COMPETITIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang