05.04.2002
Baik aku maupun Daeyeong sama-sama berusia tiga belas tahun. Tak ada yang istimewa dari merayakan hari ulang tahun, paling hanya makan malam bersama dengan hidangan super banyak. Aku suka tteokbeokki buatan ibu Daeyeong. Sedangkan anak itu suka semua makanan yang dimasak nenekku. Perutnya sungguh muat banyak.
Oh, apakah aku lupa mengatakan? Kami mempunyai tanggal lahir yang sama. Tanggal empat, bulan april, tahun seribu sembilan ratus delapan puluh sembilan. Aku tidak menyangka di tahun yang sama, dua bayi lahir bersamaan di hari yang sama. Dan kini mereka sedang berjalan ke sekolah bersama-sama.
"Jane-ah, lepas saja sepatumu. Itu akan kotor terkena pasir." Daeyeong berjalan cepat menghadang jalanku kemudian langsung berlutut dan menarik sepatu yang kukenakan. Aku berteriak ketika keseimbanganku hilang.
"YA! Kau ini apaan sih--AGH!" Aku jatuh ke pasir lalu segera berdiri dan merasakan pantatku sedikit sakit membuatku reflek menendang seseorang yang menyebabkan diriku jatuh. Kini Daeyeong jatuh ke pasir, namun kakiku ikut tertarik menyebabkan aku sendiri ikut jatuh ke pasir lagi. Aku berteriak ketika rambutku mulai terkena pasir, astaga kunciran kudaku sudah rapi tadi. Tapi Daeyeong malah tertawa dan mendorongku hingga berguling. Aku hampir mau mendorongnya balik untuk balas dendam namun suara lantang yang familiar membuatku tersadar dan langsung berdiri.
"YA! YA! KALIAN TIDAK BERANGKAT SEKOLAH, HAH?! MALAH BERMAIN-MAIN DISINI." Suara kakak Daeyeong, Jaeyeong, yang menggelegar membuat kami langsung bangkit dan menunduk dalam, ketakutan. Wajahnya sangar, suaranya menyeramkan, dia seperti anggota wamil yang tersesat ke desa padahal umurnya masih dua puluh tahun. Di tangannya ada jaring untuk menangkap ikan. Dia anak buah kapal ayahku.
"KENAPA TIDAK BERANGKAT SEKOLAH?!" Dia menyentak lagi.
"Daeyeong menarik-narik sepatuku sampai aku terjatuh dan berguling-guling. Lihat, rambutku jadi kotor dan seragamku penuh bercak pasir dan astaga! Tasku kotor sekal--"
"Sudah! Sudah! Dae bantu Jane membersihkan tas dan rambutnya," perintah Jaeyeong. Aku tersenyum menang kearah Daeyeong. Lelaki itu kemudian pergi menuju kapal karena suara ayahku sudah memanggil-manggilnya dari jauh.
Daeyeong membantuku membersihkan sisa pasir yang menempel di tasku. Lagipula tasnya juga kotor akan pasir. Sedangkan aku membersihkan rambut dan membenahi kunciranku yang rusak. Tapi tiba-tiba saja Daeyeong memegang kakiku dan menarik dua sepatuku hingga aku terjatuh lagi ke pasir. Aku berteriak kencang karena pantatku benar-benar sakit. Anak itu berlari mendahuluiku sambil menjinjing sepatuku. Menyebalkan!
"Jung Daeyeong kembalikan sepatuku! Kau ini kenapa, sih?!" Aku hampir saja menangis karena sumpah, aku tidak suka dijahili dan sekarang pantatku sakit.
Anak itu kembali ke arahku dan mengulurkan tangan kanannya untuk membantuku berdiri. Tapi aku tidak meraih uluran tangannya dan tetap merengut menatap wajahnya.
"Kembalikan sepatuku dulu."
"Ck, kau ini," Dia berdecak. "Sepatumu 'kan baru. Kalau kotor karena berjalan di pasir bagaimana? Lebih baik kau pakai saja di sekolah. Ayo cepat berdiri."
Aku diam sebentar, masih merengut. "Lalu aku jalan tanpa pakai alas kaki begitu?"
Dia berdecak lagi. Kupikir anak ini benar-benar tidak beres.
"Ayo kugendong." Daeyeong memindahkan tasnya ke depan badannya. Membayangkan tubuh kurus dan kecilnya menggendongku saja aku tidak bisa. Apalagi kami harus berjalan ke sekolah dan cukup jauh.
Aku menyambar sepatuku di tangannya dan memakainya cepat.
"Tidak perlu, aku pakai sepatu saja."
KAMU SEDANG MEMBACA
In the Edge
General Fiction"Apakah kau merasa kata penantian adalah sesuatu yang membosankan untuk didengar? Dan menanti adalah hal yang paling membosankan untuk dilakukan? Aku tahu, dan jawabannya benar. Tapi aku tak tahu mengapa diriku masih duduk di atas tebing seorang dir...