0.6

38 2 0
                                    

Aleta mengangkat wajahnya pelan dari permukaan meja. Menggaruk-garuk pipinya upaya untuk menghilangkan rasa kantuk yang luar biasa. Rambutnya acak-acakan tak beraturan. Sampai pada akhirnya dia menyadari sesuatu.

Sudah pukul satu siang.

Dia mengerjap, mengibaskan tangannya untuk mengusir nyamuk yang mulai berdatangan. Sudah sejak pukul dua belas dia tidur di atas permukaan meja yang tercoretkan beberapa graviti namanya. Tentu saja-seperti kesukaannya, di pinggir lapangan basket.

Aleta mengerang sedikit ketika dia merasakan pundaknya terguncang oleh sesuatu.

"Woi bangun!"

Aleta mengernyitkan dahinya dengan mata yang separuh masih terpejam. Dia kembali sadar bahwa lima belas menit yang lalu dia kembali tidur di atas meja ini.

"Apaan sih, Al!" teriaknya tidak mau diganggu.

"Bangun dong Ta. Gue mau cerita. Ini sumpah... penting banget. YaAllah nggak percaya gue," kata Alva berantusias sambil menggoyak-goyak pundak Aleta. Aleta mengerang, mengibaskan lengannya agar tidak terkena guncangan dahsyat Alva.

"Yaudah ngomong aja, nggak usah bikin gempa juga!"

"Hehe. Oke, oke. Jadi gini," Alva tengah membenarkan posisi duduknya terlebih dahulu sebelum memulai.

"Ta lo tau ngg—"

"Nggak tau."

"Eh sompret! Bentaran dulu, gue belom selesai ngomong," pekik Alva dengan tangannya ke arah Aleta yang mulai berceloteh.

Aleta mengernyit, merasakan kekesalan yang sudah di ujung dan akhirnya dia berteriak, "Ih! Iya, iya! Buruan!"

"Jadi, gue tadi kan pergi ke Ruang Kesehatan, iseng-iseng aja sih. Eh, dokternya bilang tangan gue udah nggak masalah lagi," kata Alva sambil tersenyum lebar.

Aleta mengernyit untuk kedua kalinya. Dia juga ikut-ikutan membenarkan posisi kepalanya yang sebelumnya menempel di permukaan meja menjadi tegak dan sigap.

Mata Alva mendelik, memperhatikan Aleta yang terlihat serius dalam menanggapi hal yang Alva ceritakan. Sekarang tangannya terlipat di atas dada, pandangannya berhambur kesana-kemari terlihat sedang memikirkan sesuatu.

Ia terlalu tenang untuk menaruh keseriusan, tapi ia juga terlalu intens untuk bersikap biasa saja. Tiba-tiba tangannya turun perlahan ke arah bawah dada. Turun dan turun. Sekarang tangannya berhenti di atas perut. Lalu tangannya bergerak mengelus dan memutar seperti arah jarum jam.

"Gue laper."

Sontak mata Alva terbelalak lebar. Dia tidak tahu lagi dengan cewek di depannya kali ini. Pandangan yang tak terlepas dari matanya tadi sekarang sudah tertendang oleh angin yang berhembus di sekitarnya.

"Ta! Gue serius nih!" teriak Alva melihat kelakuan teman kecilnya tidak bisa menaruh keseriusan sedikit pun.

Aleta tertunduk dalam keheningannya, "Gue, gue juga serius kok."

Lagi-lagi Alva menghempaskan napanya, pasrah. Matanya berpaling ke arah pelataran dan meletakan tangan untuk menjadi senderan kepalanya. Mungkin dia terlalu pusing untuk memikirkan gadisnya, Aleta.

"Ta, plis dong. Lo bisa nggak sih seriusan dikit gitu?"

Aleta terdiam.

Alva mendesah, sudah tahu jawabannya. Napasnya mendominasi angin dan kicau keseruan penonton yang sedang melihat pertandingan basket setiap jam istirahat.

"Iya, iya. Ya udah sih, terus lo bisa main basket lagi dong?" tanya Aleta.

Alva terdiam dengan bibir yang melongo. Ia belum bisa menjawab karena perasaannya masih sama. Masih terlalu takut untuk memulai kembali. Sedetik kemudian, datang Revan dengan kostum basketnya mendekati Aleta dan Alva.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 30, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Aleta & Alva (was Our Different)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang