Part 2

8.5K 809 12
                                    

Author POV

Rasanya begitu nyaman saat pagi hari terbangun di tempat tidurmu sendiri. Di kasur yang sudah bertahun-tahun ditempati, dengan barang-barang berserakan di kamar. Warna catnya, selimutnya, bahkan atapnya seolah mengatakan selamat pagi dengan akrabnya. Ketika tidur di tempat lain sehari saja, barulah sadar kita merindukan kasur kita dan ingin rasanya cepat pulang.

Amaya tidak tahu dimana yang bisa disebut rumah untuknya. Rumah orangtuanya di Bogor sudah dijual saat dia SMP. Tiga tahun setelah mamanya meninggal dan papanya menikah lagi lalu memutuskan tinggal di Balikpapan, tempat tinggal istri baru dan anak-anaknya yang merupakan keluarga baru papanya sekarang. Atau rumahnya di mana dia menetap setahun di Singapura. Atau selama tujuh tahun lebih tinggal di flatnya di Sydney, atau di sini sekarang ini, rumah Raven.

Jadi dimana rumah yang dimaksud itu bagi Amaya. Yang jelas selama ini dia terbiasa tinggal sendiri, tidak ada yang menelponnya kapan pulang, mengatur keuangannya sendiri dan melakukan semuanya sendiri. Tidak ada yang salah dengan itu, dia tidak pernah mau merepotkan orang lain. Dari dulu dia terbiasa mandiri. Saat kuliah dia mulai mengikuti casting iklan dan sebagai model majalah-majalah di Sydney.

Di antara wajah Kaukasoid di negara itu wajahnya yang khas Asia dan kulit putih bersih dengan rambut hitam panjang miliknya, menjadi daya tarik tersendiri. Memudahkannya mendapat Iklan produk shampoo atau facial wash. Walaupun uang dari papanya lebih dari cukup, tapi dia tidak mau bergantung dengan itu. Benar kata Raven, dia memang bukan orang yang suka bersosialisasi, temannya tidak banyak. Dia bukan orang yang ramah, sebaliknya, keras kepala, egois, galak, kata itu lebih cocok untuknya.

But fuck what people think, its my life.

Itu yang selalu menjadi prinsipnya. Kenapa orang suka sekali mengurusi hidup orang lain, menilai orang lain begitu mudahnya. Saat di mall, di jalan, atau di bus, dengan mudahnya mereka mengatakan pakaiannya terlalu norak, warna rambutnya aneh, gayanya berlebihan dan masih banyak yang lainnya.

Amaya selalu berpikir pemikiran orang itu menakutkan, berteman saja kadang membicarakan keburukannya di belakang. Sulit sekali mencari orang yang tulus berteman, bukan karena dia kaya, dia cantik, dia pintar, populer. Ada motif di balik kata teman itu. Yang jika itu hilang pertemanan itu juga akan ikut hilang bersamanya.

Tiga hari ini dihabiskannya dengan menata kamar dan membereskan barang-barangnya dari Sydney yang dikirimkannya lewat paket. Buku, baju, sepatu, barang elektronik, sampai pernak-perniknya kini sudah tertata rapi di kamar. Sekarang barulah ia sadar bahwa barangnya selama ini sama sekali tidak sedikit. Dia mengirim semua barang miliknya di flatnya Sydney ke sini. Karena mungkin dia tidak akan kembali lagi kesana. Sekarang di sini rumahnya, sampai waktu yang tidak ia tahu.

Sudah jam sepuluh dan dia belum sarapan. Dengan rambut yang diikat asal-asalan ke atas Amaya keluar dari kamarnya lalu memutuskan ke bawah. Dia jarang bertemu Raven kecuali malam sepulang laki-laki itu kerja, mereka akan mengobrol sebentar di depan TV.

Seorang wanita dengan rambut sebahu terlihat sedang sibuk di dapurnya membuat jus jeruk. Wanita itu terlihat lebih muda darinya.

"Oh, hai! kau pasti Amaya, aku Renata pacar Raven," katanya riang seraya menyodorkan tangan mengajak bersalaman.

Amaya hanya mengangguk singkat sambil menjabat uluran tangan Renata.

"Dimana Raven?" tanyanya sambil mengambil air dingin dari kulkas.

"Dia ke bengkel Dira, servis mobil katanya. Kau mau martabak, aku membawa dari rumah tadi."

Amaya mengambil sepotong martabak daging itu dan duduk di kursi makan.

AMAYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang