CHAPTER 5

145 18 1
                                    

"Dokter Arshandi, bangunlah! Kumohon, cepat bangun!" seru Kanti sambil mengguncang-guncangkan badannya. Pecahan-pecahan kaca berserakan di tubuhnya.

"A ... ada apa ..." Shandi mulai tersadar, namun masih kebingungan.

"Vivian ... Damia mengutusnya untuk membunuh Lana!"

***

"Ke ... kenapa kau melakukan ini Vivian?" tanya Lana dengan gemetar, "Aku tak pernah melakukan kesalahan apapun terhadapmu."

"Aku hanya menjalankan perintah. Namun aku sama sekali tak keberatan. Manusia macam apa yang mau berteman dengan vampir? Benar-benar membuatku muak!"

"Vivian, kumohon hentikan!" jerit Lana.

"Jangan sakiti dia!" tiba-tiba terdengar suara perempuan.

Lana dan Vivian menoleh.

"Nabila?"

Gadis itu telah berdiri di ambang pintu, sambil memegang kartu-kartu tarotnya di jemarinya seperti kipas. "Aku adalah lawanmu."

Vivian hanya tertawa, "Memangnya apa yang bisa kau lakukan?"

Nabila segera melemparkan kartu-kartunya. Vivian dengan cepat menghindar dan melihat kartu-kartu itu menancap di dinding belakangnya bak pisau.

"Kau bukan orang biasa rupanya. Kau sudah mengisi kartu-kartu itu dengan energi gaib." Vivian justru tersenyum, "Kau akan jadi lawan yang sepadan. Kita lihat mana yang lebih cepat, kartumu atau peluruku?"

"Atau panahku!"

Vivian menoleh dan terkejut melihat Shandi telah menodongkan dengan anak panahnya yang teracung tepat ke kepalanya.

"Kenapa kau melakukannya ini, Viv? Kenapa Damia melakukan ini semua?"

Vivian hanya mencibir ketika melihat Kanti bersembunyi di belakang Shandi, "Dasar pengkhianat kecil. Kali ini kalian bisa lolos."

Vivian berbalik pergi dan melompat dari kaca jendela. Shandi dan Nabila berusaha mengejarnya, namun ternyata ia dengan lincah melompati tiap balkon bak pemain akrobat. Dalam waktu singkat, ia telah sampai di lantai satu dan kabur menggunakan motornya.

"Aku benar-benar tak mengerti, mengapa Damia tega melakukan ini semua?" bisik Shandi.

Tiba-tiba Nabila menjatuhkan semua kartunya. Tangannya tampak gemetar.

"Ada apa, Nab?" tanya Lana cemas. Ia tahu gadis itu merasakan sesuatu.

"Musuh yang sebenarnya telah datang. Ia amat kuat!"

"Siapa?" tanya Lana.

Tiba-tiba ia melihat semuanya tak bergerak, diam mematung.

"Kak Shandi? Nabila? Kanti?" tanya Lana.

Ia menoleh. Tak hanya tubuh teman-temannya membeku, namun jarum jam juga berhenti berdetak. Ia melihat ke wastafel dan melihat air yang menetes dari keran juga berhenti, mengambang di udara.

"Teman-teman, sadarlah!" jerit Lana.

"Mereka takkan mendengarmu, Darah Suci. Atau harus kupanggil, Lana?"

Lana melihat seorang gadis cantik berambut hitam dan bergaun putih panjang bak putri Eropa masuk menembus dinding.

Ia pernah melihat gadis ini sebelumnya. Ia langsung teringat pada figur yang ada di atas kotak musik pemberian Napoleon yang ia lihat di kraton.

"Lilith?"

"Darimana kau bisa tahu nama itu?" tanya Juliana, "Kurasa aku terlalu meremehkanmu. Kau tahu lebih banyak ketimbang yang kuduga, Lana. Namun jujur saja, jangan panggil aku Lilith. Aku sendiri tak suka nama itu."

CITY OF ASHES: PART TWOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang