Part 2

28.7K 1.4K 16
                                    

Aku menghela nafas untuk kesekian kalinya, menetralkan detak jantung yang berdetak tidak normal sejak peristiwa di perpustakaan tadi. Wajah oriental dengan darah italia melekat padanya, masih membayang dalam benakku. Rasanya sulit sekali melupakan sosok itu. Aku tidak munafik, wajahnya yang tampan, hidung mancung, dengan alis tebal di lengkapi mata tajam menyempurnakan rupanya yang bak dewa yunani. Dan dibungkus oleh kulit coklat yang terlihat jantan. Dengan semua kesempurnaannya maka tak pelak banyak gadis-gadis yang mengaguminya baik secara sembunyi-sembunyi ataupun terang-terangan.

Sikapnya yang dingin dan cuek pada sekitarnya, justru membuat para siswi tertarik mengorek sisi kehidupannya yang tak pernah di ketahui oleh siapapun. Dan meruntuhkan dinding es yang membekukan hati Sang Pangeran. Tapi sampai sekarang tak ada yang mampu menghancurkan bahkan menyentuhpun tidak. Dirinya menjadi sosok yang misterius. Bahkan Calista siswi terfavorit di SMA ini, memiliki wajah cantik dan otak encer saja, hanya di abaikan saat wanita ini berjuang meluluhkan hatinya. Lalu bagaimana dengan yang lain yang hanya memiliki wajah standar dan IQ yang dibawah Calista.

Entah kenapa aku memikirkannya, padahal belum tentu sosok itu memikirkanku. Apa yang terjadi dengan otakku sih?

Hatiku menjadi risau dan pikiranku berkelana ke dunia angan tanpa batas. Aku membayangkan diriku berada di sampingnya, ketika mataku menatap Calista yang duduk di deretan bangku depan. Seketika hatiku mencelos dan anganku terhempas jatuh kebawah menjadi kepingan-kepingan tak berharga. Aku tersadar, diriku hanyalah seorang upik abu jika disandangkan pada Lano yang seperti pangeran memakai zirah bersulam emas dengan butiran-butiran berlian menghiasi pinggirannya. Begitu jauh perbedaan antara aku dan dia, bagai bumi dan langit. Yah, peribahasa yang sering aku dengar. Aku harus memangkas perasaan ini ke akar-akarnya dan tak membiarkan rasa ini tumbuh dan berkembang dalam dada.

"Rain Akemi" panggilan dari Ibu Guru Vina berhasil mengembalikanku ke alam nyata. Aku meringis ketika mendapati semua pasang mata di kelas ini tertuju padaku. Beragam ekspresi tampak di raut wajah mereka, sudah jelas pasti raut marah atau jengkel melihat diriku. " Tolong perhatikan penjelasan ibu"

"Baik, bu" kemudian Bu Vina menjelaskan rumus-rumus yang ada di papan tulis putih itu dan menjelaskan bagaimana penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari. Sudah tentu aku hanya mengamati tanpa bisa mengerti, karena sekeras apapun aku belajar otakku malah pusing dan bertambah lupa.

"Mencari perhatian, huh"

"Dia memang begitu, mentang-mentang Ibu Vina itu baik. Dia mau memanfaatkan kebaikannya dengan muka melasnya itu, demi meraup nilai. Cih..."

"Ck, ck, ck mungkin karena dia bodoh. Hahaha...."

"Kenapa sekolah kita ada murid seperti dia?"

"Entah, aku pun muak melihat tingkahnya yang selalu terlihat lemah itu"

Bisik-bisik itu lagi, rasanya sudah kenyang mendengar semua cibiran yang mengarah padaku. Tapi apa daya, aku tak bisa berbuat apa-apa. Keputusan terbaik adalah diam dan menganggap semua cemoohan itu adalah angin lalu.

*****

Suap demi suap berhasil masuk dalam perutku. Dilatarbelakangi pemandangan indah dan menyejukkan hati. Dimana pot-pot bunga berderet di kanan-kiri jalan setapak yang menuju ke taman ini. Taman belakang sekolah yang jarang disinggahi oleh murid-murid Taruna Bangsa. Mereka lebih suka di ruang komputer yang merupakan salah satu fasilitas sekolah atau ke kantin mengisi perut yang keroncongan saat jam istirahat begini.

Berbeda denganku yang lebih menyukai suasana tenang, duduk sambil memakan bekal dibawah rindangnya pohon menjadi kegiatanku saat ini. Lagipula jika dipikir-pikir untuk apa aku pergi ke kantin atau ke tempat yang ramai misalnya, palingan aku akan diabaikan, dicibir atau mendapatkan pandangan merendahkan. Dan aku ke sini juga ada alasan, aku sedang berusaha bersembunyi dari seseorang. Karena orang inilah yang membuat semua murid di sekolah ini membenciku dan merendahkanku.

Aku adalah salah satu murid yang di bully oleh senior terfavorit di SMA ini. Berawal dari sebuah ketidak sengajaan hingga menimbulkan konflik yang amat seru di perbincangkan oleh tukang-tukang penggosib, dalam sekejab menyebar ke seluruh antero sekolah. Kejadian berawal di kantin, waktu itu aku tidak sengaja menumpahkan es coklat yang ku pesan pada pengurus kantin. Saking tak ingin membuat es itu tumpah, aku tak memperhatikan jalan dan pandanganku hanya terpaku pada riak air coklat dalam wadah yang ku genggam. Hal hasil aku menabrak seseorang dan parahnya orang ku tabrak adalah salah satu senior beken di sekolah ini.

Es itu tumpah mengenai bajunya, menciptakan noda hitam yang amat susah di hilangkan. Aku meminta maaf berulangkali namun tak dihiraukan, ia malah menyuruhku membersihkannya dengan cara menjilat. Dikira saya anjing apa? Aku langsung menolaknya dengan keras. Orang-orang mulai banyak mengerumuni kami. Mungkin karena takut kehilangan pamor di antara fans-fansnya dan jika ia mengalah membuat adik kelasnya tidak takut lagi dengan senior. Ia menyiramku dengan jus lemon yang ada di meja samping kami, perbuatannya menyebabkan amarahku meroket dengan cepat. Tanpa ba-bi-bu aku mengambil apa saja yang ada di dekatku, setelah tanganku menggenggam sesuatu tanpa melihat terlebih dahulu aku menuangkan kuah mangkuk ke dadanya yang tertutupi baju.

Reaksi ganjil malah yang ku dapati, ia tampak meniup-tiup dadanya seperti kepanasan.

Dengan raut marah, ia berteriak padaku "Apa yang kau tuangkan, Hah?!!"

Aku menoleh kebelakang tempat dimana mangkuk ini ku ambil. Meja yang berada di sebelah kananku tampak diisi seorang cewek dengan kaca mata tebal membingkai matanya yang bulat. Ia menoleh ke arahku dengan bulir-bulir keringat di pelipisnya sambil menatapku kesal. Mungkin karena makanannya kuambil secara paksa.

Aku meringis, " maaf... Kira-kira kau menuangkan apa saja di dalam baksomu?"

"Kau tidak lihat keringatku ini? Tentu saja sesendok cabe. Lagi pula kenapa kau merebut makananku?" gadis itu menoleh ke belakang punggungku sontak punggungnya langsung tegak lalu ia melirikku. Seakan menyadari sesuatu, ia cepat-cepat bangkit tak lupa meletakkan selembar uang sepuluh ribu diatas meja.

Matilah aku....

Tanda peringatan berdering di tempurung kepalaku. Ku amati lagi cowok ini yang tengah membuka kancing bajunya satu persatu, suara histeris para cewek-cewek yang menyaksikan pemandangan menakjubkan yang hanya sekali di lihat seumur hidup, terdengar memekakkan telinga. Kerumunan yang mulai membanyak, ku manfaatkan sebagai aksi melarikan diri.

Hanya satu yang ku harap semoga ia tidak ingat aku.

*****

Terima kasih telah membaca ^_^

Give me vote and comment, please?

Diary Of Rain [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang