Istana Yang Suram 5

569 15 0
                                    

Ketiga orang itu tidak berbicara berkepanjangan lagi, Mereka benar-benar mempersiapkan diri. Kumbara telah menyiapkan sebilah pedang yang berwarna kehitam-hitaman oleh racun yang kuat. Jika pedang itu berhasil menyentuh lawannya, maka jika lawannya tidak mempunyai penawar yang baik, maka ia akan segera mati membeku"


Gagak Wereng ternyata memiliki senjata yang lain. Selain kekuatan tangannya yang luar biasa dan sebuah cincin yang beracun, iapun memiliki senjata yang berujung runcing di kedua sisinya. Senjata yang tangkainya tidak lebh panjang dari dua jengkal, tetapi di sebelah menyebelah terdapat ujung seperti ujung tombak yang masing-masing panjangnya lebih dari sejengkal.

Seperti pedang Kumbara, maka ujung senjata Gagak Wereng itupun beracun pula. Racun yang sama kuatnya dengan racun pedang Kumbara.

Naga Pasa mempunyai senjata yang lain pula, ia mempergunakan dua buah pisau belati panjang, selain kedua pisau belati panjang itu, juga memiliki memiliki beberapa buah pisau yang lebih kecil. Tangannya sudah terbiasa melontarkan senjata-senjata kecil yang seperti kedua kawan-kawannya, senjatanya itupun beracun pula.

Ketiga orang itu hampir tidak sabar menunggu matahari yang merambat lambat sekali di langit, apalagi ketika warna merah mulai membayang, seolah-olah matahari itu telah berhenti di tempatnya.

"Kita berangkat setelah makan malam" berkata Kumbara "Sebentar lagi, orang-orang Karangmaja akan mengirimkan makan malam kita yang terakhir, aku sudah berpesan kepada mereka, agar mereka memotong seekor kambing muda yang paling gemuk"

"Apakah kau juga mengatakan bahwa pengiriman ini adalah yang terakhir bagi kita ?" bertanya Naga Pasa.

"Tentu tidak"

Naga Pasa menarik nafas dalam-dalam, tetapi ia tidak bertanya lebih lanjut.

Sebenarnya orang-orang Karangmaja terpaksa menyembelih seekor kambing seperti yang diminta oleh orang-orang yang mereka anggap sedang menghantui Karangmaja dan tinggal di banjar padukuhan itu. Mereka tidak dapat berbuat lain daripada memenuhinya, apalagi hanya seekor kambing muda yang gemuk, bahkan seekor lembupun akan diberikannya.

Dalam keprihatinan Ki Buyut di Karangmaja selalu merasa dikejar-kejar oleh kewajiban yang tidak dapat dipenuhinya, ia sama sekali tidak dapat berbuat apa-apa atas ketiga orang itu, sedangkan dipihak lain, seeorang anak muda yang akan dapat diharap membantunya, ternyata telah mengambil korban bukan satu atau dua ekor kambing muda yang paling gemuk, tetapi korban itu adalah dua orang gadis muda yang terhitung cantik di Karangmaja. Pada suatu saat memang timbul niatnya untuk mengadukan kesulitannya kepad kedua bangsawan yang ada di istana itu.

"Mungkin mereka akan dapat membantu" katanya di dalam hati. Namun niat itupun diurungkannya, dengan demikian, jika terjadi sesuatu atas bangsawan-bangsawan itu, maka ia adalah penyebabnya, yang mungkin akan dapat dibebani kesalahan seperti yang telah menciderainya pula, karena Ki Buyut menduga, keluarganya tidak akan dapat menerima hal itu terjadi atas keduanya.

Dengan demikian, yang dapat dilakukannya adalah sekedar merenungi dirinya sendiri dan padukuhan kecilnya yang telah dibayangi oleh kesulitan yang semakin lama akan menjadi semakin besar.

Sementara itu, langit merah menjadi semakin buram, beberapa orang Karangmaja dengan tergesa-gesa pergi ke banjar sambil membawa makanan dan minuman bagi tiga orang penghuninya.

Setiap kali mereka memasuki halaman banjar, terasa tubuh mereka tergetar, meskipun sejak orang-orang itu berada di banjar, belum seorangpun yang pernah diganggunya sejak ia memukul Kasdu. Tetapi bagaimanapun juga, hati mereka tetap tergetar untuk setiap kali bertemu.

"Apakah pesanku sudah terpenuhi ?" bertanya Kumbara kepada orang-orang yang membawa makanan dan minuman itu.

"Daging kambing maksud Tuan ?"

"Ya..., daging kambing muda dan gemuk, aku sudah jemu makan daging ayam dan telur"

"Sudah, sudah, kami membawa hampir seluruh tubuh kambing muda itu, hanya beberapa bagian kami tinggalkan buat makan Tuan-tuan besok pagi-pagi"

"Bagus" desis Gagak Wereng "Orang-orang Karangmaja memang orang yang ramah dan baik hati. Kami mengucapkan terima kasih"

Orang-orang yang membawa makanan itu tidak menjawab, mereka meletakkan saja beberapa bakul diatas amben di dalam banjar sambil mengambil sisa-sisa makanan siang yang berserakan.

Ketika Kumbara membuka tutup bakul-bakul itupun, ia tertawa katanya "Lihatlah, bukankah itu merupakan bekal yang baik bagi kita yang malam ini akan melakukan tugas yang besar, yang akan menentukan kedudukan kita kelak ?"

Gagak Wereng tidak menjawab, tetapi tangannya langsung menjamah gumpalan-gumpalan daging di dalam bakul itu, tanpa mengatakan sepatah katapun, ia segera menyumbatkan segumpal daging ke dalam mulutnya.

Kumbara tertawa melihat tingkah laku Gagak Wereng, disela-sela suara tertawanya ia berkata "Dua orang kawanku mempunyai kebiasaan yang menjengkelkan dalam bentuknya masing-masing, yang seorang adalah seorang yang memanjakan nafsu makannya tanpa kendali, sedang yang lain sangat dipengaruhi oleh wajah-wajah cantik tanpa memikirkan akibat-akibat yang dapat timbul karenanya. Dua cacat yang apabila tidak disadari akan sangat membahayakan kedudukan kita semuanya.

Namun sambil mengunyah Gagak Wereng berkata "Betapapun rakusnya aku, tetapi aku dapat membedakan, yang manakah yang boleh aku lakukan dan yang manakah yang tidak"

"Kau sangka aku tidak ?" bertanya Naga Pasa "Jika aku tidak dapat membedakannya, maka aku sudah lebih dari sepuluh gadis-gadis Karangmaja, terutama di istana itu, yang sudah aku seret ke dalam banjar"

Gagak Wereng tertawa, tetapi ia masih saja menyuapi mulutnya dengan gumpalan-gumpalan daging.

"Kita akan makan dahulu" berkata Kumbara "Lalu kita akan melakukan tugas kita sebaik-baiknya, mungkin kita harus membunuh semua yang hidup di dalam istana itu"

Naga Pasa berpaling sekejap, namun ia tidak menghiraukannya lagi, ia tahu, Kumbara sengaja menggelitik hatinya agar ia menyatakan sikapnya, tetapi ia lebih baik diam saja.

Sesaat kemudian mereka bertigapun telah memegang mangkuk masing-masing. Ternyata bukan hanya Gagak Wereng yang rakus terhadap gumpalan-gumpalan daging kambing, tetapi adalah mereka ketiga-tiganya bagaikan berlomba menghabiskan daging yang terbanyak.

Setelah mereka selesai makan dan melemparkan sisanya kesudut ruangan, maka merekapun segera membenahi diri, Kumbara yang dianggap tertua diantara mereka berkata "Kita beristirahat sejenak sambil menyiapkan senjata kita masing-masing, jangan ada yang mengecewakan, selebihnya semua yang akan kita bawa harus sudah tersangkut di pelana kuda kita masing-masing. Karena kita tidak akan kembali lagi ke banjar ini, kita tidak akan bertemu lagi dengan orang-orang Karangmaja yang dungu untuk seterusnya. Memang mungkin beberapa tahun lagi kita akan datang lagi ke daerah ini, tetapi sudah barang tentu dengan kedudukan yang jauh berbeda"

Kedua kawannya tidak menyahut, mereka duduk di muka biliknya, sambil mengipasi dada mereka yang berkeringat.

Terasa angin mulai menjadi sejuk, langit yang buram menjadi semakin buram, satu-satu bintang mulai bergayutan di langit yang biru pekat. Beberapa helai awan yang putih mengambang dihembus oleh angin ke utara.

"Padukuhan ini segera menjadi sepi" gumam Gagak Wereng "Jika matahari terbenam, maka hampir semua pintu telah tertutup, hanya satu dua orang saja yang masih berada diluar rumah"

"Pada umumnya mereka pergi ke rumah Ki Buyut" sahut Naga Pasa.

Gagak Wereng mengangguk-angguk, matanya yang tajam seolah-olah sedang menusuk ke dalam kegelapan.

Satu-satu nampak cahaya pelita yang menembus dinding rumah yang berlubang, jatuh keatas dedaunan di halaman, sentuhan angin yang menggerakkan dedaunan itu, bagaikan mengguncang sinar pelita yang menggeliat seperti sedang dibayangi oleh kegelisahan yang sangat.

Gagak Wereng menarik nafas dalam-dalam, meskipun hampir setiap pintu rumah sudah tertutup rapat, tetapi seolah-olah Gagak Wereng dapat melihat, sekeluarga yang sedang dilanda oleh kecemasan tentang hari depannya, duduk diatas amben bambu yang besar, betapapun juga seorang ayah mencoba menghibur anak-anaknya, tetapi anak-anak yang kecil itu tidak dapat menghindarkan diri dari ketakutan yang luar biasa, begitu juga ibunya.

"Kenapa aku justru menjadi hantu bagi sesama manusia ?" pertanyaan itu tiba-tiba saja telah menghinggapi jantung gagak Wereng.

"Kali ini agaknya yang terakhir" katanya di dalam hati pula.

Gagak Wereng mulai membayangkan, bahwa jika usahanya kali berhasil, dan ia mendapat upah uang atau kedudukan yang cukup memadai, maka ia akan hidup wajar untuk seterusnya, dan iapun akan menukar namanya lagi dengan namanya yang sebenarnya. Margajati.

Namun demikian ia berkata kepada diri sendiri "Tetapi tugas ini harus diselesaikan dahulu"

Gagak Wereng menggeliat ketika ia mendengar Kumbara berkata "Ujung malam ini sudah mulai gelap, marilah kita kita berangkat, kita tidak akan berjalan tergesa-gesa. Kita akan menikmati malam terakhir di Karangmaja ini sebaik-baiknya"
Ketiga orang itupun kemudian mempersiapkan diri, semua milik mereka telah mereka siapkan dan mereka sangkutkan pada pelana kuda mereka masing-masing, senjata mereka telah siap pula untuk dipergunakan sewaktu-waktu.

"Mungkin kedua orang itu perlu dibantai dengan senjata" berkata Kumbara "Karena itu jangan meremehkan keduanya, keduanya bukanlah anak-anak kecil lagi"

Sejenak kemudian, maka ketiga orang itupun segera berangkat meninggalkan banjar desa, tidak ada orang Karangmaja yang mengetahuinya, pada umumnya mereka sudah berada di dalam bilik masing-masing.
Hanya satu dua anak muda sajalah yang masih berada di rumah Ki Buyut Karangmaja, mereka berjaga-jaga sambil berbincang, sekali-kali mereka menengok Kasdu nampaknya keadaannya memang berangsur baik.

Tetapi anak-anak muda yang masih tinggal di rumah Ki Buyut itu. Tidak berani pulang ke rumah masing-masing, hingga menjelang pagi hari. Ketakutan itu selalu mencengkam hati setiap anak-anak muda sejak di banjar tinggal ketiga orang yang sama sekali tidak dikehendaki oleh orang-orang Karangmaja, namun yang sama sekali tidak dapat diusiknya itu.
Meskipun demikian, seperti juga perempuan dan gadis-gadis, anak-anak muda Karangmaja belum pernah mengalami perlakuan yang dapat menghentikan denyut jantung mereka dari ketiga orang yang tinggal di banjar itu.

Dalam pada itu, ketika angin malam menjadi semakin dingin, Kumbara, Gagak Wereng dan Naga Pasa telah menjadi semakin dekat dengan istana kecil yang terpencil, dimalam hari istana itu memang nampak suram dan sepi sekali.

"Seperti sebuah rumah hantu" desis Naga Pasa.

"Ya... sebuah rumah di lereng bukit kecil, lihat, jika bulan kebetulan purnama, maka istana itu justru akan menjadi semakin mengerikan nampaknya. Seolah-olah dari balik pintunya akan dapat bermunculan sebangsa hantu, jin dan bekasakan"

"Kita akan memasukinya, kita akan segera menemukan penghuni istana itu yang sebenarnya"

Kawan-kawannya tidak menyahut lagi, mereka memusatkan perhatian mereka kepada istana yang sepi dan suram itu. Sebuah lampu minyak yang berkeredipan menerangi sebagian kecil pendapa yang terbuka.
Namun, bagaimanapun juga, hati ketiga orang itupun terasa menjadi berdebar-debar, mereka sudah terbiasa membunuh, tetapi rasa-rasanya membunuh perempuan yang tidak berbahaya justru sangat mendebarkan hati.

Ketiga orang itu tidak akan tergetar hatinya jika senjata mereka pada saatnya terhujam di dada kedua orang bangsawan yang sedang berada di istana itu pula, tetapi jika mereka harus membunuh perempuan yang ada di dalamnya, maka tangan mereka akan manjadi gemetar.

Bahkan tiba-tiba saja tumbuh penyakit dihati Gagak Wereng "Apakah untungnya dengan membunuh perempuan-perempuan itu ?, mereka tidak dapat berbuat apa-apa, seandainya mereka melawan, apakah yang dapat mereka lakukan ?, dengan sekali dorong, mereka akan jatuh pingsan"

Gagak Wereng menarik nafas dalam-dalam, tanpa sadarnya ia berpaling memandang wajah Kumbara yang tegang, didalam keremangan malam, Gagak Wereng tidak dapat melihat dengan jelas bentuk dan kerut merut di wajah kawannya itu.
Namun Naga Pasa agaknya mempunyai pikiran yang lain, setiap kali ia mengadahkan wajahnya, dan seolah-olah tersenyum seorang diri.

"Gila..!" desis Gagak Wereng di dalam hatinya " Naga Pasa tentu akan akan mengambil kedua gadis yang ada di istana itu. Ia tidak akan segan membawanya dan melemparkan ke tepi jalan selagi gadis itu tidak sadarkan diri.

Gagak Wereng adalah seorang laki-laki yang hampir tidak pernah bertanya kepada kawan-kawan dan kepada diri sendiri. Apakah korbannya perlu dikasihani atau tidak, ia adalah laki-laki yang bengis dan tidak berkeprimanusiaan. Namun tiba-tiba saja, sebuah kejemuan telah merayapi hatinya, justru selagi ia bergerak mendekati istana yang kecil dan terpencil untuk melakukan tugasnya yang cukup berat.

"Gila,,! " Ia menggeram didalam hatinya "Kenapa aku ragu ?, Apakah sebenarnya aku ketakutan melihat kedua orang bangsawan yang ada di istana itu ?"

Gagak Wereng tidak sempat merenung dirinya lebih jauh. Kumbara memberi isyarat dengan tangannya, sehingga mereka bertigapaun kemudian berhenti beberapa langkah di depan regol halaman istana yang suram itu.

"Kita akan memasuki halaman istana, kita akan menambatkan kuda kita diluar regol" berkata Kumbara

"Kenapa diluar regol ?" bertanya Naga Pasa.

"Kuda kita tidak boleh menjadi sasaran kebingungan kedua orang yang ada di istana itu. Jika mereka kehilangan akal menghadapi kematian, mereka akan dapat dengan gila menyerang kuda yang tidak tahu menahu tentang perkelahian itu"

"Selebihnya, kita akan dapat dengan cepat meninggalkan halaman jika keadaan memaksa" desis Gagak Wereng

Naga Pasa memandanginya dengan heran, katanya "He..!, sejak kapan kau memperhitungkan cara untuk melarikan diri ?"

"Bukan untuk melarikan diri" sahut Gagak Wereng, tetapi ia tidak menemukan kata-kata untuk melanjutkan kalimatnaya.

Naga Pasa tertawa, katanya "Kedua orang yang tinggal di istana itu adalah bangsawan-bangsawan yang hanya pandai berhias dan merayu perempuan, karena itu mereka harus dibunuh, jika tidak, maka perempuan-perempuan akan menjadi korban mereka dan hidup tersia-sia dihari tuanya"

"Cukup.., desis Kumbara "Marilah kita bersiap-siap, semuanya akan segera dimulai"

Ketiga orang itupun meloncat turun dari kuda mereka dan menambatkan kuda-kuda itu di batang perdu di depan istana itu. Untuk sesaat mereka mcncoba mengamati keadaan, tetapi istana itu benar-benar telah menjadi sepi.

"Kita akan masuk sekarang" berkata Kumbara.

Gagak Wereng dan Naga Pati mengangguk kecil, hampir diluar sadar, merekapun telah meraba senjata masing-masing, Seolah-olah mereka ingin meyakinkan, bahwa senjata-senjata mereka akan dapat menyelesaikan persoalan yang sedang mereka hadapi. Sejenak kemudian Kumbarapun telah telah berdiri dimuka pintu regol, beberapa kali ia mencoba mendorongnya, tetapi agaknya pintu itu telah diselarak,

"Kita dorong saja" desis Naga Pasa.

"Itu akan membuat keributan, kita dapat mengangkat selarak dengan memasukkan tangan kita pada bagian yang rusak itu"

"Aku tidak telaten" desis Gagak Wereng "Aku akan loncat dinding batu dan aku akan membukanya dari dalam"

Kumbara mengangguk, katanya "Baik, lakukanlah"

Gagak Werengpun segera meloncat keatas dinding batu yang mengelilingi halaman, sejenak ia memandang ke bagian dalam dari dinding batu itu. Ternyata halaman itu benar-benar sepi. Tidak ada sesuatu nampak bergerak meskipun sekedar oleh seekor kadal. Gagak Wereng segera meloncat masuk, dengan hati-hati ia melangkah mendekati pintu gerbang dan kemudian membuka selaraknya.

Kumbara dan Naga Pasa yang berada di luar, menarik nafas dalam-dalam, seolah pintu pintu telah terbuka lebar-lebar bagi tugas yang yang akan dilakukannya, meskipun yang sudah terjadi baru ujung dari keseluruhan tugas yang sangat berat. Terlebih-lebih dengan kehadiran kedua orang bangsawan yang berada di dalam istana itu pula.

"Apakah kita akan langsung memasuki istana?" bertanya Gagak Wereng

"Sudah barang tentu" Jawan Kumbara "Kita tidak akan membuang waktu lebih lama lagi"

"Marilah" geram Naga Pasa "Pekerjaan kita sudah selesai"

"Kau bermimpi, kita baru mulai"

"Ya..., kita baru mulai, tetapi selanjutnya adalah mudah sekali"

Kumbara memandang Naga Pasa dengan tatapan mata yang ragu, namun iapun kemudian tidak menghiraukannya lagi. Perlahan-lahan ia mulai melangkah mendekati pendapa yang remang-remang diterangi oleh lampu minyak yang redup.

"Kita akan naik ke pendapa dan langsung mengetuk pintu" berkata Kumbara.

"Ya, kita akan mengetuk pintu" sahut Naga Pasa yang mulai melangkahkan kakinya naik ke pendapa.

Tetapi langkahnya terhenti, dengan wajah yang tegang ia memandang Kumbara dan Gagak Wereng yang juga termangu-mangu.

"Aku mendengar sesuatu" desis Naga Pasa

"Ya, aku juga mendengar sesuatu' sahut Kumbara.

Ketiganyapun kemudian berdiri mematung, namun untuk beberapa saat lamanya, tidak ada sesuatu yang yang mereka dengar, desah anginpun tidak.

"Aku akan naik" berkata Naga Pasa "Ternyata kita telah diganggu oleh kecemasan kita sendiri"

Kumbara mengangguk, katanya "Ketuklah pintu itu keras-keras"

Namun Naga Pasa tidak sempat menjawanb, tiba-tiba saja terdengar suara tertawa disisi pendapa itu, dari dalam kegelapan terdengar suara "Kau tidak usah mengetuk pintu itu keras-keras, aku berada disini"

Naga Pasa segera meloncat turun, dengan wajah yang tegang ia memandang kedalam kegelapan sambil berkata "Nah, ternyata yang kami dengar bukan sekedar nafas kami sendiri" ia berhenti sejenak, lalu "He..! Siapakah kau, apakah kau bangsawan yang ada di istana ini ?"

Ketegangan memuncak ketika mereka melihat dedaunan yang bergerak, dari dalam kegelapan muncul seseorang yang seperti telah diduga, ia adalah seorang dari kedua bangsawan yang ada diistana itu.

"Oo... Kau" desis Kumbara "Terima kasih atas sambutanmu"

"Namaku Panji Sura Wilaga"

"Panji Sura Wilaga" Kumbara mengulang "Baiklah, kemarilah, aku akan berbicara denganmu sedikit"

Panji Sura Wilaga melangkah mendekati ketiga orang itu dengan tanpa ragu-ragu, tidak ada sepercik kecemasanpun yang membayang diwajahnya.

"Dimanakah kawanmu itu ?" bertanya Kumbara kepada Panji Sura Wilaga.

"Ia berada di dalam, tetapi ia akan dengan senang hati menyambut kedatangan kalian pula"

"Baiklah, apakah kau sedang menunggunya Panji Sura Wilaga ?"

"Aku memang tinggal di istana ini bersamanya, ia sedang menengok bibinya yang agaknya hidup seolah-olah dalam pengasingan"

"Maksudku, sekarang ini, apakah kau sedang menunggu kawanmu itu ?"

"Ia akan keluar nanti, ia tidak sedang tidur, ia tentu mendengar kedatangan kalian, tetapi ia masih berada didalam"

"Jika demikian, maka aku akan menemuinya dan menemui isteri Pangeran Kuda Narpada"

"Buat apa kau ingin menemuinya ?"

"Ada sesuatu keperluan yang akan aku sampaikan kepada isteri Pangeran yang telah hilang itu"

"Ki Sanak " berkata panji Sura Wilaga "Agaknya tidak pantas jika Ki Sanak pada malam hari yang gelap, datang sebagai tamu di istana ini, bukankan besok masih ada hari ?, aku ingin menasehatkan kepada Ki Sanak, besok sajalah datang kembali disiang hari, jangan sekarang"

Kumbara menarik nafas dalam-dalam, seolah-olah ia ingin mengedepankan perasaannya yang mulai menjadi panas.

"Aku datang untuk menemui isteri Pangeran Kuda Narpada, aku ingin bertemu barang sekejap, dan aku ingin lakukan sekarang, tidak besok"

"Ki Sanak " berkata Sura Wilaga "Sebaiknya Ki Sanak jangan memaksa, itu kurang baik, yang Ki Sanak lakukan sekarang ini benar-benar bertentangan dengan kesopanan yang lazim berlaku"

"Maaf Panji Sura Wilaga " sahut Kumbara "Barangkali aku memang tidak menghiraukan sopan santun, tetapi demikianlah keinginanku, jangan menghalang-halangi aku, supaya hidupmu tidak menjadi pendek."

"Ah, kau sedang menakuti-nakuti" jawab Sura Wilaga "Jangan seperti menakut-nakuti anak-anak, karena itu, sebaiknya kalian kembali saja, dan datanglah besok jika matahari sudah naik tinggi."

"Persetan !!" geram Kumbara yang hampir kehabisan kesabaran "Kau jangan mempersulit dirimu sendiri."

"Tentu tidak, aku sama sekali tidak mempersulit diriku, tetapi adalah menjadi kewajibanku untuk memperingatkanmu. Ketahuilah, bahwa Raden Ayu Kuda Narpada sekarang sudah tidur, agaknya ia lelah sekali, karena sehari-harian ia bekerja di dapur, adalah bukan menjadi kebiasaan isteri seorang bangsawan tinggi melakukan pekerjaan itu."

"Aku tidak perduli." Bentak Kumbara yang telah kehilangan kesabaran "Aku akan masuk dan menemuinya"

"Sebaiknya jangan Ki Sanak, nanti kita akan dapat berselisih, bukan saja dengan kata-kata, tetapi mungkin dengan kekerasan"

Kumbara menggeram mendapat tantangan itu, maka katanya kemudian tidak kalah garangnya "Baiklah, jika itu yang kau kehendaki, bukan kamilah yang menentang kalian, tetapi kaulah yang sudah memulainya"

"Tentu saja bukan aku, aku hanya sekedar mempersilahkan kalian untuk kembali besok, selebihnya adalah pengotak-atikmu saja"

"Panji Sura Wilaga !!!" berkata Naga Pasa yang sudah kehilangan kesabaran "Kau tinggal memilih, membawa kami masuk dan mempertemukan kami dengan isteri Kuda Narpada, atau kau akan mati dengan penderitaan yang tidak dapat diperkirakan?. Dengarlah Panji Sura Wilaga, jika tangan kami menyentuh tubuhmu, maka kau akan menjadi lumpuh, bisu, tuli dan buta seperti seorang anak muda dari padukuhan Karangmaja".

Tetapi diluar dugaan, Panji Sura Wilaga tertawa, katanya "Memang kemampuan anak-anak dari Karangmaja, perguruan Guntur Geni dapat dibanggakan, apabila pemimpinnya yang menyebut dirinya bernama Kiai Sekar Pucang, tetapi bagiku, perguruan itu tidak ubahnya seperti berpuluh-puluh perguruan kecil lainnya yang tesebar dari ujung kulon sampai ke ujung timur pulau ini"

"Gila !!" Kumbara tiba-tiba menggeram "Dari mana kau dapat menyebut nama perguruan dan pimpinanku ?"

"Dari bekas tanganmu yang berbisa itu, aku pernah melihat seorang anak muda yang kau perlakukan seperti itu, adalah diluar peri-kemanusiaan jika kau memperlakukan seorang anak muda pedesaan yang tidak tahu menahu tentang ilmu kanuragan dengan cara seperti itu"

"Ia menentang aku"

"Apapun yang dilakukannya, kau tentu dengan mudah akan dapat mencederainya, karena anak pedesaan itu adalah anak yang bodoh dan dungu"

Tiba-tiba Gagak Wereng yang sejak semula hanya berdiam diri saja berkata "Kita akan berbantah terus sepanjang semalam suntuk, atau akan menyelesaikan tugas kita yang penting ini ?"

"Sudah tentu, kita akan segera bertindak"

"Marilah, aku akan memasuki pringgitan, Siapa yang sudah jemu berbicara, ikuti aku"

"Panji Sura Wilaga tertawa, katanya "Masuklah, tetapi kalian tidak akan pernah keluar lagi"

"Jangan hiraukan" berkata Gagak Wereng sambil melangkah naik ke pendapa "Kita akan berjalan terus, jika orang ini berani bertindak, ia akan bertindak, ia tahu pasti, bahwa ia akan berhadapan dengan perguruan Guntur Geni"

"Jangan panik" desis Panji Sura Wilaga.

"Persetan !!!" Gagak Wereng tidak menghiraukannya.

Panji Sura Wilaga maju beberapa langkah, ketika iapun kemudian meloncat naik ke pendapa, terdengar pintu pringgitan terbuka. Nampak dalam cahaya lampu minyak seorang anak muda berdiri bersilang tangan didada.

"Nah itulah yang seorang" berkakta Gagak wereng.

"Ya..." jawab anak muda yang berada di pintu itu "Aku kira kalian dapat diajak berbicara dan meninggalkan halaman istana ini, tetapi ternyata dugaanku keliru, kau memaksa naik dan masuk kedalam istana bibiku ini"

Gagak Wereng manjadi ragu-ragu sejenak, ada sesuatu yang bergetar didala, hatinya, tetapi sambil menggerakkan giginya ia berkata "Kau jangan mencoba mengganggu tugas tugas kami, aku akan bertemu dengan bibimu"

"Jangan kasar" berkata Raden Kuda Rupaka "Sebaiknya aku masih memperingatkan kalian sekali lagi, pergilah dan kembalilah besok siang jika memang kalian mempunyai kepentingan dengan bibi"

"Tidak aku akan bertemu dengan bibimu sekarang"

Raden Kuda Rupaka yang lebih muda dari Panji Sura Wilaga ternyata lebih cepat menjadi panas. Sambil menggeram ia melangkah lebih maju dan bekata "Jangan menyombongkan diri karena kalian adalah anak-anak dari perguruan Guntur Geni, itu sama sekali tidak dapat menggetarkan hatiku. Namun aku masih dapat berbicara dan bersikap sebagai manusia, bukankah kita manusia yang mempunyai akal dan budi ?, bukankah kita punya mulut untuk berbicara ?, dan bukankah kita mengakui, bahwa setiap orang mempunyai hak atas miliknya, seperti bibi mempunyai hak atas istananya ini ?, jangan melanggar hak itu, pergilah"

"Jangan berbicara lagi" Kumbara menjadi semakin marah "Menepilah, aku akan lewat"

Wajah Kuda Rupaka menjadi merah, dengan garangnya ia berkata "Jika demikian, kau akan memaksakan kehendakmu, baiklah itu berarti maut"

Kumbara mengerti bahwa tidak ada jalan lain kecuali bertempur, karena itu, maka iapun berkata kepada Naga Pasa dan gagak Wereng "Kalian bersama-sama dapat membunuh yang seorang itu dengan cepat, aku akan melayani anak gila ini, kemudian kita bertiga akan mencincangnya sampai lumat"

Kuda Rupaka tidak bergerser dari tempatnya, ia berdiri dengan kaki renggang seperti sebatang tonggak besi baja yang menghujam jauh kedalam pusat bumi.

Namun dalam pada itu, Raden Ayu Narpada dan Inten Prawesti yang ketakutan didalam ruang tengah istananya yang suram itu. Tiba-tiba seolah-olah mendapat sebuah kekuatan yang lain, ia tidak ingin mengorbankan kemanakannya yang hanya secara kebetulan saja berada di istananya itu. Karena itu maka didorongnya Inten perlahan-lahan sambil berkata "Inten, pergilah kepada Nyi Upih dan anak-anaknya, aku akan menemui orang-orang itu, mungkin yang dicarinya bukan sesuatu yang sulit untuk dipenuhi"

"Apakah mereka akan mengambil aku ibunda ?" bertanya Inten Prawesti.

"Tentu tidak Inten, pergilah kepada Nyi Upih, ia akan dapat berbuat sesuatu untukmu"

Inten menjadi semakin gematar, tetapi ia tidak dapat menahan ibundanya lagi.

Ketika ibunya bangkit dan melangkah ke pendapa, Inten siap-siap untuk berlari ke belakang, tetapi sebelum ia melangkah ternyata Nyi Upihlah yang berjalan tergesa-gesa memasuki ruangan itu.

"Gusti" ia berdesis

Raden Ayu Kuda Narpada terhenti "Apakah Gusti akan menemui orang-orang itu ?"

"Aku akan menemuinya Nyai, mungkin persoalannya dapat mudah aku selesaikan tanpa menimbulkan onar, aku tidak sampai hati melepaskan angger Kuda Rupaka bertempur dengan mereka, jika terjadi sesuatu atas anak itu, maka aku akan merasa sangat menyesal"

"Tetapi berhati-hatilah Gusti"

Raden Ayu Kuda Narpada mengangguk, sementara Inten Prawesti telah memeluk pemomongnya dengan tubuh yang gemetar

"Marilah, duduklah puteri" Nyi Upih mencoba untuk menenangkannya.

"Nyai" desis Inten "Dimana anak-anakmu?"

"Mereka membeku di pembaringan puteri, aku sudah mengajak mereka kemari, tetapi Pinten tidak berani mengangkat wajahnya sama sekali, sedang Sangkan bersembunyi di bawah kolong amben bambunya"

"Aku juga takut sekali Nyai"

"Sudahlah, aku berharap bahwa segala sesuatunya dapat segera diselesaikan" berkata Raden Ayu Raden Kuda Narpada sambil melanjutkan langkahnya ke pendapa.

Sementara itu, Kuda Rupaka sudah siap untuk memaksa ketiga orang yang datang dengan kasarnya dimalam hari itu untuk pergi, Panji Sura Wilagapun telah meraba hulu pedangnya pula.

Namun dalam pada itu, Kumbara, Naga Pasa dan Gagak Werengpun telah siap menghadapi lawan masing-masing dengan garangnya.

Kehadiran Raden Ayu Narpada telah mengejutkan mereka yang sudah siap bertempur di pendapa, apalagi Kuda Narpada yang dengan sigapnya meloncat mendekati bibinya "Bibi, silahkan bibi masuk, biarlah aku selesaikan persoalan kecil ini, mereka adalah anak-anak dari perguruan Guntur Geni yang tidak mempercayai kemampuan prajurit-prajurit Demak, tetapi sebentar lagi mereka akan menyesal dan akan menyebut nama Sultan Demak sambil berjongkok dihadapanku"

"Anakmas Kuda Rupaka" berkata Raden Ayu Kuda Narpada "Kau adalah tamuku, kehadiranmu, membuat aku sekeluarga yang kecil ini menjadi gembira, karena itu, aku tidak mau sesuatu terjadi atasmu anakmas, jika pakaianmu sobek, apalagi kulitmu tergores ujung senjata meskipun hanya setebal rambut, aku akan sangat menyesal, semua kegembiraan akan lenyap dan persoalannya tentu akan menjadi berkepanjangan"

Kuda Rupaka tertawa, katanya "Bibi, aku tidak biasa menyombongkan diri, tetapi bersama-sama dengan paman Panji Sura Wilaga, aku akan berusaha untuk melindungi istana peninggalan pamanda Kuda Narpada ini"

"Terima kasih anakmas, tetapi biarlah orang ini menyebutkan persoalannya, biarlah ia mengatakan, apakah yang akan dibicarakannya dengan aku"

"Nah...!" tiba-tiba saja Kumbara memotong "Itu adalah suatu kebijaksanaan yang terpuji"

"Angger Kuda Rupaka" berkata Raden Ayu Kuda Narpada "Biarlah ia berbicara"

Kuda Rupaka menarik nafas dalam-dalam, iapun kemudian berjongkok dihadapan bibinya sambil berkata "Bibi. Adalah kewajiban seorang ksatria untuk berbuat derma, melindungi yang lemah dan memerangi kejahatan, apalagi terhadap keluarga sendiri, sedangkan bagi orang lainpun harus dilakukannya tanpa pamrih. Bibi, terjadi sesuatu atas diri kami berdua, maka tidak akan ada seorangpun yang menyalahlkan bibi. Bahkan ayahanda akan berbangga, bahwa anaknya telah melakukan tugas seorang ksatria, karena itu bibi, jangan layani orang-orang gila ini, serahkanlah mereka kepadaku"

"Bagus" teriak Naga Pasa "Kau akan kami bunuh lebih dahulu, baru kami akan berbicara dan memaksa bibimu untuk memenuhi tuntuan kami"

"Apakah sebenarnya yang kalian kehendaki ?" bertanya Raden Ayu Kuda Narpada

Namun sebelum mereka menjawab Kuda Rupaka telah meloncat berdiri sambil berkata lantang "Selama aku masih berdiri di halaman ini, kalian tidak akan dapat memaksa bibi untuk berbuat apapun. Karena itu, jika kalian mampu membunuh aku, lakukanlah"

"Aku akan membunuhmu" geram Kumbara sambil melangkah maju.

"Bibi masuklah" Kuda Rupaka perlahan-lahan mendorong bibinya masuk kembali, sehingga Raden Ayu Kuda Narpada sama sekali tidak sempat menolak"

Demikian Raden Ayu itu hilang dibalik pintu, maka pintu itupun segera ditarik oleh Raden Kuda Rupaka, sehingga tertutup rapat-rapat.

"Kau jangan menakuti-nakuti perempuan itu he..!!" geram Raden Kuda Rupaka "Sekarang lakuka apa yang akan kau lakukan"

"Kumbara menggeram, namun sebelum ia berkata sesuatu, Kuda Rupaka dengan acuh tidak acuh berjalan turun ke halaman sambil berkata "Di sini kita mendapat tempat yang lapang untuk saling berbunuhan"

Kumbara tidak menjawab, iapun segera meloncat dari pendapa langsung menyerang anak muda yang memang sudh siap menunggunya itu.

Radn Kuda Rupaka sama sekali tidak terkejut mendapat serangan yang dahsyat itu, dengan sigapnya ia meloncat. Bakan ia masih sempat berkata "Racun di tanganmu dan senjatamu tidak akan dapat bekerja dihadapanku. Aku sudah menggosok seluruh tubuhku dengan obat panawar racun, Sementara di jariku terdapat sebuah cincin dengan batu akikJumerut Sisik Waja, betapa tinggi ketajaman racunmu, kau sama sekali tidak akan berdaya"

"Gila...!!!, jadi kau mempunyai batu akik Jumerut Sisik Waja ?" bertanya Kumbara.

"Ya..., dan paman Panji Sura Wilaga mempunyai batu akik Naga Keling. Kecuali obat penawar seperti yang aku pergunakan pula"

"Persetan...!!! Kalian tentu anak-anak dari perguruan Cengkir Pitu"

"Kau sudah mengenalnya?, nah, jika demikian, jangan bermain-main dengan racun, tentu tidak ada gunanya.ntu tidak ada gunanya. Perguruan Guntur Geni dan Cengkir Pitu mempunyai pengetahuan tentang racun dari sumber yang sama"

Kumbara menggeram, iapun segera menyerang pula sambil berteriak "Tetapi baik akik Jumerut Sisik Waja, maupun Naga Keling tidak mampu membuat kulitmu menjadi kebal. Meskipun kalian tawar dari racun, namun tubuh kalian tidak menjadi kebal oleh senjata tajam"

"Juga anak-anak dari Guntur Geni tidak akan dapat mengelakkan luka ditubuhnya"

Kumbara menjadi semakin marah karena serangannya sama sekali tidak menyentuh lawannya, karena itu, maka iapun segera menyerang lawannya beruntun dengan senjatanya sambil bertanya "Jika kalian anak-anak Cengkir Pitu, kenapa kalian berada disini?"

Kuda Rupaka tidak menyahut, tetapi suara tertawanya terdengar tinggi. Dalam pada itu Naga Pasa dan Gagak Wereng menjadi termangu-mangu melihat perkelahian yang terjadi. Dalam sekilas nampak bahwa Kuda Rupaka memang memiliki kemampuan yang dapat dibanggakannya.

Namun sementara itu, Panji Sura Wilaga telah siap pula menghadapi keduanya di halaman istana yang suram itu.

"Kau akan segera mati" desis Naga Pasa kemudian.

"Kau atau aku, atau kita bersama-sama"

"Persetan, Kau harus melawan kami berdua"

"Aku sudah terlalu biasa bertempur melawan kelinci-kelinci penakut yang berkelahi bersama seluruh keluarganya"

"Persetan...!!!" Kemarahan Naga Pasa telah memuncak, karena itu serangannyapun segera datang membadai, disusul dengan serangan-serangan Gagak Wereng yang dahsyat.

Panji Sura Wilagapun kemudian mengerahkan segenap kemampuan bertempur yang cukup tinggi. Ia sadar, bahwa kedua orang itu akan memaksanya untuk menyerah dan mati. Kemudian mereka bertiga akan dengan sangat mudah dapat membunuh Kuda Rupaka pula.

Karena itu, maka Panji Sura Wilaga harus mempersiapkan dirinya sebaik-baiknya sesuai dengan pekembangan pertempuran antara Kuda Rupaka dan lawannya.

"Aku harus bertahan sampai saatnya Raden Kuda Rupaka dapat membunuh iblis itu" berkata Panji Sura Wilaga kepada dirinya sendiri, sehingga dengan demikian, sejauh-jauh dapat dilakukan, Panji Sura Wilaga tidak menghambur-hamburkan tenaganya dalam perkelahian itu.

Tetapi hal itu sangat sulit dilakukannya, kedua lawannya memiliki kemampuan yang dapat memaksanya untuk memeras segenap tenaga yang ada padanya. Jika tidak, maka ia justru akan segera mengakhiri perlawanannya. Kumbara dan kawan-kawannya ternyata adalah orang-orang yang memang sepantasnya dipercaya oleh perguruannya untuk menjalankan tugas yang berat itu.

Karena itulah, maka pertempuran di halaman istana itu semakin lama menjadi semakin seru. Jika Panji Sura Wilaga harus bertempur mati-matian untuk mempertahankan diri dari serangan kedua orang lawannya. Maka Raden Kuda Rupaka mengerahkan segenap kemampuannya untuk segera mengalahkan Kumbara agar ia segera dapat membantu Panji Sura Wilaga, karena Raden Kuda Rupakapun menyadari bahwa kawannya itu akan segera mengalami kesulitan.

Sebenarnyalah memang demikian yang terjadi, melawan kedua orang lawannya itu, Panji Sura Wilaga harus mengerahkan segenap kemampuan yang dapat dilakukan. Dengan demikian maka ia harus mengerahkan segenap tenaganya seakan-akan tanpa mendapat kesempatan untuk menarik nafas panjang sama sekali.

"Gila" geram Sura Wilaga di dalam hatinya "Ternyata orang ini benar-benar ingin memaksaku menyerahkan leherku kepada mereka"

Sementara itu, didalam istana kecil itu, Raden Ayu Kuda Narpada duduk dengan gemetar, betapa ia berusaha menenangkan hatinya, namun terasa degup jantungnya menjadi semakin kencang. Sedang di belakangnya, Inten Prawesti duduk di dalam pelukan pemomongnya yang seolah-olah bagaikan membeku.
Sekali-kali mereka tergetar oleh dentang senjata di halaman. Kemudian teriakan-teriakan nyaring dari orang-orang yang sedang berkelahi itu.

"Apakah Kamas Kuda Rupaka akan menang Nyai?" bertanya Inten Prawesti dengan suara gemetar. Ia tidak dapat menahan ketegangan yang semakin memuncak di dadanya. Nyai Upih bergeser sedikit, dengan suara lirih ia menjawab "Kita berdoa puteri. Yang Maha Kuasa akan memberi kekuatan kepada setiap orang yang memuji namanya"

Inten Prawesti mengerutkan keningnya, katanya "Ya, semoga Allah Yang Maha Besar akan memberikan pertolongannya"

Inten Prawesti termangu-mangu, meskipun hatinya sedang dicengkam oleh kebingungan, namun ia masih sempat menimbang-nimbang kata pemomongnya. Tetapi ia tidak bertanya lagi kepadanya, diluar agaknya perkkelahian manjadi semakin seru.
Sebenarnyalah bahwa pertempuran di halaman menjadi semakin seru, namun ternyata bahwa Panji Sura Wilaga semakin mengalami kesulitan untuk mempertahankan dirinya melawan dua orang yang memilki kekuatan hampir seimbang, yang dapat dilakukannya kemudian adalah sekedar membela diri dengan harapan bahwa Raden Kuda Rupaka akan segera dapat mengakhiri perkelahian.

Tetapi lawan Raden Kuda Rupakapun adalah orang yang sangat tangguh. Ia adalah orang yang paling kuat diantara tiga orang murid perguruan Guntur Geni yang ditugaskan ke padukuhan Karangmaja itu. Sehingga dengan demikian maka Raden Kuda Rupakapun tidak segera dapat menguasainya. Apalagi Panji Sura Wilaga yang harus bertempur melawan dua orang berpasangan, dua orang yang garang dan ganas dengan senjata mereka masing-masing. Senjata yang mengerikan.
Pada setiap ayunan senjata Naga Pasa yang sepasang itu, bagaikan lambaian maut, sedang Gagak Wereng yang membawa sebuah limpung berujung rangkap, merupakan ancaman yang mendebarkan jantung, kearah manapun senjata itu bergerak, rasa-rasanya dada Panji Sura Wilaga akan tergores karenanya.
Namun ternyata bahwa semakin lama Panji Sura Wilaga menjadi semakin lemah, kekuatannya berangsur menjadi surut, sedang serangan kedua lawannya masih tetap saja membadai.

"Kau tidak akan dapat luput dari pelukan maut kali ini Panji" desis Naga Pasa.

Panji Sura Wilaga mengeram, bagaimanapun juga ia masih manjawab "Jangan berbangga, pertempuran ini belum selesai".

"Tetapi akhir dari pertempuran ini sudah membayang, nah apa yang akan kau katakana sebelum ajalmu sampai ?"

Panji Sura Wilaga menggeram, tetapi ia tidak menjawab lagi, Ia mencoba mengerahkan kekuatan yang ada padanya untuk memperlonggar serangan-serangan kedua lawannya.
Tetapi usaha itu tidak memberikan kesempatan kepadanya, sehingga ia mengumpat di dalam hati "Setan alas, aku tidak mengira bahwa pertumbuhan perguruan Guntur Geni menjadi demikian pesatnya, sehingga aku mendapat kesulitan melawan kedua orang ini, bahkan Raden Kuda Rupaka tidak segera dapat menyelesaikan yang seorang itu"

Ternyata Raden Kuda Rupaka dapat melihat kesulitan yang dialami oleh Panji Sura Wilaga. Karena itu, ia mencoba mengerahkan segenap kemampuannya untuk menyelesaikan lawannya. Tetapi lawannya berbuat serupa pula, mengerahkan segenap kemampuan yang ada padanya, sehingga dengan demikian, perkelahian itu justru menjadi semakin seru. Keduanya ternyata adalah orang-orang yang memiliki kemampuan melampaui kemampuan sesamanya, senjata keduanya berputaran saling melibat dan berbenturan. Percikan bunga api berloncatan di udara.
Melihat kemampuan antara Kuda Rupaka dam Kumbara, Panji Sura Wilaga tidak dapat lagi mengharap bantuannya. Ia harus dapat berusaha menolong dirinya sendiri, apapaun caranya. Jika tidak, maka ia akan segera tergolek di tanah tanpa nyawanya lagi.

"Tetapi tidak ada jalan yang dapat aku tempuh" desis Panji Sura Wilaga didalam hatinya, namun demikian, ia masih bertempur terus, apapun yang akan terjadi.
Dalam pada itu. Panji Sura Wilaga selalu terdesak itupun semakin lama menjadi semakin terpisah dari Kuda Rupaka, tanpa sadarnya, Panji Sura Wilaga terdesak ke dinding halaman, sehingga pada suatu saat, terasa punggungnya menyentuh dinding batu itu.

"Ha ha ha....!!" Tiba-tiba Naga Pasa tertawa "Sekarang, kau tidak akan dapat menghindar lagi, sebentar lagi, nyawamu akan terpisah dari tubuhmu, sekali lagi, aku bertanya kepadamu, pesan apakah yang akan kau sampaikan sebelum kau mati?"

Panji Sura Wilaga mengeram, tetapi ia tidak menjawab sama sekali, ia harus berpikir bagaimana dapat melepaskan diri dari bencana yang sudah membayang di pelupuk matanya itu. Jika serangan dari kedua orang itu dating bersama-sama, maka ia tidak akan dapat berbuat banyak, karena punggungnya sudah terasa menyentuh dinding batu.

"Kenapa kau diam saja" bertanya Naga Pasa "Ini adalah kesempatanmu yang terakhir"

Panji Sura Wilaga masih tetap membisu, tetapi ia benar-benar tidak melihat lagi jalan untuk keluar dari kesulitan itu. Namun demikian, Panji Sura Wilaga bukan seorang pengecut, ia tidak akan merengek minta belas kasihan kepada lawan-lawannya. Apapun yang akan terjadi atas dirinya, ia akan menggenggam senjatanya, mati dengan senjata ditangan baginya adalah kematian yang paling terhormat bagi seorang laki-laki.

Naga Pasa dan Gagak Wereng telah mempersiapkan dirinya untuk meneyerang bersama. Serangan yang terakhir kalinya dan yang akan menentukan kematian lawannya. Sepasang senjata dan sebuah senjata berujung rangkap, telah siap terayun dan mematuk pada tubuh yang sudah melekat pada dinding batu itu.
Tetapi pada saat yang paling tegang bagi Panji Sura Wilaga itu, tiba-tiba halaman istana kecil itu telah digetarkan oleh suara tertawa yang berkepanjangan. Suara tertawa yang terlontar dari atas dinding batu tepat diatas Panji Sura Wilaga berdiri.

Semua orang berpaling kearah suara itu. Dalam kegelapan, yang nampak hanyalah sebuah bayangan hitam. Bayangan seseorang yang berdiri tegak diatas dinding batu dengan kepala tengadah dan tangan bertolak pinggang.
Dengan demikian maka perkelahian yang terjadi di halaman itu seakan-akan telah terhenti. Masing-masing dengan heran bertanya-tanya di dalam hati, siapakah orang yang berdiri diatas dinding batu itu.

Kumbara yang sedang bertempur dengan Kuda Rupaka dengan marah menggeram "He, siapakah kau ?, dan apakah maksudmu mengganggu permainan kami ?"

Orang itu tidak segera menjawab, tetapi suara tertawanya masih saja menggema. Panji Sura Wilagapun telah dicengkam oleh keragu-raguan. Ia tidak tahu pasti, siapakah orang yang berdiri diatas dinding batu itu, dan apakah maksudnya. Jika orang itu kawan kedua lawannya, maka ia akan dengan mudah sekali meloncat dam menikam tengkuknya, sementara ia berusaha menangkis dan menghindari serangan kedua lawannya.

Karena itu, maka dengan ragu-ragu uapun bertanya "Siapakah Kau ?"

Bab 7
"Raden Kuda Rupaka dan Panji Sura Wilaga, aku bukan sanak dan kadangmu, tetapi aku tidak ingin melihat kalian mati di halaman rumah ini" Jawab orang itu.

"He...!!, siapakah kau" teriak Naga Pasa.

"Mungkin niatku untuk menyelamatkan Raden Kuda Rupaka dan Panji Sura Wilaga bukannya niat yang jujur pula, tetapi bagiku, lebih baik aku membantu kalian saat ini dan membinasakan ketiga iblis itu, baru kemudian, mungkin akan timbul persoalan antara kita masing-masing"

"Gila..!!" geram Kumbara "Siapa kau he..!!"

"Mungkin aku mempunyai maksud yang sama dengan iblis-iblis ini, mungkin pula dengan Raden, tetapi itu tidak penting, yang penting ketiga iblis ini harus dibinasakan"

"Persetan..!!" geram Naga Pasa "Turunlah, jika kau ingin dicincang pula disini"

"Tentu tidak, aku melihat perkelahian ini dari sela-sela pintu regol, aku melihat Raden Kuda Rupaka memiliki kemungkinan lebih baik dari iblis itu, sedang Panji Sura Wilaga tentu akan dapat menyelamatkan dirinya, jika ia berkelahi seorang lawan seorang, dengan demikian, maka aku akan mengambil salah seorang dari kedua lawan Panji Sura Wilaga agar Panji Sura Wilaga tidak terbunuh di halaman rumah ini"

"Gila..!!" Panji Sura Wilagapun menggeram "Siapa kau He..!!"

Orang itu tertawa lagi, katanya disela-sela suara tertawanya "Maaf Raden Kuda Rupaka, mungkin aku telah menyinggung sifat kesatriamu, tetapi aku tidak dapat mengingkari kenyataan ini. Panji Sura Wilaga tidak akan mampu melawan dua orang sekaligus, bukan karena Panji Sura Wilaga ilmu kanuragannya lemah, tetapi ia sedang melawan dua orang yang dengan licik mengeroyoknya, itu tidak adil. Aku akan mencoba membuat perkelahian menjadi adil, jika Raden Kuda Rupaka atau Panji Sura Wilaga sudah berhasil membunuh lawannya, maka aku akan menininggalkan gelanggang dan menyerahkan lawanku kepada salah seorang dari kalian yang bebas dari lawan"

"Bagaimana jika kau terbunuh?" geram Raden Kuda Rupaka.

"Itu adalah nasibku, aku akan mati disini, tetapi namaku akan tetap kau kenang sepanjang umurmu"

"Siapa namami ?" tiba-tiba Kuda Rupaka bertanya.

Orang itu tertegun sejenak, namun iapun tertawa, katanya "Aku tidak punya nama"

"Persetan" desis Naga Pasa "Marilah, kau akan paling cepat mati, setidak-tidaknya, kau akan menjadi cacat"

Orang itu tertawa, jawabnya "Maksudmu seperti Kasdu anak Karangmaja itu ? Aku bukan anak Karangmaja, aku memiliki penawar racun yang bagaimanapun juga tajamnya, kau tidak percaya ?"

"Jadi kau yang mengobati anak Karangmaja itu ?" dengan serta merta Raden Kuda Rupaka berteriak.

"Bukan, bukan aku" jawab orang itu sambil tertawa.

"Gila..!!" geram Kumbara "Jadi anak Karangmaja itu sudah diobati..."

"Ya...., tetapi bukan aku, meskipun aku mempunyai cula kumbang kuning bermata berlian"

"Gila... !!" hampir bersamaan orang-orang yang ada di halaman itu menggeram "Kau datang dari kaki gunung Semeru ?".

Orang yang berdiri diatas dinding itu tertawa lagi, katanya "Apakah hanya di kaki gunung Semeru saja yang terdapat kumbang kuning bermata berlian"

"Ya..." sahut Kumbara "Kami tahu, bahwa yang kau maksud bukan sebenarnya kumbang. Tetapi kuning bermata berlian adalah lambang perguruan Kumbang Kuning pimpinan Ajar Sokanti"

"Ooo... kau mengenal nama Ajar Sokanti yang hidup seratus lima puluh tahun yang lalu seperti nama pemimpin perguruan Guntur Geni yang diabadikan sampai sekarang?, bukankah yang disebut Kiai Sekar Pucang sekarang ini sama sekali bukan Kiai Sekar Pucang pendiri perguruan Guntur Geni? Ternyata dari arah perkembangan perguruan Guntur Geni itu sendiri. Nah, aku ingin bertanya, apakah kira-kira Kiai Sekar Pucang akan dapat tertawa melihat kalian pada malam hari seperti ini dengan bengis menakut-nakuti seorang perempuan di istana kecil ini?. Tentu tidak, Kiai Sekar Pucang yang sebenarnya tentu akan sangat berprihatin, bahkan mungkin akan membunuh diri"

"Tutup mulutmu" teriak Kumbara "Kau sama sekali tidak mengenal kami, kau tidak mengenal tugas kemanusian yang sedang kami lakukan sekarang ini"

Orang diatas dinding itu tertawa semakin keras, katanya "Tugas kemanusiaan yang mana yang akan kau lakukan disini, sudahlah anak-anak Guntur geni, marilah kita bermain-main, jika kalian menyangka aku datang dari perguruan Kumbang Kuning di kaki gunung Semeru, nah, kita disini telah berkumpul bersama-sama Perguruan Guntur Geni, Perguruan Cengkir Pitu yang mengalir dari sumber yang sama. Kemudian perguruan yang kau sebut Kumbang Kuning, tetapi ketahuilah, bahwa sebenarnaya aku tidak datang dari perguruan Kumbang Kuning yang dipimpin oleh Ajar Sokanti, meskipun aku berhubungan erat dengan perguruan itu"

"Persetan, aku tidak peduli dari mana kau datang, yang penting, kaupun harus dibinasakan sekarang ini" teriak Naga Pasa.

"Baiklah" bekata orang yang berada diatas dinding batu itu "Akupun sudah jemu berbicara" Ia berhenti sejenak lalu "Panji Sura Wilaga, jangan tersinggung jika aku akan berada di sebelahmu"

Panji Sura Wilaga tidak menyahut, iapun kemudian bergeser setapak. Tetapi geraknya itu seolah-olah telah merupakan aba-aba bagi kedua lawannya yang tiba-tiba saja telah mempersiapkan ujung senjata untuk menerkam.

Agaknya Naga Pasa dan Gagak Wereng tidak menyia-nyiakan setiap kesempatan, dengan sebuah teriakan nyaring, Naga Pasa meloncat menyerang Panji Sura Wilaga yang berdiri termangu-mangu, sementara bayangan orang yang tidak dikenal itu masih berada diatas dinding.

Panji Sura Wilaga berdesir melihat serangan itu, namun ia tidak dapat tinggal diam, dengan sigapnya ia bergeser sambil menangkis serangan Naga Pasa yang dahsyat itu.
Tetapi dengan demikian ia kehilangan pengamatannya atas Gagak Wereng, jika pada saat yang bersamaan Gagak Wereng meloncat menyerang pula, ia akan kehilangan semua kesempatan untuk bertempur lebih lama lagi.

Dalam pada itu, sekilas ia melihat Gagak Wereng sudah mulai bergerak, tetapi ia tidak melihatnya apa yang dilakukan kemudian. Karena ia harus memusatkan perhatiannya kepada serangan Naga Pasa.

Barulah kemudian Panji Sura Wilaga menyadari, bahwa serangan Gagak Wereng, yang seharusnya telah mengakhiri perlawanannya itupun telah dipotong oleh orang yang berdiri diatas dinding batu itu. Sambil meloncat ia menangkis serangan senjata yang berujung rangkap di tangan Gagak Wereng, sehingga Gagak Wereng tidak berhasil menyentuh tubuh Panji Sura Wilaga, dan bahkan kemudian meloncat surut.

"Gila..." geram Gagak Wereng "Jadi kau benar-benar ikut mencampuri persoalan ini"

Orang itu tidak menjawab, tetapi dialah yang kemudian yang menyerang dengan sengitnya. Gagak Wereng terpaksa meloncat surut, baru kemudian ia dapat menempatkan dirinya dalam perlawanan yang mapan.
Sementara itu, Naga Pasa masih bertempur dengan serunya melawan Panji Sura Wilaga, namun karena kemudian ia harus bertempur sendiri, maka keseimbangannyapun segera berubah. Panji Sura Wilaga mendapat kesempatan untuk menarik nafas. Ia tidak lagi merasa terus menerus didesak kesudut halaman, sehingga disaat terakhir ia harus melekat dinding batu dan hampir saja kehilangan kesempatan untuk tetap hidup.

Dalam pada itu, Kumbarapun menjadi semakin marah, dengan demikian berarti tugasnya akan menjadi semakin panjang, Naga Pasa dan Gagak Wereng tidak lagi dapat bertempur bersama-sama untuk dalam waktu yang lebih singkat, membunuh Panji Sura Wilaga. Karena itu, maka iapun kemudian memusatkan perkelahian itu pada diri sendiri, ia harus dapat membunuh lawannya dengan cepat. Sehingga ia akan dapat membantu salah seorang kawannya membunuh lawannya.

Sambil berteriak nyaring, Kumbarapun segera mengulangi perkelahiannya melawan Kuda Rupaka, namun Kuda Rupaka telah menjadi semakin tenang. Meskipun kehadiran orang yang tidak dikenal itu dapat menimbulkan persoalan-persoalan baru, tetapi persoalan itu akan dapat diselesaikannya kemudian.

"Jika perlu, seteleh ketiga iblis itu mati, maka orang itupun harus disingkirkan pula" desis Kuda Rupaka "Jika tidak, maka ia akan menjadi pengganggu istana ini, untuk selanjutnya. Mungkin ia akan memeras atau seolah-olah ia adalah pahlawan yang menuntut imbalan" Tiba-tiba saja Kuda Rupaka telah mengenang meskipun hanya hanya sekilas, Inten Prawesti.

"Apakah orang itu mempunyai maksud-maksud tertentu terhadap diajeng Intan Prawesti ?" tetapi ia tidak sempat bertanya-tanya lebih jauh, ia harus memusatkan diri pada perkelahian yang menjadi semakin seru itu.

Dalam pada itu, setelah bertempur beberapa saat, Gagak Werengpun merasa, bahwa lawannya ternyata memiliki kemampuan yang lebih tinggi dari padanya, dalam waktu yang pendek iapun segera terdesak. Senjatanya yang garang itu todak banyak dapat menyerang apalagi menembus pertahan senjata lawannya. Senjata yang tidak lebih dari sepotong rantai yang tidak begitu panjang.

"Gila.." desis Gagak Wereng didalam hati "Rantai yang berputar itu seolah-olah menjadi perisai baja yang tidak dapat disusupi oleh ujung duri yang paling runcing sekalipun"

Baik Kumbara maupun Naga Pasa melihat, bahwa Gagak Wereng segera terdesak surut. Bahkan sekali-kali ternyata senjata lawannya telah hampir berhasil menyentuh tubuhnya.

"Aku tidak biasa membunuh orang" berkata orang yang telah ikut dalam pertempuran itu "Tetapi dalam keadaan seperti ini, aku kira membunuh bukannya suatu kesalahan"

"Persetan...!!" geram Gagak Wereng yang mencoba mengerahkan segenap kemampuan yang ada pada dirinya.

"Ki Sanak" berkata orang itu, "Apa boleh buat, jika aku tidak membunuhmu, maka akibatnya tentu akan berkepanjangan. Jika kemudian ada kawanmu yang dapat lolos dalam keadaan hidup, biarlah ia mengatakan bahwa salah seorang kawannya telah mati terbunuh di Karangmaja oleh orang yang memiliki ciri perguruan Kumbang Kuning. Tetapi aku bukan murid perguruan Sokantil itu"

Gagak Wereng tidak menjawab, serangannya bertambah dahsyat. Tetapi perlawanan orang yang tidak dikenal itupun menjadi semakin sengit. Bahkan rasa-rasanya, bagaikan banjir yang sudah mulai menggoyahkan tanggul. Dan kemudian ternyata, kemampuan orang itu tidak terlawan lagi oleh Gagak Wereng, ujung rantainya rasa-rasanya semakin lama semakin dekat dengan tubuhnya, bahkan pada suatu saat, terasa ujung rantai itu bagaikan lalat yang mulai hinggap ditubuhnya.

"Gila" geram Gagak Wereng "Orang ini benar-benar memilki kemampuan perguruan Kumbang Kuning"

Namun Gagak Wereng tidak sempat memujinya lebih banyaklagi, karena terasa ujung rantai itu menyengatnya lagi, maka bukanlah sekedar suatu sentuhan saja, kulitnya mulai terasa pedih karena tergores luka yang mulai menganga.
Terdengar orang itu tertawa "Kau tidak akan mampu berbuat banyak. Sebaiknya kau menghentikan perlawananmu. Aku tidak akan membunuhmu"

"Persetan..!!" geram Gagak Wereng, kemarahannya bagaiakan membakar jantungnya, namun sejalan dengan itu, iapun merasa bahwa umurnya sudah berada diujung rambutnya.

Sementara itu, pertempuran antara kedua kawannya manjadi semakin sengit. Agaknya semakin lama menjadi nyata, bahwa murid perguruan Cengkir Pitu masih memiliki kelebihan dari anak Guntur Geni, ternyata bahwa Panji Sura Wilaga dan Raden Kuda Rupaka sudah berhasil menguasai lawannya sebaik-baiknya. Naga Pasa yang garang itupun sudah hampir kehilangan akal melawan Panji Sura Wilaga yang cepapt dan cekatan. Apalagi setelah ia kehilangan seorang lawannya yang kemudian bertempur dengan orang yang tidak dikenalnya.

Yang paling mengalami kesulitan sebenarnya adalah Gagak Wereng, ia sadar lawannya mempunyai banyak kelebihan dari padanya. Tetapi ia sendiri merasa heran, bahwa ia tidak segera kehilangan nyawanya. Namun tubuhnya semakin lama semakin lemah. Bahkan kemudian ia sama sekali tidak mampu lagi untuk melakukan perlawanan apapun juga. Darahnya semakin banyak mengalir dari luka-lukanya dan nafasnya serasa telah menyumbat kerongkongan.

Meskipun demikian, ia merasa bahwa ia masih tetap hidup. Orang yang tidak dikenalnya itu justru tidak lagi memusatkan serangannya pada bagian tubuhnya yang berbahaya. Bahkan ketika ia sudah tidak mempu berbuat sesuatu, maka lawannya berhenti pula sambil menggeram "Apakah kau menyerah"

"Gila..!!, aku tidak akan menyerah kepada siapapun juga" sahut Gagak Wereng. Yang terdengar adalah suara tertawa orang yang tidak dikenal itu mendekati lawannya sambil berkata "Mengangkat senjatamu yang mengerikan itupun kau sudah tidak mampu lagi, bagaimana kau akan melawanku"

Gagak Wereng menggeretakkan giginya, ia masih menghentakkan kekuatannya untuk mengangkakt senjatanya. Namun ketika ia mengayunkannya dan tidak mengenai sasarannya, justru ia terdorong selangkah maju dan jatuh terlungkup.

"Beristirahatlah, aku merasa bahwa tugasku sudah selesai. Kau akan tetap hidup dan akan ditangkap oleh kedua bangsawan itu. Mungkin kau akan dibawa ke Demak atau ke tempat lain atau keputusan apapun yang akan mereka ambil"

Gagak Wereng masih akan menjawab, namun tiba-tiba saja lawannya telah meloncat mundur. Beberapa saat ia mengamati pertempuran itu, kemudian dengan lincahnya ia meloncat naik keatas dinding batu itu sambil berkata "Aku minta diri. He..!! Raden Kuda Rupaka dan Panji Sura Wilaga. Silahkan menyelesaikan tugas kalian, aku sudah mencoba membantu kalian"

"Kau akan kemana ?". bertanya Raden Kuda Rupaka.

"Aku akan kembali ke sarangku, aku adalah hantu malam yang berkeliaran didalam gelap. Jika ayam mulai berkokok, aku harus sudah berada kembali ke sarangku yang tersembunyi, diatas pepohonan yang rimbun"

"Gila..." geram Kumbara yang tidak memburu Kuda Rupaka "Kau licik, jika kau jantan, tunggulah setelah aku membunuh bangsawan kerdil ini"

Tetapi orang orang berdiri diatas dinding itu tertawa "Jangan berharap kau dapat memenangkan pertempuran itu. Semuanya sudah nampak padaku, bahwa kau hanya akan dapat menyebut nama orang tuamu sebelum ajalmu sampai. Kecuali jika Raden berhati putih, dan memberi kesempatan hidup kepadamu, meskipun kau harus diserahkan kepada para prajurit"

"Tidak ada bedanya" geram Kuda Rupaka "Ditangan prajurit ia akan dibunuh"

"Itu bukan persoalanku. Sekarang aku akan pergi. Hantu-hantu sudah memiliki jalan pintu gerbang. Aku lebh senang meloncati pagar. Dan selamat menyabung nyawa"

bersambung

;4(xΦo2r

ISTANA YANG SURAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang