he's my Pianist

131 14 30
                                    

Banyak yang bilang perempuan itu adalah makhluk yang kuat. Di mana ketika hatinya sedang retak bagaikan kaca yang bila disentuh akan hancur berkeping-keping, dia masih mampu tersenyum manis di depan semua orang.

Yah kurasa memang benar. Banyak yang sudah kuketahui tentang kehidupan ini yang lalu kutorehkan ke dalam rangkaian kata-kata yang semu.

Aku Maya Putri. Pekerjaanku hanyalah belajar dan menulis di kala waktu senggangku. Ini kisahku. Kisah di mana aku jatuh cinta padanya. Jatuh cinta akan dirinya dan musik yang dia mainkan.

Padanya yang seorang pianis muda. Aku melihatnya di kala sedang menonton sebuah orkestra yang diadakan dikota ini.

Ini sungguh indah. Dengan baju hitam formalnya yang nampak dijahit khusus untuknya.

Dari sinilah aku mulai mengaguminya. Men-stalk account sosial medianya dan ketika aku mengetahui bahwa sahabatku dekat dengannya itu tentu saja membuatku bahagia.

Namun, suatu kenyataan pahit harus kuketahui bahwa dia menyukai sahabatku itu. Disinilah aku. Hanya menjadi pendengar ketika dia menceritakan perasaannya pada sahabatku kepadaku. Ingin rasanya aku menangis. Namun, ah sudahlah. Toh dia juga tidak peduli padaku. Yang bisa kulakukan hanya tersenyum dan merespon ramah semua ceritanya.

Aku juga seorang perempuan pengidap Leukimia. Dimana hidupku hanya berkisar 3-5 bulan saja kedepannya.

Semakin hari tubuh ini tampak lemah. Kedua kakikupun seakan ringan seperti kapas. Mereka seakan menolak untuk menopang tubuh mungilku. Rambut panjangku yang dulu indah kini semakin menipis. Bahkan tubuhku semakin kurus bak tulang kerangka diLab. Biologi sekolahku berada.

Malam ini kulihat langit begitu hitam dari celah jendelaku yang terbuka. Burung-burung tampaknya enggan menyanyikan lagu malamnya. Tanpa kusadari smartphoneku bergetar pertanda ada pesan masuk.

Rafael : May, loe tahu gak Bunga kemana? Gue bbm kok hapenya gak aktif sih.

Aku hanya tersenyum kecut. Kadang ingin rasanya aku berteriak pada dia bahwa aku disini menunggunya. Menunggu dia akan melihatku dan menganggapku lebih dari seorang teman. Namun aku tidak bisa mengatakan semua itu. Biarpun hati ini sakit. Tapi sebisa mungkin aku harus menahannya.

Maya : Gue gak tahu. Soalnya tadi gak bareng Bunga pulangnya.

Rafael : Oh ya udah, ntar kalo ketemu bilang ya.

Maya : Hm.

Pesan terkirim dan aku langsung melempar hpku kesisi lain ranjang yang sedang aku tiduri ini.

'Kapan sih El. Loe bisa melihat gue. Melihat bahwa gue disini peduli pada loe. Bahwa gue di sini menunggu loe. Gue mohon tatap gue. Tatap mata gue. Tatap hati gue sebelum gue pergi. Gue mohon' batinku terisak.

***

pagi ini sudah memasuki bulan kelima. Berarti tinggal satu bulan ini. Kuharap aku bisa melewatinya bersamanya.

Kini tubuhku sudah lemah tak berdaya. Yang bisa kulakukan hanya berbaring. Alat medis banyak terpasang ditubuhku. Bahkan untuk bernafaspun aku harus membutuhkan bantuannya.

Rambutku sudah botak tak berhelai satupun. Kakiku sudah mati rasa dan tak bisa digerakkan lagi. Yang bisa kulakukan hanya berdoa.

Hari ini Bunga datang menjengukku di rumah sakit. Dia selalu datang menemaniku disini. Dia memang sahabatku. Dan aku rela melepaskan dia demi kebahagiaan Bunga.

"May, Gue mau ngomong sesuatu sama loe," ucapnya nenatapku serius. "Mau ngomong apa emang? Loe ditembak El ya?" tebakku dengan sedikit tertawa. Aku memang tertawa tapi hatiku menangis.

My PianistTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang