Namaku Sherina. Aku adalah seorang gadis cilik yang cerdas, enerjik, rajin bersedekah dan senang mengaji. Jika diibaratkan handphone, aku Esia Hidayah.
Suatu hari, aku memanjat pohon untuk memberikan makan kepada anak burung. Setelah diberi makan, burung itu bicara, "Makasih berat ya, Neng."
Burung beo memang unggas terpintar.
Ketika turun, aku disambut teman-temanku yang minta telor burung. Pak RT yang punya pohon pun turut mengerubungiku. Kata Pak RT, aku berbakat panjat-memanjat. Besok agustusan, aku mau didaftarkan jadi peserta lomba panjat pinang bersama pemuda-pemuda kampung lainnya. Sebagai latihan dan demi kesejahteraan bersama, Pak RT menyuruhku panjat genteng untuk membetulkan antena rumahnya yang mengsol.
Selesai mengerjakan proyek dari Pak RT, aku diberi imbalan permen chacha setoples. Saking girangnya dikasih upah, aku mengajak teman-teman untuk menyanyi dan menari bersama di stasiun kereta. Kami sempat merekam aksi kami tersebut pakai aplikasi Smule.
Setelah handphone low bat, kami berpisah dan segera pulang ke rumah masing-masing untuk nge-charge. Sesampainya di rumah, aku disambut ibuku.
"Aduh, anak ibu kecut sekali sih!" keluh Ibu ketika kucium pipinya.
"Biar kecut, asal bukan cecurut," sahutku sambil lari kegirangan karena Ayah sudah pulang membawa kabar gembira.
"Kabar gembiranya apa sih, Yah?" tagihku setelah digendong Ayah berputar-putar sampai dengkulku kepentok piano.
"Aduh, ini apa-apaan sih? Masa koyo cabe ditempel di tangan, di dengkul, di jidat, di tembolok? Nih biar Ayah copot!" seru Ayah berusaha mengalihkan perhatian. Beliau mulai mencopoti koyo cabe di badanku yang seperti jagoan ini.
"Aduuuh!" Aku kepedesan karena bulu betisku ikut kecabut. "Aku ini habis bekerja keras, Yah. Sampai aku encok, pegal linu dan nyeri otot. Jadi, aku pakai koyo cabe deh. Biar serasa ada yang mijitin."
"Mana Ayah tahu? Kamu sih hobinya nempelin koyo cabe di badan. Coba punya hobi itu yang bermanfaat dan menghasilkan duit gitu lho," protes Ayah. "Nempelin apa kek. Perangko, materai 6000, apalah."
Mengikuti saran Ayah, aku langsung ambil pekerjaan part-time nempelin brosur. Aku telaten menempeli brosur badut ultah di pohon, brosur sedot WC di tiang listrik dan brosur kursus menjahit di pintu angkot. Di lampu merah, aku nyebar brosur pengobatan alternatif. Aku juga sempat memanjat papan iklan di jalanan untuk memasang poster caleg.
Pulang kerja, aku langsung menagih kabar gembira yang dijanjikan Ayah. Tapi Ibu menyuruhku ganti baju dulu. Karena baju yang aku pakai adalah kaos parpol yang kegedean.
"Jadi apa kabar gembiranya?" tagihku setelah ganti polo shirt bertuliskan 'TURN BACK CRIME'.
"Kabar gembiranya adalah kulit manggis kini ada ekstraknya," jawab Ayah dengan mimik wajah serius. Ibu pun mengangguk-angguk menyetujui perkataan Ayah.
Aku buru-buru obrak-abrik dokumen di lemari dan mengambil kartu keluarga. Aku mencoret namaku sendiri. Aku mau berhenti jadi anggota keluarga ini.
"Tunggu, tunggu! Jangan durhaka dulu! Kabar sebenarnya adalah kita akan pindah ke Bandung! Ya udah, gitu aja. Kumaha?" ucap Ayah mendadak nyunda.
Sontak aku terkejut dan tidak terima dengan kabar tersebut. Itu berarti aku harus rela meninggalkan teman-temanku yang sudah dikontrak menjadi penari latarku hingga lulus SD. Lebih dari itu semua, aku gagal ikut lomba panjat pinang Agustus nanti. Padahal aku mengidamkan magic com yang jadi hadiah utamanya.
Selama perjalanan dari Jakarta ke Bandung, aku merengut. Tapi aku sempat tersenyum dan terpana ketika dibelikan tahu bulat yang digoreng dadakan di mobil limaratusan. Wakwaw!