Chapter 1

142 9 11
                                    

Chap ini di remake.. silahkan baca kembali.
Things are different here, hope you'll like it.

######  #####  #####  #####

"Tak adakah pembicaraan lain, ayah?" Sausan memotong pembicaraan, sementara tangannya menyendokkan nasi ke piring.

Ayahnya, Ramon Ferdinan, menatap Sausan beberapa saat. Matanya yang tajam itu beberapa kali membuat bawahannya bersegera menunduk karena takut, tapi Sausan selalu melihat mata ayahnya sebagai mata terdamai yang pernah ada. Terlalu banyak kasih sayang yang ditumpahkan pada tatapan itu, sehingga siapapun tahu bahwa Ramon menyayangi anak perempuan satu-satunya itu.

"Baiklah, baiklah," ujar sang ayah sebelum menengguk kopi hangatnya.

Sausan memutar matanya bosan, sementara ayahnya tersenyum memaksa lalu mulai menyuapkan nasi ke mulutnya.

"Kuliahmu baik?" tanya ibunya, Esmeralda, sementara tangannya sibuk menyiapkan sesuatu di atas kompor.

"Ya, seperti biasa," sahut Sausan.

Ruang makan dan dapur memang hanya dipisahkan oleh tembok berlapis keramik setinggi 1,2 meter, itu sebabnya ibu Sausan tak pernah tertinggal pembicaraan meski masih memasak. Sebenarnya dekorasi tembok itu tidak disengaja. Dulu ibunya sering kali meninggalkan dapur dengan kompor yang masih menyala. Akibatnya, beberapa wajan dan panci menghitam, dan tembok dapur terlihat seperti gua. Puncaknya saat Sausan berumur 5 tahun, ibunya memasak air dan memanaskan sayur, tapi kemudian dua temannya datang dan mereka terhanyut dalam obrolan ibu ibu. Kedua panci itu terbakar, tembok sekitar kompor benar benar menghitam, sementara apinya mencapai atap. Satu satunya hal yang membuat ibu Sausan tersadar adalah panggilan ayah Sausan dari lantai atas yang menyebutkan tentang asap. Ya, ruang tamu terlalu jauh dan ibu Sausan memiliki bar kecil untuk minum didekat ruang tamu, jadi Ia tidak perlu pergi ke dapur untuk membuatkan temannya minum. Sorenya, ayah Sausan langsung memanggil beberapa pekerja dan memutuskan untuk merenovasi ulang dapur dan ruang makan.

"Kau harus menemaniku setelah kuliah," katanya lagi.

"Selalu, ma'am," jawab Sausan sambil menelengkan kepalanya, berusaha menunjukan bahwa Ia sudah tahu.
Ayahnya mengambil remote tv dan memencet tombol merah, membuat televisi berukuran sedang di seberang ruangan menyala.

Setelah renovasi ulang, Ramon memutuskan untuk membagi dapur menjadi tiga ruangan yang berbentuk 'L'. Sebuah ruangan dengan dua jenis kompor-listrik dan gas-, sebuah microwave besar, kulkas besar, wastafel, dan beberapa meja tambahan menjadi bagian yang hanya dimasuki oleh Esmeralda. Ruangan itu berhadapan dengan ruang makan, hanya dipisahkan oleh tembok 1,2 meter tadi dan sebuah pintu koboi dari kayu berukiran bunga. Sementara ruang makan hanya berisi satu set meja makan berkursi enam dan beberapa lemari kayu berukiran bunga dengan gelas dan piring antik didalamnya. Ruang makan itu bersebelahan dengan sebuah ruangan kecil dengan satu set sofa kecil dan televisi. Bukan tembok atau pintu yang memisahkan ruangan itu dengan ruang makan, tapi tiga anak tangga keramik yang dilapisi karpet coklat muda.

"Oh, kau 48 tahun dan itu yang menjadi tontonan pagimu?" keluh Esmeralda begitu melewati pintu koboi dengan dua tangan yang memegangi piring berisi roti lapis.
"Well, I will never too old to watch spongebob" jawab Ramon terkekeh. Sausan menahan tawa.

Esmeralda menggumam kesal sambil melepas celemeknya dan menggantungnya di ujung ruang makan. Kedua tangannya memukul mukul pelan blus biru mudanya saat ikut bergabung di meja makan.

"Anak SD akan tertawa jika kuberitahukan pada mereka tentang polisi hebat yang mempunyai kebiasaan 'menonton spongebob di pagi hari'," lanjut Esmeralda.

"Seriously," kata Sausan sambil menahan tawa "Ayah hanya menunggu program berita setelahnya, buu...."

Sausan tertawa, Ramon terkekeh pelan, matanya masih menuju pada televisi yang kini beralih pada program berita. Sementara Esmeralda menuangkan nasi pada piringnya, berusaha terlihat sibuk.

Lazar Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang