Part 6 - The Owner

121 9 3
                                    

Manik amethyst itu menatap lurus dan dingin pada sesosok tubuh yang terbaring di atas dinginnya ranjang besi di mana ia dibaringkan dan terikat. Sebuah monitor menunjukkan sebuah garis lurus dan diiringi sebuah bunyi berfrekuensi cukup tinggi; benda itu mengindikasikan subjek percobaannyaa tidak lagi memiliki denyut nadi.

Mati.

Subjek percobaannya mati, tepat sepuluh menit setelah cairan berwarna hijau pekat itu ia injeksikan ke dalam tubuhnya. Yang tersisa kini hanyalah sebuah alat penyuntik dengan bercak-bercak hijau pekat sisa racun tersebut. Wanita itu tampak sudah terbiasa dengan hal ini, toh, orang-orang itu memang merupakan tahanan dan disediakan untuk Melanie melakukan percobaannya. Tangan mungil gadis berusia dua belas tahun itu mencatat hasil pekerjaannya kali ini pada sebuah kertas, dan mengesampingkannya.

Ialah putri sang Godfather, yang dibesarkan untuk menjadi ular berbisa keluarga Crescenzo. Di dalam ruangan itulah ia dibesarkan, ditempa, dan dikurung. Ia bahkan tidak menjamin ia bisa melihat cahaya matahari setiap harinya; ia masih ingat bagaimana dulu ia dipaksa untuk belajar mengenai kimia dan obat-obatan, dan sekarang ia diberikan kewajiban untuk bereksperimen dengan manusia.

Keluarga di mana ia dibesarkan adalah keluarga yang tidak pernah menganggap nyawa orang lain sebagai sesuatu yang berharga, dan hal itulah yang ditanamkan sampai ke generasi-generasi mudanya.

"Kau tidak ingin keluar?" tanya sosok seorang anak lelaki, yang mungkin usianya hanya terpaut beberapa tahun dari gadis itu, duduk di atas sebuah meja tepat di sebelah pintu. Kakinya yang jenjang dan terbalut celana jeans berwarna gelap sesekali ia ayunkan. Sebuah pistol juga tersemat di pinggangnya, dan tidak menutup kemungkinan anak itu membawa senjata-senjata lain di dalam saku hoodie­-nya.

"Kau tahu kenapa kenapa kau disuruh berada di sini?"

"Menjagamu agar tidak kabur, Mel."

Gadis itu terkekeh dan meletakkan buku catatannya. Ia pun memilih untuk duduk di atas sebuah meja yang bersebrangan dengan anak lelaki itu. "Mereka bilang padamu untuk mengatakan itu, bukan? Kalau mereka memang menyuruhmu begitu, mereka tidak perlu repot-repot mengunci pintu itu dari luar."

Anak laki-laki itu terdiam, dan menatap lurus ke arah Melanie. Melanie tidak ingat bagaimana rupa orang itu, warna matanya, atau bahkan namanya. Ia tidak bisa mengingatnya.

"Kau tinggal menembakku dengan pistol itu kalau aku berniat kabur, tapi bukan itu tugasmu."

"Lalu kau bisa menebak tugasku, Tuan Putri?"

"Menahanku kalau tiba-tiba aku berniat bunuh diri?"

Anak laki-laki itu tertawa pelan. Ia tidak mengiyakan pertanyaan- bukan, pernyataan gadis itu, tapi ia tahu ia sendiri tidak bisa mengelak. "Kau tahu pembicaraan ini tidak lazim untuk anak-anak seusia kita."

"Adakah hal yang tidak lazim di dunia kita, ...?"

Tidak. Sampai detik ini pun ia tidak mampu untuk mengingat nama anak itu.

"Kurasa tidak," jawabnya, dengan senyuman lembut nan miris terlukis di bibirnya. Ingatan itu masih samar, namun perlahan Melanie bisa mengingat bagaimana ia menyukai senyuman tersebut.

"Aku turut menyesal dengan apa yang terjadi pada ibumu," ucap anak lelaki itu, membuat atmosfer yang melingkupi ruangan itu mendadak menjadi suram, redup- walaupun ruangan itu memang tidak pernah terang.

Wanita itu anehnya tampak tenang, terlalu tenang untuk seorang anak berusia dua belas tahun yang telah mengert tentang kematian, setelah mengetahui kalau sang Godfather, ayahnya, akan menghukum mati ibunya sendiri- mereka bilang hal itu akan menjadi contoh untuk yang lainnya agar tidak berkhianat.

ReverieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang