1. Lari dari Kenyataan

238K 8.8K 143
                                    

Bagian Satu.

Langkahnya menderap dengan sempurna di sebuah ruangan putih dengan lantai keramik yang berwarna senada, napasnya berhembus teratur.

Tatapannya memandang lurus ke depan dari balik lensa kaca matanya yang tebal. Hingga langkahnya berhenti ketika seseorang memakai snelli yang sama menyapanya sambil tersenyum hangat.

"Frella." Ia tersenyum membalas. "Lo udah makan siang?" tanya gadis itu, dari name tagnya terlihat dengan jelas bahwa ia bernama Irene Syarif.

Gadis berkaca mata itu menghela napas seraya mengeleng lesu. "Gue beneran lagi sibuk-sibuknya nih, nggak sempat makan." Irene mendesis lantas menyodorkan sebuah kantung berlogo restoran cepat saji.

"Lo itu ya, mentang-mentang udah nggak ada lagi yang ngingatin makan jadi kayak gini deh. Sudah ini ambil aja, tadi cowok gue sengaja bungkusin gue makanan. Berhubung gue sudah kenyang dan kebetulan juga nih, lo belum makan mending ini buat lo aja." Irene memaksa Frella untuk menerimanya.

"Eh, nggak usah kali Ren. Gue masih kenyang," elaknya. Irene terus memaksa hingga akhirnya tangan kanan Frella sudah memegang kantung yang disodorkan Irene.

"Jangan nyiksa diri sendiri. Gue tahu lo emang lagi berusaha banget nyibukin diri buat pasien dan gue juga tahu lo ngelakuin ini biar lo dapat surat pindah tugas ke Rumah Sakit yang di Singapura, tapi gue mohon Frel nggak gini juga caranya."

Frella mendesah pelan, tahu betul bahwa Irene selalu bisa membaca apa yang ada dipikirannya. "Oke. Makasih buat ini ya Ren, salam buat Reven bilangin gue minta maaf sudah ngambil apa yang dia kasih ke lo," balas Frella.

Irene tertawa pelan sembari mengangguk. "Iya entar pasti gue sampein. Sudah, itu intinya jangan nggak dimakan. Oke?"

"Iya, bawel."

"Oke deh, gue lanjut jalan dulu ya ke arah bangsal kiri. Tadi pas istirahat, gue ninggalin riset makanya mesti lanjut lagi sebelum Ibu Ghina ngamuk gara-gara gue bolos mulu." Frella memepersilakan."Iya. Gue juga. Sekali lagi makasih buat ini," balasnya.

Mereka kemudian berpisah, berjalan berlawanan arah menuju tujuan mereka masing-masing. Frella sebagai dokter umum, sedangkan Irene memilih jalan sebagai dokter kandungan.

-Fall-

"Ada gejala lain selain buang air besar yang terjadi terus-menerus?" Dua lawan bicara di hadapan gadis itu saling berpandang-pandangan dan berdiskusi mengenai jawaban yang akan mereka berikan.

Hingga salah satu membalas pertanyaannya. "Ada si Dok, si Reni ini sejak semalam juga muntah terus." terdengar nada mengeluh.

Frella, sosok yang menjadi pemberi pertanyaan mengangguk paham. Matanya menatap gadis kecil yang terlihat pucat di hadapannya itu dengan pandangan meneliti.

"Ehm, Reni bisa ikut dokter periksa di sana?" Frella menunjuk pada ranjang dimana sisi kanan dan kirinya ditutupi dengan gorden berwarna hijau muda.

"Bisa, Dok."

Reni bangkit berdiri lalu berjalan duluan dengan gerakan pelan menuju ranjang, Frella menuntun di samping sedangkan wanita yang merupakan ibu dari gadis itu juga ikut membantu melepas sepatu gadis itu saat naik ke atas ranjang.

Frella tersenyum kecil kepada Reni. "Rileks aja ya, Sayang." Ia lalu menaikkan stetoskop yang berada di lehernya untuk dipasangkan ke telingganya. Salah satu ujungnya ia taruh pada dada gadis itu, memeriksa detak jantungnya. Setelah ia rasa cukup, ujung stetoskop itu Frella pindahkan ke lipatan lengan Reni, sebelah tangannya yang bebas memompa alat untuk menghitung tensi darah yang terjadi pada manusia. Mencatatnya sebentar, lalu ia melepaskan stetoskop itu.

FallTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang