Part 1

18.8K 929 6
                                    

Sejenak waktu pernah merekam kita di kisah yang sama. Lalu sekejap kemudian kita kembali berjalan di kisah masing-masing.
Akankah nanti waktu kembali merajutkan kita di kisah yang sama?
Kau tak dapat membujuknya juga menolaknya. Aku pun sama.

. . .

Author pov

Seorang wanita seperempat abad dengan kacamata yang bertengger manis di wajahnya yang putih tengah sibuk mengomel di antara lalu lalang keramaian bandara Soekarno-Hatta. Dengan setengah kesal dia menyeret kopernya.

"Kau dimana?! aku sudah sejam lebih menunggumu di sini seperti orang hilang,” semburnya pada seseorang melalui ponselnya.

"Sorry May, aku lagi ketemu klien, gak bisa ditinggal ini. Aku sudah minta temanku menjemputmu, dia di perjalanan sekarang."

Wanita itu berjalan ke arah kafe bandara dengan wajah masam. Sepupunya -Raven-membuatnya dongkol. Kalau memang tidak bisa menjemput kenapa tidak bilang sejak awal. Dia kan bisa cari taksi, bukannya mondar-mandir seperti orang linglung.

"Yang perlu kau lakukan duduk manis dan menyesap kopi hangat dengan sandwich sembari menunggu, oke?"

"Aku tidak suka kopi!" katanya sambil mendaratkan diri di meja pojok dekat kaca.

"Pesan apapun yang kau suka, nanti aku ganti… "

Amaya segera mematikan sambungan ponselnya, mengakhiri sepihak obrolan dengan sepupunya itu.
Dia menghela nafas kesal. Melihat keluar kaca di sampingnya sambil mengingat lagi nasib yang membawanya pulang ke negara asalnya. Setelah tujuh tahun lebih di Sydney, kuliah kemudian bekerja di sana. Tujuh tahun kalau yang Raven bilang ia melarikan diri. Tidak sepenuhnya sepupunya itu salah. Dia memang melarikan diri kesana.
Karena apa? jangan tanya sekarang.

Kalau bukan karena perusahaan majalah tempatnya bekerja sedang mendekati kebangkrutan karena permainan saham yang dia sendiri tidak paham, dia tidak akan kembali kesini. Sebuah perusahaan majalah yang cukup terkenal di Bandung menawarinya kerjaan. Dengan gaji yang lumayan. Setelah berpikir berulang-ulang akhirnya dia menerima panggilan kerja itu dan memutuskan balik ke kampung halamannya.

Amaya setengah melamun ketika seorang laki-laki di akhir dua puluhan berdiri di depannya. Dengan kekesalan yang masih ada wanita itu menoleh dan mengamati pria di depannya yang dugaannya adalah teman Raven.

Amaya mengamati pria itu dengan teliti, seolah sedang mengoreksi kata demi kata dalam artikelnya. Celana hitam, kemeja abu-abu tua yang digulung sampai siku, jam tangan hitam di pergelangan tangannya. Dan kemudian dia naik ke atas mengamati wajah laki-laki itu. Segera wajah adonis dengan mata hitam tajam itu bertemu dengan matanya dari balik kacamata.

What the . . .

Amaya melepaskan kacamatanya, seolah memastikan penglihatannya. Ketika keduanya saling tatap beberapa saat, Amaya segera merutuk dalam hati. Kenapa dari sekian laki-laki penduduk bumi, laki-laki di depannya ini harus jadi teman sepupunya. Dan kenapa dari sekian banyak teman Raven, harus lelaki ini yang menjemputnya.

Ya Tuhan garis takdir apa yang sedang kau pilihkan untukku, batinnya. Kenapa dia harus kembali bertemu dengan tetangga flatnya yang menyebalkan waktu dia setahun kerja di Singapura dulu.

Aryan.
Naryandra Bagaskara.

‘Ohh ya ampun, kenapa aku masih mengingat namanya’

Tanpa sadar Amaya merutuk pelan.
Sejenak kemudian dia mendengar laki-laki itu berdehem pelan. Amaya segera memakai kacamatanya lagi dan berjalan ke pintu keluar bandara.

AMAYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang