16. Hancur dan Melebur

60K 4.2K 145
                                    

Bagian Enam Belas

Di dalam ruangan kerjanya, Farel sibuk mencoret-coret di buku sket mengenai rancangan bentuk bangunan salah satu gedung perusahaan yang akan direnovasi. Farel terlihat tidak mengalihkan pandangannya sedikit pun, tangannya bergerak membentuk bola bundar di puncak gambar bangunan yang menjulang tinggi.

Bola itu sebagai simbol, namun baru saja ia menebali dua kali garis pada bola itu. Ia merobek kertas di dalam buku sketnya itu lantas melemparnya sembaragan. Beberapa kertas yang bernasib sama dengan kertas sket tadi sudah memenuhi lantai.

Farel menarik napas dalam tak lama berselang ia mengumpat dengan kesal sambil mengacak-acak rambutnya. Ia tidak menemukan titik terang untuk bentuk bangunan yang harus ia presentasikan awal pekan mendatang. Tidak setitikpun, semua gambarannya tadi sama sekali tidak sesuai dengan harapannya. Miringlah, terlalu rumit lah, kurang mendetail dan begitu banyak alasan yang membuat kertas-kertas sketnya berakhir mengenaskan menjadi gumpalan tidak bermutu di lantai.

Ia memilih beranjak menuju kaca jendela bening yang berada di ruangannya. Menghembuskan napas dalam, Farel memandang ke arah gedung-gedung pencakar langit serta lalu lalang kota Palembang yang terlihat dari jendela tersebut.

Pikirannya berkelut, antara pernikahan Brenda dan kejadian kemarin sungguh membuatnya tidak bisa berkosentrasi. Ucapan mama dan kakaknya jelas membuatnya terusik, memang mereka tidak mengancamnya untuk menikah dengan Frella. Tidak memang hanya diucapan dan tidak ada pemaksaan sama sekali tapi tetap saja.

"Sekali-kali kamu membahagiakan mama." Itu hanya kalimat singkat yang dikatana Fabian, sayangnya kalimat singkat itu sangat teramat menyentil perasaan Farel. Sampai sekarang ia selalu memikirkan ucapan Fabian itu.

Memangnya selama ini ia tidak pernah membahagiakan mamanya, setahunya ia sering membahagiakan mamanya. Ah, kakak pertamanya itu memang sering mengecilkan orang. Farel melirik pada jam yang berada pada dinding ruangannya itu, pukul dua belas kurang. Waktu jam makan siang. Wajar jika perutnya dari tadi merasa kelaparan.

Mungkin ia memang butuh mengisi perutnya agar bisa menjernihkan kembali pikirannya yang benar-benar kelam saat ini. Farel beranjak meninggalkan ruangannya untuk menuju lantai dasar gedung kantornya itu, di lantai dasar ada kantin kantor.

Sepuuh menit adalah waktu yang digunakan Farel untuk sampai ke kantin, ia memilih duduk di bangku paling pojok dan sendirian. Andai saja Leon bekerja di kantornya, bukan sebagai pengacara. Mungkin ia memiliki teman untuk bertukar pikiran.

Makan siang, Farel hanya memesan nasi satu piring dengan lauk soto ayam. Ia melahapnya dengan malas-malasan. Pandangan matanya tidak tertuju ke piring melainkan sekitarnya, matanya menyisir ke segela penjuru kantin sampai matanya berhenti pada layar petak yang tergantung di dinding kantin.

Wajah familiar yang berada di layar petak tersebut jelas sangat Farel hapal, matanya tidak berkedip melihat layar tersebut. Suara dari layar petak diam-diam terdengar di telinganya.

"Iya, saya dan Mas Gery memang akan menikah secepatnya."

"Oh, hubungan saya dengan Farel sudah berakhir lama. Dan kami sudah jalan sendiri-sendiri juga sudah lama sampai saya bertemu Mas Gery dan yakin menikah dengan dia." Kata-kata itu diucapkan dengan malu-malu. Tangan Farel terkepal saat mendengar ucapan dusta dari bibir Brenda itu. Padahal jelas belum kurang dari sepekan mereka berpisah.

Farel bankit berdiri dari temat duduknya, langkahnya bergerak cepat meninggalkan kantin. Semua orang yang melihatnya dapat tahu dengan mudah bahwa laki-laki itu sedang menyimpan amarah terlihat dari raut wajahnya.

-Fall-

Kamera-kamera teracung berebutan menyoroti wajah kedua insan yang sebentar lagi akan menyatu dalam ikatan pernikahan, beberapa wartawan berebut memberikan pertanyaan pada keduanya yang dijawab dengan sangat terbuka oleh keduanya.

FallTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang