2

526 47 5
                                    

Langkah kaki Jimin dan Yoongi berhenti tepat di depan sebuah bangunan kecil-seperti toko. Tidak terlalu mencolok diantara deretan toko maupun kedai lain disekelilingnya yang dipenuhi dengan bunga maupun ornamen unik berwarna-warni sebagai hiasan. Di depan mereka kini hanya ada bangunan dengan dinding yang didominasi warna abu-abu dan putih, berpintu besar seperti pintu garasi. Sederhana memang tapi Jimin tau ini yang Yoongi suka.

Senyum tipis terulas di wajah Jimin saat ia melihat sekeliling, ia rasa pilihannya tepat dan Yoongi pasti menyukainya.'Seoul memang selalu menakjubkan'

Jimin memasukkan anak kunci tadi dan membuka pintu itu perlahan, ia membawa Yoongi masuk dan membiarkannya menikmati dunia baru yang selama ini diimpikannya.

"Jim-ini semua milik siapa?" Jemari Yoongi menyusuri satu persatu instrumen musik yang ada dalam studio kecil ini. Ada beberapa gitar akustik, keyboard, bahkan drum.

Rasa kagum Yoongi tidak dapat bersembunyi, tergambar jelas di wajahnya yang manis. "Ehm, milik temanku hyung. Dia pergi ke luar negeri untuk waktu yang lumayan lama. Dia memintaku mengurusnya"

"Benarkah? Waah" Yoongi masih sibuk menyusuri setiap sudut studio ini dan tak henti-hentinya berdecak hingga memekik.

Ada yang pernah mendengar kebohongan putih, kan?

Beberapa orang percaya kalau berbohong demi kebaikan itu boleh boleh saja, dan Jimin termasuk salah satu yang meyakininya. Bukan apa-apa, hanya saja ia memang tidak ingin Yoongi mengetahuinya.

Yoongi tidak perlu tahu yang sebenarnya. Yoongi tidak perlu tahu kalau Jimin menjual aset peninggalan orangtuanya di Busan demi mewujudkan satu persatu hal yang ia inginkan. Yoongi tak perlu tau seberapa banyak yang bisa Jimin korbankan demi dirinya.

Yang ia perlu tau hanya hidup dengan bahagia karena Jimin ada di sisinya.

Jimin bukan malaikat, dia hanya pemuda biasa.

Dia tidak membawa tongkat ajaib dan tidak memiliki sayap dipunggungnya untuk terbang.

Jimin bukan malaikat, dia hanya pemuda biasa.

Dia tidak bersinar saat malam hari dan tidak dapat mengabulkan permintaan Yoongi semudah menjentikkan jari.

Namun dengan seluruh hidupnya, dia ingin membuat Yoongi bahagia.


Untuk kesekian kali Yoongi melempar kertas partitur yang sudah kusut akibat ulahnya sendiri, benar-benar tidak ada satu idepun yang melintas di otaknya. Dia pikir tugas dari dosennya kali ini dapat dengan mudah ia kerjakan namun nyatanya tidak. Arah pandangnya jatuh pada jam dinding diatas televisi dimana jarum panjangnya menunjuk angka enam, sementara jarum pendeknya berhenti di angka lima. Sudah hampir pukul setengah tujuh pagi, dan dirinya belum tidur sama sekali.

Yoongi semakin mengeratkan selimut yang membungkus tubuh demamnya sejak semalam, pada akhirnya iapun menyerah oleh rasa kantuk. Tidur sebentar mungkin bisa membuat otaknya lebih jernih lagi untuk berfikir. Lalu perlahan mata sayu itu terpejam dan Yoongi pun menyapa mimpinya.

.

Jimin sudah bersiap-siap berangkat, pikirnya hanya tinggal menyambar roti di meja makan dan memakai sepatu lalu segera pergi ke kampus seperti biasa. Namun langkahnya terhenti di ruang tamu begitu melihat tubuh ringkih Yoongi yang menggigil diantara gumpalan-gumpalan kertas yang berserakan.

Not an AngelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang