[1/3]

65 7 3
                                    

Savio's POV

Semilir angin berhawa dingin khas Tibet menelusup ke paru-paruku. Rasanya begitu segar menenangkan, sambil menikmati pemandangan senja kota Lhasa yang ramai namun tidak hiruk pikuk, bersih dan dingin. Lentera dan lampu oranye keemasan mulai menyala di sepanjang jalan Bakhor. Dengan hanya melihatnya dari balkon kamar hotel di lantai 10 saja, aku sudah bisa ikut merasakan kebahagiaannya.

Kehadiran Madeon disampingku ikut menyemarakkan rasa bahagia ini. Dia mengenakan sweater krem dan celana putih panjang. Rambutnya yang hitam lurus —seperti tokoh anime— membingkai wajahnya yang bak pahatan, yang tak pernah puas kukagumi. Madeon melengkungkan bibirnya sambil menatapku, "Pingin makan malam apa?"

"Mm.. Sebenarnya, tidak lapar." Jawabku, kembali menatap ke atap-atap rumah tradisional di kejauhan.

"Baiklah, malam ini tidak usah keluar." Madeon ikut bersandar di tepi balkon. Kami terdiam cukup lama.

Terkadang, rasa bebas dan tenang ini begitu indahnya sampai kita bingung harus apa untuk mengisi waktu. Seperti yang kurasakan saat ini. Aku hanya ingin bersama Madeon.

"Lusa sudah kembali, ya." Kataku, lebih berupa lirihan.

Madeon memerhatikan wajahku yang berubah sedih, "Tidak apa-apa. Kita bisa kesini lagi liburan yang akan datang, kan?"

"Bukan itu. Aku hanya tidak mau berpura-pura lagi."

"Ya, aku mengerti." Madeon melingkarkan lengannya ke bahuku, "Aku juga lelah."

"Sebaiknya kita masuk. Udaranya semakin dingin." Aku melepas rangkulannya dan masuk ke kamar. Sebenarnya, udara disini ekstrem, dan aku tidak terlalu tahan. Tapi Tibet sangat indah sehingga aku tidak bisa menolak pesonanya.

Liburan ini sudah direncanakan jauh hari. Aku dan Madeon sengaja memilih Tibet. Kami butuh suasana tenang untuk waktu berdua kami, setelah sekian lama harus sembunyi dari orang banyak yang menganggap hubungan sesama jenis itu tabu. Tibet adalah negara yang cocok. Negara tertinggi didunia, tempat dimana aku merasa orang-orang takkan bisa mencapai kami, ditambah dengan pegunungan yang seakan menjadi tameng sehingga aku merasa aman.

Madeon adalah putra tunggal dari pengusaha kaya di negara kami. Dia memiliki semua yang diimpikan wanita: wajah tampan, tubuh sempurna, cerdas, dan kaya raya. Sayangnya, dia seorang berandal kelas kakap di sekolah, yang berulang kali masuk ruang kepala sekolah untuk dihukum. Merokok dan minum-minum sudah menjadi kebiasaannya. Terlepas dari perilaku buruknya, para perempuan tetap saja memuja dia.

Tapi semua perempuan itu harus dibilang tidak beruntung, karena nyatanya Madeon memilih seorang lelaki lemah bernama Savio untuk menjadi tempat berlabuhnya. Savio, aku.

Aku sendiri tidak sadar sejak kapan aku memiliki ketertarikan terhadap laki-laki. Madeon ini yang pertama. Dan jelas kami menyembunyikan hubungan kami dari teman-teman, sekolah, keluaraga, dan orang banyak. Setiap hari aku harus menahan diri untuk tidak bicara dengannya, kecuali saat berada di tempat sepi.

Kami merencanakan liburan ke Tibet, negara yang kuusulkan. Butuh banyak biaya untuk sampai kesini, dan aku menabung mati-matian. Aku bukanlah anak orang kaya, hanya memiliki ibu yang bekerja paruh waktu. Meski aku sudah menolak, Madeon tetap ambil banyak bagian dalam hal biaya karena uang bukan masalah baginya.

"Sav, besok kita ke Istana Patola." Ujar Madeon senang, dia sedang meracik teh di meja.

Aku mendengus, "Potala, bukan Patola. Kita hanya berkesempatan melihatnya dari luar."

Ya, turis asing tidak boleh masuk ke Istana Potala tanpa didampingi guide. Sedangkan kami datang sebagai backpacker.

Ah, Potala yang indah. Andaikan aku bisa masuk, merasakan suasana bekas tempat tinggal Dalai Lama.

Dream and Destiny [THREESHOOT - COMPLETED]Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin