part 6

22 3 0
                                    


"Be my best friend in this life and be my best friend in another life, someday. We'll meet again."

Lail udah pulang, karna bajunya basah dia minjem baju kak Gea. Baju kak Gea itu warna-warna maskulin. Biru tua, hitam, paling cerah ya putih. Lail pake baju warna putih, soalnya dia suka banget sama warna putih.
Hffh pantes aja dia orang nya tulus banget.

Kata-kata dia masih terngiang di otak gue. Gak nyangka, dia ternyata ngerasain hal yang sama kayak gue. Ternyata sahabat gue dari TK itu emang suka sama gue juga.

Gue seneng banget! Ah tidur siang enak nih kayaknya. Ah elah siapa yang  nelfon sih?!

"Apa sih, Kak?" ya ampun kak Gea nelfon gue dari bawah. Alhasil gue gak jadi tidur.

Gue turun ke bawah, sambil nguncir rambut. Dan langsung cus jalan bareng kak Gea. Dia mau beli buku katanya. Mall kan lumayan jauh dari sini, malesin banget si nih.

Di jalan, gue liat kerumunan orang. Kak Gea langsung berhenti dan ngedeket. Gue juga ikut.

"Pak, ada apa ya? Sampe macet gini?" tanya kak Gea.

"Ada kecelakaan, Mas! Orangnya sampe meninggal, yang nabrak malah kabur!" jawab bapak itu.

Gue langsung nutup mulut, kasian banget. Tabrak lari? Gila nih, dunia rasanya makin gak aman. Gue ngedeket ke arah orang-orang, dan cuma ngeliat sepatu dan celana jins korbannya.

Kak Gea ngedeketin gue dan coba ngeliat keadaan korban yang meninggal. "Ya ampun! Cil!!!" kak Gea sontak nangis. Gak pernah gue liat dia nangis segampang dan secepet itu.

"Kenapa sih, Kak?" gue ikut panik jadinya.

Kak Gea meluk gue kenceng banget. Gue gak ngerti, kak Gea juga ngelus punggung gue. Ada apa sih ini!?

"Kenapa sih, Kak? Lo sedih liatnya?" tanya gue.

Dan pas banget gue nengok, petugas Ambulance dateng dan ngebawa jenazahnya. Gue liat, tunggu! Apa gue gak salah liat? Gila, ini mimpi kan?!!

*story*

Lail meninggal.
Ternyata korban tabrak lari itu adalah Lail. Gea mengenali sepatu, jins dan juga baju putih yang dia pinjamkan untuk Lail. Entahlah, warn putih itu penuh corak merah. Merah darah.

Gea memeluk Cia erat, dia takut Cila akan sangat terluka mengetahui ini. Bahkan Gea pun kaget dan terpukul. Lail sudah seperti adiknya. Bagaimana lagi Cila?!

Cila  menoleh dan melihat wajah sahabatnya yang penuh darah. Kepalanya luka parah. Cila pingsan, dia juga dibawa ke rumah sakit. Badannya langsung demam tinggi, dia bahkan ngigo dalam ketidak sadarannya.

Gea tau, semua itu berat. Bahkan dirinya juga tidak percaya akan semua ini. Baru tadi Lail bertemu dengannya dan meminjam baju. Baru tadi mereka saling sapa, lalu mengapa sekarang malah begini?

"Lail!!!" Cila melihat Lail yang sedang berjalan menjauh darinya. Dia berteriak memanggil Lail, tapi Lail tak mendengar. Dia berlari mengejar, dan menahan tangannya.

"Lo mau kemana? Jangan pergi, Lail... Lo mau kemana sih?!" Cila marah. Lail hanya tersenyum, dan melepaskan tangannya dari genggaman Cila.

"Ini saat paling berat buat gua, Cila. Tapi gua minta lo bahagia, demi gua juga. Gua ada buat lo, gua selalu jadi sahabat lo, iya kan?" tanya Lail.

"Gua bisa nunggu lo 500 tahun lagi, dan janji sama gua lo bakalan inget gua, dan do'ain gua."

Bayang Lail pergi menjauh, dan hilang seketika. Cila berteriak, bahkan suaranya habis.

"Lail!!!" Cila terbangun, menatap sekitar hanya ruangan rumah sakit. Gea masih menangis disana, berarti Lail memang sudah tidak ada. Berarti semua itu memang benar.

Cila menangis, matanya bengkak tapi dia tidak peduli. Gea sudah menenangkannya, tapi itu percuma.

"Gue mau Lail, Kak! Dia kenapa ninggalin gue?! Kenapa dia tega pergi kayak gini!!! Tuhaaan, kenapa harus Lail?"

Air matanya tumpah, tak terkendali. Tangannya mengusap wajahnya dengan gemetar. Semua terlalu mengerikan untuk diingat.

Hujan bahkan turun lagi dengan derasnya, seolah langit juga ikut menangis. Awan juga menangis.

"Hujan, ku mohon biarlah kau turun dari langit melalui awan. Jangan turun dari mata melalui luka kehilangan semacam ini!"

Awan Dan MalamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang