"Apakah mereka masih sama?" tanya Sun lebih pada dirinya sendiri.
Mata gadis berambut panjang hitam kecokelatan itu terus menatap gerbang sekolah, yang kira-kira jauhnya tiga puluhan langkah dari tempatnya duduk. Gerbang bertuliskan nama sebuah SMA negeri itu tidak semegah sekolahnya dulu di Jakarta. Namun, gerbang itu tampak indah sebab di sisi-sisi jalan terdapat pohon pinus tinggi yang sejajar, jumlahnya ada enam. Taman sekolah ini juga lebih luas dan sejuk, banyak sekali pohon-pohonnya, yang paling dominan adalah pohon mangga. Berbeda dengan sekolahnya dulu, tamannya terlalu mini untuk disebut taman.
Sun menghela napas. Melirik ke arah satu-satunya tangga tinggi di sekolah itu. Jika menaiki tangga itu, akan sampai ke ruang kepala sekolah. Ayahnya belum juga keluar dari ruang tersebut. Sun kembali meresapi suasana sore itu yang cukup sepi, karena sudah lebih dari sejam bel pulang sekolah berdering. Kesunyian itu menemani pikiran Sun yang terus berharap, keputusannya pindah sekolah untuk menemui teman-teman masa lalunya adalah keputusan yang benar.
Sun mengeluarkan gantungan kunci boneka flanel berbentuk matahari dari saku sweter. "Hanya kalian yang menganggapku ada."
Handphone di saku sweter Sun bergetar, ada sebuah pesan WA dari Ore.
"Kamu kerasukan setan apa? Sampai kembali lagi?"
"Nggak tahu. Nanti malam kita jalan, ya?" balas Sun.
"Kamu di mana sekarang?"
"Masih di sekolah."
"Tunggu sebentar lagi. Latihanku hampir selesai."
Ore masih sama. Batin Sun. Apakah Ore masih jadi playboy? Masih suka bertengkar dengan Dilly? Atau mereka malah sudah jadian? Tanya Sun dalam hati sambil kembali menatap gantungan flanel matahari. Mengenggamnya lebih erat. Menahan dadanya yang kembali merasakan sesak.
"Ore ...." desahnya pelan.
Cowok bernama Ore itu sekarang memenuhi ingatan Sun.
***
Sun ingat sekali sejak duduk di bangku SD, Ore Dwira berharap menjadi burung elang, bukan burung emprit seperti ejekan Dilly. Burung elang yang kuat, yang sekali menukik bisa mencengkram apa saja.
"Aku akan menjadi elang, lihat saja nanti." kata Ore sambil menaikkan dagunya.
Sejak mengungkapkan harapan itu, Sun merasa Ore menarik. Apalagi, ketika Ore mulai merelasikannya keinginannya lewat pesonanya. Ore belajar menjadi playboy yang handal sejak semester pertama kelas delapan. Postur tubuhnya saat itu sudah tidak memalukan seperti sewaktu ia sekolah dasar—pendek dan kecil makanya Dilly mengejeknya emprit. Tubuhnya semakin tinggi dan suaranya menjadi lebih serak. Didukung wajah Ore yang oval, mata yang tajam, dan alis yang menukik semakin menciptakan daya tarik untuk menatapnya.
Banyak cewek seangkatan, adik kelas, bahkan kakak senior yang mengakui Ore punya tatapan yang dalam dan menyebabkan jantung mereka ingin pindah-pindah. Tubuh Ore yang tinggi dan dadanya yang bidang itu pasti hangat untuk menyandarkan kepalaku di sana, ucap seorang kakak kelas, yang tak sengaja didengar Sun dan Dilly ketika membeli gorengan di kantin. Sun setuju dalam hati. Dan Sun merasa kecil karena tidak pernah bisa mengungkapkan kegagumannya pada Ore, padahal Ore selalu ada di sampingnya.
"Suka kok sama Emprit!" cibir Dilly sambil mengelap tangannya ke rok biru dongker yang dikenakan. Memindahkan minyak bekas gorengan, yang sudah pindah dari tangan ke mulutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
INSTING
Teen FictionINSTING: menuntunmu pada cinta, namun kadang ia mengantarkanmu ke arah luka. Novel ini menceritakan empat sahabat: Ore, Sun, Dilly, dan Kaca. Ore cowok yang nakal, alias bad boy. Sun cewek pendiam yang sangat mempercayai instingnya. Dilly cewek fun...