Lim mengintip dari sebuah lubang di dinding dapur yang terbuat dari papan kayu kelapa. Suaminya sedang bersiap pergi ke kebun kopi mereka yang masih satu meter tingginya. Nampak dari lubang itu, suaminya bergegas, membawa sabit dan bekal, mengambil sepeda yang disandarkan di kandang ayam. Mata Lim mengikuti setiap gerak-gerik suaminya itu. Setengah enam pagi. Suaminya agak kesiangan, seharusnya tadi jam setengah lima petang dia sudah pergi, tapi berhubung semalam ada acara selamatan di rumah tetangga sebelah, suaminya membantu mereka sampai hampir tengah malam, sehingga tidurnya pun lebih larut. Di pagi buta tadi Lim mendapati suaminya tidur di kursi bambu di ruang tamu. Lim mebangunkannya tetapi suaminya bilang biarlah nanti saja. Kemudian dia segera ke sumur, membersihkan diri, sembahyang, lalu memasak ala kadarnya. Nasi, sayur singkong rebus, ikan asin goreng, dan sambal. Ketika bangun tadi suaminya terkejut melihat matahari sudah tinggi, terlebih lagi bekal ke kebun sudah terbungkus dengan rapi di meja. Suami Lim, Arifin, bergegas mengambil air wudhu. Selepas sembahyang subuh, dia bergegas merapikan alat-alat yang akan dibawanya ke kebun lalu pamit pada istrinya.
Suaminya sudah pergi. Lim mengunci pintu belakang, lalu meraih tas kecil hadiah dari suaminya saat meminangnya. Tas itu terbuat dari kain tebal dengan hiasan bros berbentuk bunga matahari. Ukurannya lumayan besar, beberapa buah buku bisa muat di situ. Salamah pernah berpikir, sayang sekali tas itu baru dimilikinya sekarang, Mengapa bukan dahulu saat dia amsih bersekolah. Dulu Salamah sudah harus puas dengan sebuah tas yang dibuat dari bungkus bekas tepung terigu. Ibunya menjahitkannya dengan teliti, sehingga hasilnya cukup kuat, Lim memakainya selama hampir dua tahun.
"Mau kemana ?" Tanya Ibunya yang muncul dari pintu kamar depan. Lim hampir saja lupa, semalam ibunya menginap di situ. Sebenarnya jarak rumah mereka hanya beberapa rumah saja, namun malam itu, ibunya sengaja menginap karena rindu pada Lim.
Lim nampak gugup. "Eh Ibu, Lim mau ke Pasar Jumat," sahutnya.
"O...," Ibu kira mau kemana. Dengan siapa pergi? Arifin?" Ibunya mengambil sapu, lalu menyapu rumah, dimulai dari ruang tamu.
Si anak menggeleng. "Tapi sudah pamit sama Bang Arifin tadi sebelum dia berangkat ke kebun. Ibu masih di sini sampai nanti kan?"
"Ya. Berangkatlah, supaya ada temanmu, banyak juga ibu-ibu pergi ke pekan, kamu pergi dan pulang bersama mereka saja."
"Iya, Bu. Lim pergi dulu ya."
Lim segera berangkat. Benar saja, beberapa orang tetangganya juga bersiap hendak ke Pasar Jumat. Mereka berjalan beriringan membawa keranjang belanjaan yang masih kosong. Lim mempercepat langkahnya, mendahului iringan itu. Di dekat jembatan, Yunda duduk bersila di atas batu besar. Tangannya terlipat, sedikit kedinginan. Sebuah tas selempang butut nangkring di bahunya. Gadis itu melompat turun demi dilihatnya Lim berjalan terburu-buru.
"Heiiii, " panggilnya.
"Apa Salamah ikut?" Lim mencari-cari sosok temannya itu di sekeliling mereka, siapa tahu bersembunyi di balik batu lainnya.
"Dia bilang dia tidak bisa ikut." Sahut Yunda. "Ayo kita segera berangkat saja, supaya tidak tertinggal angkutan nanti."
Lim setuju. Mereka berjalan sejajar. Pagi itu angin bertiup lembut, membawa hawa sejuk menerpa wajah mereka. Embun pagi menetes dari pucuk dedaunan pakis. Batu-batu di jalanan yang mereka lewati pun masih basah.
"Apa semalam hujan Yun?" Tanya Lim, dilihatnya batang-batang pohon basah.
Yunda tidak menjawab. Tangannya memberi isyarat air turun dari langit ke atas bumi. Lim mendorongnya ke pinggir jalan. Mereka berkejaran, tertawa lepas seperti biasa.
Terkadang Yunda menirukan bunyian jengkerik yang masih saja bernyanyi padahal hari sudah mulai terang. Lim menghardiknya sambil mengejek, "Diamlah Yun, suaramu merusak ozon. Nanti kita kena radiasi."