Istana Yang Suram 6

505 13 0
                                    

Bayangan itu tidak menunggu lagi, iapun segera meloncat dan hilang dibalik dinding batu. Kumbara menggeretakkan giginya, namun ketika ia sadar akan keadaannya, maka tiba-tiba iapun segera meloncat menyerang dengan garangnya. Tetapi Raden Kuda Rupaka telah siap menghadapinya, iapun segera bergeser dan bahkan serangannyapun kemudian menyapu lawannya seperti angin prahara menyapu pepohonan perdu dipadang yang luas.


Naga Pasapun mengalami tekanan yang dahsyat sekali. Panji Sura Wilaga ternyata memiliki tenaga raksasa yang tidak terlawan olehnya, sehingga dengan demikian, Naga Pasa mencoba melawan dengan kecepatannya bergerak. Tetapi rasa-rasanya darimanapun ia menyerang, Panji Sura Wilaga yang tidak banyak bergerak itu sudah siap menghadapinya.

Dalam pada itu, Gagak Wereng yang terluka masih sempat memperhatikan pertempuran disekitarnya, meskipun dalam keremangan malam, namun ia dapat melihat, bahwa kedua kawannya agaknya telah terdesak oleh anak-anak perguruan Cengkir Pitu, sedangkan ia sendiri sudah tidak mampu sama sekali untuk ikut dalam pertempuran itu.

Meskipun demikian Gagak Wereng tidak menyerah, dalam ketegangan yang memuncak, ia masih dapat mengerahkan segenap tenaganya yang tersisa untuk merangkak menepi. Bahkan kemudian ia berhasil bergeser sampai ke pintu gerbang.

"Aku akan melarikan diri, jika aku dapat hidup, maka aku akan dapat melaporkan apa yang telah terjadi disini kepada perguruanku" katanya kepada diri sendiri.
Agaknya Panji Sura Wilaga dan Raden Kuda Rupaka tidak sempat berbuat sesuatu atas Gagak Wereng, keduanya terikat dalam satu perkelahian yang akan menentukan hidup dan mati.
Karena itulah, akhirnya dengan susah payah, Gagak Wereng ternyata masih sempat mencapai kudanya yang masih tetap terikat ditempatnya.

Sejenak kemudian terdengar derap kaki kuda itu. Seorang yang terluka duduk diatas punggungnya, namun kemudian oleh perasaan sakit dan letih, Gagak Wereng telah menelungkup sambil memeluk leher kudanya. Hanya sekali-kali ia mencoba melihat arah dan kemudian ia meletakkan tubuhnya kembali dengan lemahnya.

Derap kaki kuda itu ternyata telah mengejutkan mereka yang sedang bertempur di halaman. Terlebih-lebih adalah Raden Kuda Rupaka, tetapi ia tidak dapat berbuat apapun, ketika tatapan matanya tidak lagi dapat menemukan Gagak Wereng, maka iapun segera melompat sembil bertempur "Licik...!!!, inilah ciri dari perguruan Guntur Geni yang terkenal itu..??"

Kumbara tidak segera menjawab, mula-mula ia merasa tersinggung atas sikap Gagak Wereng yang sama sekali tidak menunjukkan kesetia-kawanan, tetapi akhirnya ia memahami keadaan, Gagak Wereng tentu sudah terluka parah dan tidak dapat berbuat apapun juga. Karena itu, usahanya untuk menyelamatkan diri adalah usaha yang akan dapat berguna. Meskipun tidak berguna bagi Kumbara sendiri dan Naga Pasa, tetapi tentu akan berguna sekali bagi perguruannya. Saudara-saudara perguruannya akan mengetahui, bahwa Kumbara dan Naga Pasa telah terlibat dalam satu pertempuran yang tidak teratasi di istana kecil yang terpencil diluar padukuhan Karangmaja.

Dengan demikian akhirnya perasaan Kumbara menjadi semakin mapan. Ia melihat akibat yang dapat terjadi atasnya dengan dada tengadah. Sejak ia berangkat, iapun sudah mempersiapkan dirinya menghadapi segala kesulitan. Dan salah satu kemungkinan adalah kesulitan yang tidak teratasi, meskipun semula ia menganggap bahwa tugas pokoknya kali ini adalah tugas yang tidak berbahaya karena itu tidak berpenghuni selain tiga orang perempuan, namun akibat-akibat yang dapat timbul telah dipertimbangkan pula. Diantaranya adalah akibat seperti yang sedang dihadapinya itu.

Demikianlah maka pertempuran itupun semakin lama menjadi semakin nyata. Serangan demi serangan yang dilancarkan okeh kedua murid dari perguruan Cengkir Pitu itupun telah menggiring perempuran itu untuk segera mencapai akhirnya. Kumbara dan Naga Pasa tidak dapat ingkar lagi, kali ini tugas perguruannya harus ditunaikan dengan mempertaruhkan nyawanya.

Namun agaknya keduanya benar-banar telah ditempa dalam perguruannya. Mereka sama sekali tidak mengeluh, jika memang harus mati dalam pelukan kewajiban, maka mati itupun bukan apa-apa bagi Kumbara dan Naga Pasa.

Sebenarnyalah bahwa akhirnya Kumbara tidak dapat bertahan lagi. Lawannya adalah seorang anak muda yang umurnya jauh dibawah umurnya sendiri. Tetapi ternyata anak muda dari perguruan Cengkir Pitu itu memiliki kemampuan yang tidak terlawan, dan yang bahkan telah menyeretnya kedalam maut.

Segores demi segores luka, telah menyengat tubuh Kumbara. Demikian juga agaknya Naga Pasa, betapapun ia bertempur dengan gigihnya, tetapi akhirnya, sebuah tusukan langsung menghujam ke jantungnya, telah melemparkannya dan membantingnya ke tanah. Untuk seterusnya Naga Pasapun tidak akan pernah bangkit lagi.

Kumbara yang sudah terluka parah masih sempat melihat betapapun buramnya, kawannya terlempar dan terbanting untuk tidak bangkit lagi. Ia tidak sempat berbuat apa-apa karena matanyapun manjadi berkunang-kunang. Darahnya sudah terlampau banyak mengalir, sehingga akhirnya ia harus mengakhiri pertempuran itu dengan menyerahkan nyawanya.

Raden Kuda Rupaka menarik nafas dalam-dalam, sekali-kali ia mengusap tangannya yang ternyata juga terluka. Tetapi seperti yang dikatakannya, ia memang mempunyai obat penawar racun, selain batu akik yang dianggapnya dapat berpengaruh pula atas racun yang mengenai tubuhnya.

Sambil tersenyum Raden Kuda Rupaka berjalan mendekati Panji Sura Wilaga yang berdiri bersandar dinding batu, nafasnya terengah-engah dan tubuhnya serasa telah kehilangnan tenaga.

"Kau kenapa paman..??" bertanya Raden Kuda Rupaka

"Aku hampir kehabisan nafas Raden, orang ini benar-benar memiliki kemampuan jauh diatas dugaan kita semula"

"Ya..., Aku juga tidak mengira, bahwa orang itu mempu melukai tanganku, untunglah aku benar-benar telah menyiapkan obat penawar racun itu. Aku yakin, senjata orang Guntur Geni tentu mengandung racun"

"Jika Raden hanya terluka di tangan, maka aku terluka di beberapa tempat meskipun tidak dalam, senjatanya yang sepasang itu benar-benar mampu bergerak cepat sekali"

Raden Kuda Rupaka mengangguk-angguk, namun ternyata bahwa iapun masih harus mengatur pernafasannya.

"Marilah kita singkirkan mayat-mayat ini, kita akan menghadap bibi dan melaporkan apa yang terjadi. Besok kita minta bantuan orang-orang Karangmaja untuk menguburkan mayat-mayat ini"

"Tetapi hal ini tentu akan sangant mengejutkannya" berkata Panji Sura Wilaga.

"Apaboleh buat, bukankah kita harus mengatakannya juga?"

"Panji Sura Wilaga menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya "Tetapi sebaliknya kita memang harus segera saja menghadap. Agar hati Raden Ayu segera menjadi tenang"

Keduanya kemudian membenahi pakaiannya, mereka mengelap darah yang menetes dari luka mereka. Setelah mereka menyingirkan kedua mayat itu, maka merekapun segera naik ke pendepa dan dengan perlahan-lahan mendorong pintu.

"Oh..." Inten Prawesti hampir menjerit. Ia menjadi sangat cemas, bahwa yang akan masuk ke rumahnya adalah orang-orang yang mendatangi istananya itu.

Tetapi ternyata kemudian terdengar suara Raden Kuda Rupaka "Aku bibi"

"Anakmas Kuda Rupaka ?" bibinya hapir terpekik.

"Ya, bibi"

Raden Ayu Kuda Narpada tiba-tiba saja meloncat berdiri diikuti oleh Inten Prawesti. Demikian Raden Kuda Rupaka muncul dari balik pintu, maka bibinyapun segera berlari kearahnya. Tetapi langkahnya terhenti ketika ia melihat darah yang menodai pakaian Raden Kuda Rupaka itu.

"Darah bibi" desis Raden Kuda Rupaka yang seolah-olah mengerti apa yang tersirat dihati bibinya.

"Kau terluka ?"

"Sedikit, tetapi tidak berbahaya"

"Dimana pamanmu Panji Sura Wilaga ?"

Raden Kuda Rupaka berpaling, kemudian masuklah Panji Sura Wilaga yang terengah-engah.

"Oh, Kau juga terluka ?"

"Sedikit Raden Ayu, tidak parah"

"Tetapi bagaimanakah dengan jika luka ini akan menjadi semakin besar kelak ?"

Raden Kuda Rupaka tersenyum, katanya "Aku sudah membawa bekal obat yang dapat dipercaya, sudahlah bibi, aku akan membersihkan diriku dan mengobati lukaku dan luka paman Panji Sura Wilaga"

Raden Ayu Kuda Narpada, memandang keduanya dengan tatapan mata yang penuh perasaan terima kasih. Sementara Inten Prawesti yang berdiri di belakang ibundanyapun bertanya "Bukankan kau tidak apa-apa kamas ?"

"Tidak, tidak diajeng, jangan khawatirkan aku, aku tidak apa-apa"

"Tetapi apakah kamas memerlukan apa-apa untuk membersihkan luka itu ?, air panas misalnya ?"

Raden Kuda Rupaka termenung sejenak, sementara itu Nyi Upih telah berdiri dan berkata "Biarlah aku merebus air. He... anak-anakku harus aku beritahu dulu bahwa pertempuran sudah selesai"

"Dimana anak-anakmu ?" bertanya Raden Kuda Rupaka.

"Sangkan sembunyi di kolong pembaringan adiknya. Pinten menjadi kaku di pembaringan itu" Nyi Upih berhenti sejenak, lalu "Tetapi bagaimana dengan orang-orang itu ?"

Raden Kuda Rupaka menjaid ragu-ragu, namun kemudian ia berkata "Keduanya terpaksa kami bunuh"

"Oh..!!" Raden Ayu Kuda Narpada dan Inten Prawesti hampri bersamaan berdesah.

"Beberapa orangkah yang telah datang ke istana ini Raden ?" bertanya Nyi Upih pula.

"Tiga, hanya tiga orang, tetapi yang seorang berehasil meloloskan diri"

Nyi Upih menjadi tegang, katanya "Kenapa tidak semuanya saja dibunuh Raden, yang seorang itu tentu akan sangat berbahaya bagi kita"

Raden Kuda Rupaka tersenyum, katanya "Memang ada beberapa kemungkinan yang dapat terjadi Nyai. Mungkin ia akan datang lagi dengan beberapa orang kawan. Mungkin ia justru menjadi jera, tetapi mungkin juga perguruannya akan langsung berurusan dengan perguruan Cengkir Pitu"

"Oo..." Nyi Upih mengangguk-angguk, dan seperti bukan atas kehendaknya ia berkata "Tentu perguruan orang-orang jahat itu tidak akan berani berurusan dengan perguruan Raden, mudah-mudahan dengan demikian mereka akan benar-benar menjadi jera"

"Sudahlah" berkata Raden Kuda Rupaka "Setidak-tidaknya malam ini seluruh isi istana dapat tidur nyenyak, tidak akan ada lagi yang berani menganggunya, mayat itu sudah aku singkirkan. Biarlah besok aku minta bantuan orang-orang Karangmaja untuk menguburnya"

Raden Ayu Kuda Narpada mengangguk-angguk

"Silahkan bibi beristirahat"

Raden Ayu Kuda Narpadapun kemudian mengajak Inten Prawesti masuk kedalam biliknya, setelah mereka berkali-kali mengucapkan terima kasih kepada Raden Kuda Rupaka.

Ketika Raden Ayu Kuda Narpada telah hilang dibalik pintu biliknya maka Raden Kuda Rupaka dan Panji Sura Wilaga yang masih sangat letih itupun pergi kebelakang diikuti oleh Nyi Upih, mereka akan membersihkan diri dari luka-luka mereka.

"Aku akan merebus air, Raden" berkata Nyi Upih

"Terima kasih Nyai" sahut Raden Kuda Rupaka "Dimanakah anak-anakmu Nyai"

""Mereka didalam biliknya Raden"

Raden Kuda Rupaka sempat menjengukkan kepalanya ke dalam bilik Pinten, dilihatnya Pinten tidur menelungkup sambil menyembunyikan wajahnya diantara kedua tangannya, sementara di kolong pembaringan, nampak kaki Sangkan yang ketakutan dan bersembunyi.

Raden Kuda Rupaka tersenyum, perlahan-lahan ia mendekati kedua anak itu, sambil berjingkat. Kemudian tiba-tiba saja ia menepuk kaki Sangkan sambil memebentak

"Ayo tertangkap kau..!!"

Sangkan terkejut bukan buatan, sehingga iapun terlonjak, karena ia berada ia berada dikolong pembaringan adiknya, maka amben itupun tersentak pula oleh hentakan tubuh Sangkan. Pinten yang ada dipembaringan itu tidak kalah terkejutnya. Iapun kemudian meloncat dan berlari kesudut ruangan, sedemikian kecil hatinya, sehingga meskipun mulutnya terbuka tetapi suaranya sama sekali tidak terdengar.

Sangkan yang gemetar akhirnya berhasil keluar dari kolong pembaringan, dengan wajah yang pucat dan mata yang terbelalak ia memandang kepada Raden Kuda Rupaka. Terdengar suara tertawa Raden Kuda Rupaka. Panji Sura Wilaga yang menyaksikannya dari pintu bilik itupun tertawa pula.

"Raden...., oh, jadi Raden Kuda Rupaka" Suara Sangkan terputus-putus.

"Kau memang pengecut" Raden Kuda Rupaka masih saja tertawa "Belum lagi kau disentuh oleh tangan penjahat itu, kau sudah mati membeku di sini"

"Tetapi, tetapi......" Ia tidak dapat melanjutkan kata-katanya.

Sementara itu Nyi Upih telah berada di belakang Panji Sura Wilaga, katanya "Jika Raden menakuti-nakuti anak-anakku, aku tidak mau merebus air"

Raden Kuda Rupaka tertawa berkepanjangan, meskipun ia mencoba menahannya agar tidak mengejutkan bibinya di dalam.

"Anakmu memang keterlaluan Nyai, aku mengerti bahwa Pinten menjadi ketakutan, tetapi Sangkan tidak boleh menjadi pengecut begitu"

"Jika aku dapat berkelahi seperti prajurit, aku tidak akan ketakutan" sahut Sangkan.

"Kalau begitu, kau harus belajar, Kau sanggup?"

"Siapakah yang akan mengajari?"

"Biarlah paman Panji, jika kelak aku dan paman Panji pergi, kau dapat menjaga diri, atau kau dapat menjaga bibi, atau setidak-tidaknya menjaga biyungmu"

"Aku tidak perlu dijaga lagi Raden, jika ada orang yang mau mengambil aku, biarlah, aku memang menunggu orang yang mau berbuat demikian"

"O..., kau ini" desis Raden Kuda Rupaka "Agaknya kau dan anak-anakmu memang mempunyai sifat yang turun temurun, bodoh dan agak malas"

"Aku tidak mau merebus air"

"Baiklah, baiklah Nyai, aku tidak akan mengganggu anak-anakmu lagi" namun kemudian ia berpaling "Sangkan, jika kau mau, paman kan benar-benar memberimu serba sedikit tuntunan oleh kanuragan, kau mau?"

"Tentu Raden, aku akan senang hati sekali"

Raden Kuda Rupaka mengangguk-angguk. Katanya "Nah, dengan demikian kau akan benar-benar menjadi seorang laki-laki, sampai sekarang kau sama sekali tidak ada harganya, jika kau memiliki sedikit pengetahuan dan ilmu oleh kanuragan, maka kau akan mulai merasakan tanggung jawab bahwa kau adalah seorang laki-laki"

"Terima kasih Raden" jawab Sangkan "Tetapi, tetapi berapa tahun aku harus belajar?"

"Aku hanya akan tinggal disini beberapa hari lagi, jika tidak ada ketiga penjahat itu, sebebarnya aku sudah akan mohon diri, tetapi karena itulah maka aku harus tinggal disini beberapa lama lagi"

Sangkan mengangguk-angguk, tetapi nampaknya wajahnya membayang keragu-raguan hatinya.

"Kenapa kau nampak ragu-ragu ?" bertanya Raden Kuda Rupaka.

"Dahulu, aku pernah mendengar seorang prajurit Majapahit mengatakan bahwa, mempelajari ilmu kanuragan diperlukan waktu bertahun-tahun"

"Tidak hanya bertahun-tahun, tetapi tidak akan berkeputusan, maksudku tidak akan ada henti-hentinya sampai akhir hayat. Karena ilmu adalah semisal lautan yang tidak akan pernah kering, meskipun setiap hari disengat oleh panasnya matahari"

"Lalu, apakah artinya ilmu yang akan aku pelajari dalam beberapa hari saja ?"

"He.. otakmu cerdas juga, tetapi kau harus ingat, lebih baik yang sedikit dari pada tidak sama sekali"

"Baik Raden, terima kasih"

"Tidur sajalah, aku akan membersihkan luka-lukaku"

Raden Kuda Rupakapun kemudian meninggalkan bilik itu setelah untuk beberapa saat ia berdiri di muka Pinten yang bagaikan membeku, sambil menepuk bahu gadis yang ketakutan itu ia berkata "Minumlah, agar kau menjadi tenang"

Pinten menarik nafas dalam-dalam, ketika Raden Kuda Rupaka sudah melintasi pintu, gadis itu tertatih-tatih berdiri.

"Aku hampir pingsan" desisnya

"Tidur sajalah, tidak akan ada apa-apa lagi malam ini"

"Uh, macam kau"

"Minumlah, agar hatimu menjadi tenang"

""Lagakmu, tidur sajalah di kolong amben itu lagi"

Sangkan tersenyum. Dilihatnya adiknya pergi keluar bilik untuk mengambil minum di dapur, agaknya ia benar-benar ingin minum agar hatinya menjadi tenang.

Sementara itu, selagi Raden Kuda Rupaka sibuk membersihkan lukanya, seseorang berjalan dengan tergesa-gesa ke istana kecil yang terpencil itu. jauh diluar padukuhan ia melihat seekor kuda yang berlari didalam kegelapan dan hilang dikejauhan.
Sesaat orang itu termangu-mangu, namun iapun kemudian ia meloncat keatas dinding didalam kegelapan bayangan dedaunan.

Beberapa saat lamanya, orang itu memperhatikan keadaan di sekitarnya, halaman itu telah sepi, tidak seorangpun yang berada di halaman itu. Dengan telinganya yang tajam ia mencoba untuk memperhatikan, dengan setiap desir yang didengarnya, namun akhirnya ia yakin bahwa tidak ada suara nafas seseorang. Dengan hati-hati sosok tubuh itupun meloncat turun, dengan seksama ia memperhatikan bekas-bekas pertempuran dihalaman itu. Sambil menarik nafas ia berkata "Pertempuran yang dahsyat"

Akhirnya ia menemukan dua sosok tubuh yang terbaring diam. Dua sosok tubuh yang telah menjadi mayat. Perlahan-lahan ia mendekatinya, ketika ia menyentuh mayat itu, terasa betapa dinginnya. Sejenak ia berada ditempatnya sambil memandangi istana yang nampak semakin suram itu, tetapi istana itupun sepi, namun telinganya yang tajam, masih menangkap suara seseorang dibagian belakang. Suara percakapan Raden Kuda Rupaka dan Panji Sura Wilaga dengan Sangkan dan Nyi Upih.

Namun percakapan itupun tidak berlangsung lama, sejenak kemudian istana itu telah benar-benar menjadi sepi. Raden Kuda Rupaka dan Panji Sura Wilagapun segera masuk kedalam biliknya pula. Apalagi terasa badan mereka yang letih oleh perkelahian yang dahsyat di halaman, sehingga dengan demikian merekapun segera tertidur nyenyak. Namun demikian mereka sama sekali tidak lengah, di pembaringan mereka, tergolek senejata-senjata mereka.

Betapapun nyenyaknya mereka tidur, tetapi ketika matahari siap untuk menjenguk dipagi harinya dari balik perbukitan, keduanya telah terbangun. Merekapun kemudian membenahi diri masing-masing. Dengan tergesa-gesa merekapun kemudian keluar dari bilik mereka dan menghadap Raden Ayu Kuda Narpada yang juga sudah bangun dan duduk dengan wajah tegang diruang dalam.

"Maaf bibi" berkata Raden Kuda Rupaka "Aku tidur terlampau nyenyak, sehingga aku agak terlambat bangun"

"Hari masih sangat pagi anakmas"

"Bibi, kami berdua akan menemui Ki Buyut dan melaporkan apa yang telah terjadi. Kami akan minta bantuan, tiga atau empat orang untuk mengubur dua sosok mayat yang masih ada di halaman, meskipun sudah aku singkirkan"

"Silahkan anakmas" Jawab Raden Ayu Kuda Narpada, namun kemudian "Atau untuk itu, apakah tidak lebih baik Sangkan sajalah yang pergi ke padukuhan ?"

"Biarlah kami berdua sja bibi, kami akan dapat menjelaskan apakah yang sebenarnya sudah terjadi"

Raden Ayu Kuda Narpada mengangguk-angguk,lalu "Jika demikian terserahlah kepada anakmas berdua"

Raden Kuda Rupaka dan Panji Sura Wilagapun kemudian mempersiapkan dirinya setelah mandi di pakiwan. Tetapi ketika mereka siap untuk berangkat, rasa-rasanya ada sesuatu yang membuat mereka ragu-ragu. Karena itu, maka Raden Kuda Rupaka berkata "Aku akan menengok kedua sosok mayat itu dahulu paman"

Panji Sura Wilaga tidak mencegahnya, bahkan iapun kemudian berjalan di belakang Raden Kuda Rupaka. Betapa terkejutnya kedua orang itu, ketika ternyata bahwa kedua mayat itu sudah tidak ada di tempatnya, keduanya bagaikan lenyap saja tanpa meninggalkan bekas.

"Gila" geram Raden Kuda Rupaka "Siapakah yang bermain-main lagi dengan Kuda Rupaka" Ia berhenti sejenak, lalu "Paman apakah kau melihat sesuatu?"

Panji Sura Wilaga kemudian melangkah ketepi dinding batu. Ia melihat beberapa gores warna merah, ternyata warna-warna merah dalam goresan itu adalah susunan huruf-huruf.

"Raden" katanya "Cobalah baca tulisan pada dinding batu ini"

Dengan dada yang berdebar-debar keduanyapun mendekat, dengan suara yang berat Raden Kuda Rupaka berkata "Darah"

Tetapi Panji Sura Wilaga menggeleng "Bukan Raden, tetapi soga"

Keduanyapun kemudian membaca tulisan yang tidak begitu jelas tergores didinding itu.

= SUNGGUH MENGAGUMKAN, TETAPI TUGAS KALIAN BELUM SELESAI =

"Gila" Raden Kuda Rupaka menjadi marah. Dihentakkannya kakinya sambil mengepalkan tangannya "Siapakah yang akan mencoba kemampuan Raden Kuda Rupaka lagi ?"

Sejenak mereka teringat orang yang semalam telah membantunya, tentu orang itu tidak hanya sekedar membantunya tanpa pamrih, tentu ada perhitungan tertentu yang memaksanya untuk berniat demikian.

"Apakah benar ia dari perguruan Kumbang Kuning" bertanya Raden Kuda Rupaka

"Aku tidak dapat memastikannya, tetapi ia adalah sesorang yang memiliki kemampuan yang tinggi, ternyata bahwa salah seorang dari ketiga murid Guntur Geni ini dengan cepat dapat dikuasainya"

Raden Kuda Rupaka menarik nafas dalam-dalam, dilontarkannya tatapan matanya ke sekelilingnya, seolah-olah ia sedang mencari sesuatu, bahkan kemudian iapun melangkah perlahan-lahan menyusuri dinding batu itu. Namun tiba-tiba saja langkahnya terhenti, ia tertegun ketika ia melihat sesuatu dibalik semak-semak.

"Gila" desis Raden Kuda Rupaka "Paman..., mayat itu disembunyikan disini, kedua-duanya"

"Hem, agaknya ini sekedar sebuah tantangan Raden"

Raden Kuda Rupaka menggeretakkan giginya, dipandangnya keadaan di sekeliling halaman itu, tetapi halaman itu sepi, dibelakang terdengar suara sapu lidi, sedang di perigi terdengar derit senggot timba.

"Tentu anak muda yang telah mengobati anak Karangmaja yang terluka itu paman"

"Ya, yang duduk dipinggir jalan saat Raden berjalan-jalan dengan puteri Inten"

"Ya, namanya Kidang Alit"

"Apakah benar ia dari perguruan Kumbang Kuning?, jika benar, maka adalah tidak mustahil bahwa ia dapat menyembuhkan anak yang dilukai oleh orang-orang terbunuh itu"

"Jika benar ia datang dari perguruan Kumbang Kuning, kita memang harus berhati-hati, mungkin ia tidak seorang diri dipadukuhan ini"

"Aku kira ia mempunyai kawan, mungkin kawannya masih tersembunyi"

"Dan mungkin lebih dari seorang, tetapi sekelompok"

Kedua-duanya mengangguk-angguk, seolah-olah keduanya bersepakat bahwa Kidang Alit dating ke padukuhan Karangmaja tidak hanya seorang diri, tetapi dalam sekelompok kecil.

"Sudahlah paman, kita akan memikirkannya kemudian, sekarang kita pergi ke rumah Ki Buyut di Karangmaja"

Keduanyapun kemudian meninggalkan kedua mayat yang masih tersembunyi dibalik gerumbul. Mereka kemudian menganggap bahwa justru tempat itu agaknya lebih baik agar tidak menakut-nakuti penghuni istana kecil itu. Dalam pada itu Nyi Upih dan anak-anaknya yang sudah mengetahui bahwa di halaman depan ada dua sosok mayat, sama sekali tidak berani membersihkannya. Mereka menunggu saja sampai ada orang yang mengambil untuk menguburkan mayat-mayat itu.

"Apakah kau juga takut Sangkan?" bertanya Inten Prawesti.

"Ampun puteri, lebih baik aku menyapu jalan-jalan diseluruh padukuhan dari pada harus membersihkan halaman depan pagi ini. Nanti jika orang-orang Karangmaja sudah datang, aku akan menyapunya sampai bersih, tanpa bekas telapak kaki satupun yang tersisa"

"Telapak kakimu sendiri?"

"Tentu tidak puteri, aku menyapu melangkah mundur, sehingga telapak kakiku sendiri akan terhapus oleh goresan lidi"

"Inten mengerutkan keningnya, namun kemudian iapun tersenyum "Kau memang pintar"

Sementara itu, Pangeran Kuda Rupaka dan Panji Sura Wilaga telah berada di regol rumah Ki Buyut Karangmaja, perlahan-lahan Pangeran kuda Rupaka mereka melangkah maju memasuki halaman yang luas itu. Namun wajah Pangeran Kuda Rupaka tiba-tiba menjadi tegang, dilihatnya Kidang Alit telah berada di halaman itu dan dengan acuh tak acuh melihat kehadiran kedua bangsawan itu sambil duduk saja ditangga.

"Setan itu ada disini" desis Pangeran Kuda Rupaka

"Biar saja Raden, jika ia acuh tidak acuh terhadap kedatangan kita, maka biarlah kita juga tidak menghiraukan kehadirannya disini"

Pangeran Kuda Rupaka mengangguk, dan seperti yang dikatakan oleh Panji Sura Wilaga, ia sama sekali tidak menghiraukan kehadiran Kidang Alit. Ternyata Ki Buyut telah melihat kedatangan keduanya, sehingga kemudian dengan tergesa-gesa ia pergi menyambut kedatangannya.

"Silahkan Raden, marilah"

Pangeran Kuda Rupaka mengangguk sambil menjawab "Terima kasih Ki Buyut"

"Silahkan Raden berdua naik ke pendapa"

Pangeran Kuda Rupaka menyerahkan kudanya kepada seorang anak muda yang dengan tergesa-gesa mendekatinya, sedang seorang yang lain telah menghampiri Panji Sura Wilaga pula. Ketika Pangeran Kuda Rupaka dan Panji Sura Wilaga naik ke pendapa, mereka masih sempat melihat Kidang Alit berdiri dan masih dalam sikapnya acuh tidak acuh, ia melangkah meninggalkan halaman itu.

Wajah Pangeran Kuda Rupaka menegang, namun kemudian Panji Sura Wilaga berbisik "Sudahlah, jangan hiraukan lagi"

"Apakah ia akan ke istana kecil itu?"

"Tentu tidak, ia tahu, bahwa kita akan beada disini untuk waktu yang pendek"

Pangeran Kuda Rupaka manarik nafas, tetapi ia tidak menyahut lagi. Sejenak kemudian maka merekapun telah duduk di pendapa, dihadapan Ki Buyut beserta beberapa orang bebahu padukuhan itu.

"Apakah ada sesuatu yang terjadi Raden?" bertanya Ki Buyut.

Kedua tamunya mengerutkan keningnya, dan Pangeran Kuda Rupakapun kemudian bertanya "Apakah Ki Buyut mendengar sesuatu tentang istana itu?"

"Tidak, tetapi Kidang Alit mengatakan, bahwa kemungkinan sekali Raden berdua akan datang pagi ini"

"Apakah ada hal lain yang dikatakan?"

"Tidak" Ki Buyut terhenti sejenak, lalu "Tetapi ia mengatakan pula bahwa orang-orang yang berada di banjar itu tidak akan dapat mengganggu kita lagi, apakah ada hubungannya kedatangan Raden berdua dengan orang-orang yang tinggal di banjar itu?"

"Apakah Kidang Alit tidak mengatakannya?"

"Ki Buyut menggeleng sambil menyahut "Tidak Raden, hanya itulah yang dikatakannya"

Pangeran Kuda Rupaka memandang wajah Panji Sura Wilaga yang menegang, namun iapun kemudian menarik nafas dalam-dalam sambil sambil berkata "Kidang Alit benar, orang-orang yang barangkali dimaksud tinggal di banjar itu tidak akan mengganggu kalian lagi, bukankah orang-orang itu pula yang telah melukai seorang anak muda Karangmaja ?, dan agaknya Kidang Alit pula yang telah menyembuhkannya?"

"Kasdu maksud Raden ?"

Pangeran Kuda Rupaka mengerutkan keningnya.

"Ya Raden, Orangorang itulah yang telah meracuni tubuh Kasdu dan yang kemudian diobati oleh kidang Alit. Kasdu kini sudah mampu berdiri dan berjalan setapak-setapak, nampaknya ia akan segera pulih kembali, mungkin lebih singkat dari dugaan Kidang Alit sendiri"

"Sukurlah"

Pangeran Kuda Rupaka mengangguk-angguk. Lalu "Ki Buyut, sebenarnyalah kedatanganku memang ada hubungannya dengan orang-orang kasar itu"

"Apakah orang-orang itu sudah mengganggu istana itu?"

"Bukan saja mengganggu, mereka telah mencoba untuk memasuki istana itu dengan menakut-nakuti bibi Kuda Narpada"

"Oo..."

"Untunglah bahwa kami berdua masih berada di istana itu Ki Buyut, sehingga aku masih sempat mencoba melindungi bibi menurut kemampuanku"

"Jadi...?"

"Dua diantara ketiga orang itu terbunuh" berkata Pangeran Kuda Rupaka "Tetapi yang seorang berhasil melarikan diri"

"Oo..."

Pangeran Kuda Rupaka kemudian menceritakan serba singkat apa yang telah terjadi di halaman itu, bahkan ia menceritakannya juga kehadiran seorang yang tidak dikenal, menyamar wajahnya didalam malam yang kelam.

Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam kemudian iapun berdesis "Apakah mungkin orang ketiga itu Kidang Alit?"

"Aku tidak dapat memastikannya Ki Buyut, tetapi memang mungkin, apalagi ketika pagi ini aku menjumpai sebuah tantangan setelah kedua mayat itu disingkirkan dari tempatnya"

Ki Buyut mengerutkan keningnya, meskipun orang-orang yang ada di banjar itu sudah tidak ada lagi, tetapi ternyata bahwa Karangmaja belum akan menjadi tenang. Pesoalannya masih akan berkembang terus, berkisar dari pihak yang satu kepihak yang lain, agaknya persoalan akan timbul antara Pangeran Kuda Rupaka dengan Kidang Alit.

"Aku tidak mengerti siapakah sebenarnya Kidang Alit itu" berkata Ki Buyut di dalam hatinya "Ia menolong Kasdu, tetapi ia telah menodai dua orang gadis, orang-orang kasar itu telah melukai Kasdu dengan kejamnya, tetapi setelah itu mereka tidak pernah berbuat apa-apa, kini agaknya Kidang Alit telah mulai dengan persoalan barunya dengan bangsawan-bangsawan itu, apakah salahnya jika hubungan antara mereka itu dilakukan dengan baik?.

Tetapi gambaran didalam angan-angan Ki Buyut segera merayap kepada gadis cantik yang ada di istana itu.

"Tentu Kidang Alit telah menjadi gila karena puteri Inten Prawesti itu" berkata Ki Buyut selanjutnya kepada diri sendiri.

Dalam pada itu, Ki Buyut bagaikan terbangun dari mimpinya ketika Pangeran Kuda Rupaka berkata "Ki Buyut, kedatangan sebenarnya ada hubungan juga dengan kematian kedua orang itu, mayat itu sampai sekarang masih ada di halaman, aku ingin minta bantuan tiga atau empat orang untuk menguburkan mayat-mayat itu."

"O.." Ki Buyut mengangguk-angguk "Tentu Raden, kami tentu akan membantu"

"Terima kasih Ki Buyut, aku harap bahwa mereka akan dapat mengambil mayat itu sekarang"

"Tentu, tentu Raden, aku persilahkan Raden menunggu sebentar"

"Ki Buyut, sebaiknya kami mendahului saja, kami menunggu mereka di regol halaman"

"Baiklah Raden, silahkan, aku akan segera mengirim beberapa orang untuk menguburkan mayat itu"

Demikianlah Pangeran Kuda Rupaka dengan tergesa-gesa meninggalkan rumah Ki Buyut, sikap Kidang Alit menimbulkan kecurigaannya, sehingga rasa-rasanya ia tidak sampai hati meninggalkan istana kecil itu terlampau lama. Dalam pada itu, selagi Pangeran Kuda Rupaka dan Panji Sura Wilaga tidak berada di istana, penghuni istana itu sama sekali tidak ada yang berani turun ke halaman itu, mereka tahu bahwa di halaman itu ada dua sosok mayat, karena itu, maka mereka seolah-olah berkumpul di belakang, di dapur dan di bilik Nyi Upih.

"Silahkan Gusti duduk saja di serambi" minta Nyi Upih kepada Raden Ayu Kuda Narpada yang membantunya di dapur.

"Tidak Nyai, aku senang berada disini, sebenarnyalah aku agak takut tinggal diluar sendiri, meskipun di serambi belakang rasa-rasanya ada sesuatu yang lain"

"Tentu tidak akan ada apa-apa gusti"

"Nyai, aku adalah orang tua, rasa-rasanya ada ada firasat padaku bahwa persoalan ini masih akan ada kelanjutannya"

"Tetapi Raden Kuda Rupaka dan Panji Sura Wilaga akan selalu melindungi Gusti"

"Nyai, aku tidak akan dapat menahan mereka untuk waktu yang tidak tertentu, pada suatu saat mereka akan kembali ke Demak atau kemanapun, mungkin ke perguruannya atau berkelana lebih jauh"

Nyi Upih mengangguk-angguk, iapun mengerti bahwa tidak untuk selamanya kedua orang itu akan tetap berada di istana terpencil itu. Tetapi ia tidak dapat mengatakan apapun juga selain menundukkan kepalanya.

"Tetapi baiklah kita tidak perlu memikirkannya sekarang Nyai," Berkata Raden Ayu Kuda Narpada "Kita pasrahkan saja kepada Allah Subhanallahi Wata'ala"

Sementara itu di dalam biliknya, Sangkan dan Pinten duduk di lantai sambil menghadap Inten Prawesti yang duduk di pembaringan Pinten, dengan wajah yang tegang Inten masih mempercakapkan perkembangan yang terjadi dimalam yang baru lampau.

"Untunglah kamas Raden Kuda Rupaka ada disini" berkata Inten Prawesti.

"Ya, Puteri, jika tidak, aku akan mengalami nasib yang sangat buruk" sahut Pinten.

"Kenapa kau?" bertanya Sangkan

"Mereka tentu akan membawa aku, tetapi aku tidak mau"

"Ooo... Sebutlah nama Biyung Pinten, jika sekali-sekali kau bermain ditepi kolam, lihatlah wajahmu kedalamnya, kau akan tahu bahwa tidak akan ada seorang laki-lakipun yang menaruh perhatian kepadamu"

"Ah.." wajah Pinten seolah-olah menjadi pudar.

"Jangan berkata begitu Sangkan" potong Inten Prawesti "Jangan berkata begitu kepada seorang gadis, Pinten adalah gadis yang manis, ia memiliki kelebihan dari seorang gadis kebanyakan"

Pinten menundukkan kepalanya, wajahnya nampak sedih, katanya "Kakang Sangkan selalu berkata begitu puteri, apakah aku memang terlampau jelek?"

"Tidak, tidak Pinten, kau tidak jelek, kau cantik, muda dan lincah, apalagi yang kurang?"

"Tetapi kakang selalu mengatakan, bahwa tidak akan ada laki-laki yang tertarik kepadaku"

"Ia hanya bergurau, bukankah begitu Sangkan?"

"Maksudku tidak puteri, tetapi jika itu menyakiti hatinya, baiklah, aku memang hanya sekedar bergurau"

"Coba dengar puteri, maksudnya sama sekali tidak bergurau, Jika puteri tidak ada, ia tidak akan mencabut kata-katanya seperti itu"

"Sudahlah jangan bertengkar" Inten berhenti sejenak, lalu "Sangkan, bagaimanapun juga, ia adalah adikmu, bukankah kau sudah membawanya jauh dari Majapahit sampai ketempat ini tidak sekedar untuk kau perolok-olokan?"

"Tidak puteri, tentu tidak, aku benar-benar hanya bergurau saja, seperti yang puteri katakan"

"Nah, bukankah kau sudah mendengarnya Pinten?"

Wajah Pinten masih nampal gelap, sambil bersungut-sungut ia berkata "Ia berkata begitu karena puteri ada disini"

"Tentu tidak, sudahlah, jangan kau hiraukan kakakmu, percayalah kepadaku, bahwa kau memang cantik"

Pinten masih menunduk, sedang Sangkan memandanginya dengan bibir yang bergerak-gerak, untunglah Pinten tidak sedang memandangnya. Namun dalam pada itu, selagi mereka sedang berbicara dengan asyik, tiba-tiba saja mereka terkejut oleh suara seruling yang terdengar melengking, seperti sesambat prajurit yang terluka di peperangan.

Bab 8

Inten Prawesti terkejut mendengar suara seruling itu, sudah lama ia tidak mendengarnya, dan tiba-tiba saja suara seruling itu bagaikan menyentuh jantungnya. Sangkan dan Pinten menjadi terheran-heran melihat sikap Inten Prawesti. Suara seruling itu agaknya sangat menarik hatinya, sehingga hatinya rasa-rasanya semua perhatiannya terampas oleh suara seruling itu.

Inten Prawesti benar-benar telah dicengkam oleh pesona yang seolah-olah tidak terlawan. Suara seruling yang didengarnya itu adalah suara seruling yang memang pernah didengarnya. Tetapi rasa-rasanya kali ini suara itu benar-benar menjadi menghiba-hiba seperti tangis bayi yang merindukan ibunya.

"Suara itu" desis Inten Prawesti.

"Suara seruling" sahut Sangkan

"Ya...suara seruling itu...."

"Kenapa dengan suara seruling itu puteri?"

Inten Prawesti tidak menyahut, tetapi seperti tidak atas kehendaknya sendiri, maka iapun berdiri sambil mengadahkan kepalanya "Alangkah syahdunya, tetapi alangkah pilunya suara itu, anak muda itu, merintih oleh penderitaan yang tiada akhirnya"

"Siapa puteri ?"

"Tidak ada seorangpun yang sudi menolongnya, dan gadis yang dicintainya telah pergi meninggalkannya tanpa mengatakan sesuatu kepadanya"

"Siapa ?, Siapa puteri ?" Sangkan menjadi heran.

Suara seruling itu rasa-rasanya mencengkam hati Inten Prawesti semakin dalam.

Didapur Nyi Upihpun mendengar suara itu, dahinya nampak berkerut merut, ketika mmandang Raden Ayu Kuda Narpada, ia termangu-mangu, agaknya Raden Ayu Kuda Narpada itupun tertarik pula oleh suara seruling itu.

"Aku mendengar suara seruling Nyai" berkata Raden Ayu Kuda Narpada "Tetapi tidak seperti suara yang kita dengar sekarang, alangkah dalamnya, suara itu tentu benar-benar meloncat dari dasar hati"

"Gembala-gembala dari Karangmaja memang pandai meniuo seruling Gusti, mungkin itu suara hati seorang gembala yang memang hidup berprihatin sejak kanak-kanaknya"

Raden Ayu Kuda Narpada mengangguk-angguk, tetapi ia tidak bertanya lebih lanjut.

Berbeda dengan ibunya, maka Inten Prawesti benar-benar telah dicengkam oleh suara itu, bahkan kemudian ia bekata kepada kedua anak Nyi Upih itu "Aku ingin sekali melihat, kenapa suara serulingnya kini sangat ngelangut"

"Kemana puteri akan bertanya?"

"Aku tahu, ia tentu duduk dibawah pohon kemuning diluar regol halaman rumah ini"

Sangkan menjadi semakin bingung, namun kemudian ia berkata "Puteri, suara seruling itu datang dari tempat yang agak jauh, mungkin seorang gembala di padang rumput di belakang istana ini, tetapi tentu tidak di bawah pohon kemuning di muka regol istana"

Inten Prawesti mencoba memperhatikan suara itu lebih seksama lagi, katanya kemudian "Tidak Sangkan, suara itu tidak datang dari belakang istana, memang tidak dari bawah pohon kemuning tetapi juga tidak dari belakang"

Sangkan memandang adiknya dengan termangu-mangu, sedang Pintenpun nampak menjadi gelisah "Puteri, biar sajalah suara seruling itu, tentu seorang gembala telah meniupnya"

"Bukan Pinten, bukan seorang gembala, tetapi anak muda yang nakal itu"

"Siapa ?"

"Kidang Alit, apakah kau mengenalnya ?"

Sangkan menarik nafas dalam-dalam, dengan ragu-ragu ia berbisik di telinga adiknya "Pesona apakah yang membuat puteri menjadi bingung"

"Gendam" bisik adiknya

"Apakah kau percaya, bahwa ada ilmu yang disebut gendam dan dapat mempengaruhi hati seorang gadis untuk mencintai orang yang melepaskan ilmi itu ?"

"Kenapa tidak ?!, tetapi sebenarnya gadis itu bukan mencintainya, ia hanya sekedar terbius oleh ilmu itu"

"Siapakah yang terbius, Pinten ?" tiba-tiba saja Inten Prawesti bertanya, agaknya ia mendengar percakapan kedua anak Nyi Upih itu.

"Puteri, maksud kami, apakah puteri sudah kena ilmu gendam itu ?"

Inten Prawesti termangu-mangu, kemudian iapun bertanya "Apakah artinya ?"

"Ilmu yang dapat membius sesorang sehingga ia melupakan segala-galanya karena hatinya dirampas oleh kekuatan ilmu itu, yang kemudian besarang di hati hanyalah bayangan-bayangan orang yang melepaskan ilmu itu"

"Apakah kau menganggap suara seruling itu adalah ilmu semacam itu ?"

"Mungkin puteri" sahut Pinten.

"Kenapa ia harus melepaskan ilmu itu ?"

"Mungkin akulah yang dituju oleh anak muda itu, sekali ia melihat aku, maka iapun segera tertarik, tetapi ia tidak berani mengatakannya kepadaku secara langsung"

"Uh !!" potong Sangkan "Kau memang tidak dapat menyadari keadaan dirimu sendiri Pinten, jika aku mengatakan bahwa tidak ada laki-laki yang tertarik kepadamu, kau menjadi sakit hati, tetapi kau selalu bermimpi seolah-olah kau seorang bidadari yang sangat cantik"

Inten Prawesti tersenyum katanya "Setiap gadis akan merasa dirinya cantik, dan setiap gadis akan merasa tersinggung bahwa orang lain menganggap sebaliknya, tetapi seorang gadis juga tidak senang melihat gadis lain lebih cantik dari pada dirinya"

"Apakah begitu puteri ?"

Inten Prawesti mengangguk, lalu katanaya "Jangan percaya kepada gendam, jika suara seruling itu sangat menarik hati, karena suara itu memang menyentuh hatiku, aku pernah mengenal anak muda yang menyuarakan seruling itu, kau jangan menuduhnya dengan tuduhan yang menyakitkan hati, seolah-olah ia mempergunakan ilmu gendam, anak muda dan suara serulingnya itu memang memikat"

Sangkan menjadi semakin bingung, apalagi ketika Inten Prawesti berkata "Aku alan mencari suara itu"

"Puteri, itu tidak baik" cegah Sangkan.

"Kenapa ?"

"Puteri, mungkin sebentar lagi orang-orang Karangmaja akan datang , mereka alan membantu Raden kuda Rupaka untuk mengubur mayat-mayat itu, Apakah kata Raden Kuda Rupaka nanti, jika puteri tidak ada, justru dalam keadaan yang gawat seperti sekarang ini ?"

"Biarlah mereka menguburkan mayat itu, aku tidak berkepentingan sama sekali"

"Puteri..."Pinten mulai memegangi ujung kain Inten Prawesti, lalu "Jangan puteri, Ibunda tentu akan marah"

"Ibunda akan mengijinkannya, aku akan mohon diri"

"Tetapi sikap puteri akan membuat ibunda menjadi sedih"

Inten Prawesti tersenyum, sambil menggelengkan kepalanya ia berkata "Tidak Pinten, tidak ada yang bersedih"

"Aku puteri" potong Sangkan tiba-tiba, namun kemudian dengan tergesa-gesa ia melanjutkan "Maksudku, aku menjadi sedih karena puteri akan pergi justru selagi kakanda puteri Raden Kuda Rupaka tidak ada"

"Katakan kepada kamas Kuda Rupaka, bahwa aku hanya akan pergi sebentar, bukankah tidak akan terjadi sesuatu jika aku hanya melihat dimana anak itu meniup seruling ?"

Sangkan dan Pinten menjadi semakin bingung, Pinten yang sudah memegangi ujung kain Inten Prawesti, memohonnya dengan sangat "Ampun Puteri, aku mohon, janganlah puteri pergi sebelum Raden Kuda Rupaka datang puteri, puteri harus selalu ingat, apa yang pernah dilakukan oleh anak muda yang bernama Kidang Alit yang memang memiliki kepandaian meniup seruling, menurut keterangan yang aku dapat, dia telah mencemarkan dua orang gadis dari Karangmaja"

Inten mengerutkan keningnya, nampak sesuatu menyentuh hatinya, namun ketika suara seruling itu memanjat semakin tinggi, Inten Prawesti tersenyum "Adalah salah gadis-gadis itu sendiri, mereka menyerahkan diri tanpa kepastian, aku tidak akan melakukankannya Pinten, aku adalah puteri Pangeran Kuda Narpada, sehingga kedududkanku harus jelas dalam setiap hubungan dengan siapapun dan dalam hal apapun"

"Puteri" Sangkan tersentak mendengar jawaban itu, bahkan kemudian ia bergumam "Pinten, agaknya jau benar, puteri telah disentuh ilmu gendam"

Inten Prawesti menggelengkan kepalanya, bahkan dengan wajah yang berkerut merut ia berkata "Sangkan, aku peringatkan kau sekali lagi, jangan menuduh demikian buruknya kepada Kidang Alit !!"

Sangkan menarik nafas dalam-dalam, bahkan kemudian ia berkata kepada Pinten "Jagalah puteri sejenak, aku akan menghadap Gusti"

"Tidak perlu Sangkan" berkata Inten Prawesti "Seharusnya kau tidak mencampuri urusanku, jika kau dan adikmu selalu menghalang-halangi kesenanganku, aku akan mohon kepada ibunda, agar kau berdua dijauhkan saja dari istana ini"

"Puteri" Pinten memeluk kaki Inten, tetapi gadis dikibaskannya, bahkan betapapun juga, Pinten mencoba menahannya, namun Inten Prawesti tetap pada pendiriannya untuk pergi ke sumber suara seruling itu.

Namun dalam pada itu, dalam ketegangan yang hampir tidak teratasi, Sangkan berkata sambil meloncat kedepan pintu biliknya pada saat Inten Prawesti akan berlari keluar "Puteri, aku sudah barang tentu tidak dapat menahan puteri, karena aku adalah seseorang yang hanya menumpang hidup disini, seperti selembar daun kering yang terbang dihanyutkan angin dan jatuh diatas pangkguan seorang gadis, ia dapat menibaskan daun kering itu dan membuangnya di tempat sampah, tetapi ia dapat membiarkannya atau memberikan tempat yang agak lebih baik dari tempat sampah itu. Namun ia tetap daun kering yang tidak berharga sama sekali, yang sampai saatnya akan dibuang, tetapi puteri, aku juga pernah menjadi seorang gembala, dan karena itu, akupun pernah bermain-main dengan seruling, bahkan saat inipun aku memiliki sebuah seruling seperti yang dibunyikan oleh Kidang Alit itu, jika puteri hanya sekedar ingin mendengarkan suara seruling, puteri tidak usah pergi kemanapun juga, aku juga dapat membunyikan seruling"

"Ah !!, jangan ganggu aku Sangkan, aku dapat mengusirmu dari tempat ini"

"Ampun puteri, tetapi jangan pergi, hamba mohon, seandainya karena itu, aku harus diusir pergi, aku rela, tetapi jangan pergi dalam keadaan seperti ini"

Inten Prawesti menjadi sangat marah, tetapi sebelum ia berteriak mengusir Sangkan, ibundanya dan Nyi Upih yang mendengar suara ribut itupun dengan tergesa-gesa dating ke ruangan itu.

Ketika Raden Ayu Kuda Narpada melihat Sangkan berdiri di tengah-tengah pintu menghalang-halangi Inten, terbesirlah perasaan aneh dalam dirinya, sehingga dengan serta merta ia berkata lantang "Nyai, apakah anakmu sudah gila ?"

Sangkan mendengar suara Raden Ayu Narpada, sehingga iapun kemudian bergeser sambil berlutut di hadapan Raden Ayu Kuda Narpada itu.

"Ampun Gusti, biarlah aku dikutuk oleh hantu-hantu jika aku berniat buruk, biarlah Pinten mengatakannya kepada Gusti apakah yang telah terjadi"

Dalam pada itu, Inten Prawestipun segera berlari kepada ibunya sambil menangis, katanya bertahan-tahan "Usir saja anak-anak itu ibunda, mereka berniat buruk terhadapku"

"Apakah yang sudah terjadi anakku" bertanya Raden Ayu Kuda Narpada.

"Mereka mengurungku di dalam bilik ini"

"O Gusti" desis Nyi Upih "He..!! anak-anak tidak tahu malu, apakah kalian berbuat demikian ?"

"Gusti" berkata Pinten kemudian "Kami hanya mencoba menghalangi puteri, karena puteri akan pergi ke suara seruling itu"

"He..??" Raden Ayu Kuda Narpada terkejut "Apakah begitu?"

Inten menjadi ragu-ragu, tetapi ketika suara seruling itu melengking lagi, bagaikan jerit suara gadis yang ditinggalkan kekasih, maka Intenpun berkata "Ya ibunda, aku ingin pergi ke tempat anak muda itu meniup seruling, tetapi kedua anak itu menahan aku"

"Ooo..." Raden Ayu Kuda Narpada mengelus rambut anaknya yang berada di dalam pelukannya "Kenapa kau akan pergi Inten ?, dan siapakah yang meniup seruling itu ?"

"Kidang Alit ibunda, tentu Kidang Alit"

"Ooo..." Raden Ayu Kuda Narpada menjadi semakin terkejut "Kidang Alit, bukankah Kidang Alit itu anak muda yang sering dipercakapkan oleh orang-orang Karangmaja ?"

"Aku tidak perduli, apa yang mereka katakana, aku hanya ingin mendengar suara seruling itu"

"Inten, Inten" ibundanya memeluknya semakin erat, lalu "Bagaimana mungkin kau dapat berbuat demikian ?"

"Ibunda" Inten mulai menangis "Apakah ibunda akan melarangku ?"

"Tentu tidak Inten, tetapi kau harus mencegah dirimu sendiri"

"Aku hanya ingin melihat ibunda"

"Ooo..." Nyi Upih mendesah "Kenapa puteri seolah-olah dicengkam oleh ketidak-sadaran ? bukankah puteri mengetahui apa yang sudah diperbuat oleh anak muda yang bermain seruling itu, jika benar ia Kidang Alit?"

Inten masih tetap menangis, bahkan ia berusaha untuk memaksa melepaskan pelukan ibundanya.

"Gendam biyung, ini adalah pengaruh Gendam" berkata Pinten.

"Tidak, tidak" Inten tiba-tiba saja berteriak seperti bukan atas kehendaknya sendiri.

Namun dalam pada itu, selagi mereka sedang diributkan oleh sikap aneh dari Inten Prawesti, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda memasuki halaman, ketika kuda di halaman depan meringkik, maka Sangkanpun berkata "Raden Kuda Rupaka sudah dating"

Anak itu tidak menunggu apapun lagi, tiba-tiba saha ia berlari kedepan menyongsong Raden Kuda Rupaka. Dengan terbata-bata ia menceritakan keadaan Inten Prawesti yang hampir tidak dapat dicegah lagi.

"Paman" desis Kuda Rupaka "Agaknya memang anak muda itulah yang telah menantangku. Kini dengan sengaja ia menjajagi ilmuku. Ia mempergunakan pengaruh kekuatan bunyi untuk mengganggu keseimbangan perasaan diajeng Inten Prawesti"

"Gendam Raden" desis Sangkan

"Ya, semacam itu"

"Jadi, bagaimanakah maksud Raden ?" bertanya Panji Sura Wilaga.

"Aku harus membebaskannya dari pengaruh bunyi itu"

"Silahkan Raden, mungkin Raden dapat melakukannya"

Kuda Rupakapun kemudian berkata kepada Sangkan "Kembalilah kepada diajeng Inten Prawesti, aku akan masuk ke dalam istana dan mencoba memecahkan pengaruh bunyi seruling yang mengandung pesona bagi diajeng Inten Prawesti itu"

Ketika Sangkan mulai bergerak, Kuda Rupaka berkata kepada Panji Sura Wilaga "Tinggalah disini, jika orang-orang Karangmaja itu datang ajaklah mereka mengubur kedua sosok mayat itu, kini, agaknya perang melawan Kidang Alit harus sudah dimulai"

Panji Sura Wilaga mengangguk sambil menjawab "Baik Raden, silahkan mencoba untuk memerangi bunyi seruling itu"

Kuda Rupakapun kemudian masuk ke dalam istana, sejenak ia termangu-mangu, nsmun kemudian ia masuk ke dalam biliknya dan menutup pintu itu rapat-rapat.

Dalam pada itu, Inten Prawesti masih sibuk berusaha melepaskan diri dari pelukan ibundanya dan bahkan Nyi Upih pula, seakan-akan ia sudah menyadari lagi, apa yang sedang dilakukannya.

Sementara itu, suara seruling dikejauhan menjadi semakin ngelangut, nadanya kadang-kadang meninggi, kadang-kadang cepat menukik merendah, lepas dari ikatan gending yang ada, namun langsung menusuk hati Inten Prawesti, gadis cantik puteri Pangeran Kuda Narpada.

Ibundanya dan Nyi Upih yang memeluknya manjadi semakin bingung, bahkan kemudian sambil menangis Nyi Upih kepada Pinten yang berdiri kebingungan "Kenapa kakakmu begitu lama ?, cepat, mohon Raden Kuda Rupaka datang kemari"

Pinten termangu-mangu sejenak, namun sebelum ia meloncat berlari sambil menyingsingkan kain panjangnya, langkahnyapun tertegun. Dari dalam istana ia mendengar suara tembang yang mengalun tinggi, bagaikan angin yang silir bertiup dipanasnya udara yang kering.

Suara itu hanya terdengar lamat-lamat, tidak sekeras suara seruling yang masih melengking.

Namun ternyata suara tembang yang lamat-lamat, yang mengalunkan kidung kasmaran seorang jejaka itu, berhasil menyentuh perasaan Inten Prawesti, perlahan-lahan Inten bagaikan menyadari dirinya, bahkan kemudian dengan wajah yang terheran-heran ia berdesis "Apakah aku mendengar suara tembang ?"

"Ya, puteri" sahut Nyi Upih tiba-tba

"Siapakah yang disaat begini sampai sempat berdendang ?"

"Kakanda puteri, Raden Kuda Rupaka" jawab Nyi Upih yang kemudian berbisik kepada Raden Ayu Kuda Narpada "Suara tembang itu agaknya telah berhasil memecahkan ilmu gendam itu"

"Apa yang Nyai maksud ?" bertanya Inten Prawesti.

"Tidak apa-apa puteri"

Inten Prawesti mengerutkan keningnya, agaknya suara seruling dikejauhan masih sedikit mempengaruhinya, sehingga dengan demikian di dalam dirinya telah terjadi benturan pengaruh bunyi yang mengandung kekuatan ilmu yang langsung menusuk perasaannya.

Namun akhirnya ia berkata "Apakah kakangmas Kuda Rupaka sudah datang ?"

"Ya puteri" jawab Sangkan yang sudah ada di dekatnya pula "Agaknya untuk melepaskan lelahnya, Raden Kuda Rupaka berbaring di dalam biliknya sambil menyanyikan sebuah kidung yang syahdu, aku benar-benar terpesona mendengar suaranya, tidak terlampau keras, tetapi sangat dalam dan betapa lembutnya"

bersambung

nt(b.he�m2�u��

ISTANA YANG SURAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang