0.1

100 4 0
                                    

Siang ini di ibukota, matahari tidak ada yang mendamba. Panasnya berhasil membuat keringat bercucuran. Terutama untuk para siswa di sekolah yang tengah berusaha untuk tetap semangat dalam belajar dan semangatnya untuk mengakhiri pelajaran. Kibasan angin dari sebuah buku tipis dapat ditemukan di setiap kelas. Bungkus-bungkus dan suara gigitan es yang membuat ngilu pun berserakan dimana-mana.

Ada yang sudah sangat gelisah di pojokan kelas. Matanya selalu mengintip ke arah jarum jam yang dirasa sangat lambat berjalan. Buku tipis pinjaman dari temannya pun menjadi senjatanya ketika pendingin udara kelas sudah tidak berguna lagi. Memang masih hidup, tapi tidak ada anginnya.

Kadang hal sekecil itulah yang membuatnya malas mengikuti pelajaran di sekolah. Dan ia pun sering membolos pada jam pelajaran terakhir, atau bahkan seharian penuh. Seperti siang ini.

Dia adalah Aleta. Begitu sapaan orang-orang terhadap gadis berambut panjang dengan mata kenari yang bersinar bagaikan sorot yang begitu menyilaukan dari langit. Tangan-tangannya begitu kecil, panjang, dan handal dalam permainan tangan. Pinggangnya juga kecil pas dalam balutan seragamnya. Tapi jangan salah, dia memang perempuan, tapi orang-orang pun tidak menemukan jiwanya pada kategori yang dimilikinya, perempuan.

Dia lantas berdiri di belakang meja, sedang sibuk merapikan buku-buku yang berserakan dan memasukkannya ke dalam tas. "Ta, lo mau kemana, sih?" tanya seorang lelaki yang daritadi duduk mengamatinya.

"Ada urusan, penting banget," jawabnya singkat.

Lelaki tadi lantas mengerutkan dahinya, tidak percaya. "Lo inget kan minggu depan tuh udah ujian tengah semester? Dan minggu ini bakal diisi sama ulangan harian, lo inget kan?"

Mendengar si pengingatnya yang berbicara begitu detail, Aleta menghentikan aktivitasnya lalu menghembuskan napasnya panjang. "Astaga... gue udah tau, inget. Tapi gue ada urusan bentar nih, ntar juga belajar kok."

Tiba-tiba dia menoleh, menguap nikmat mengamati wajah Alva yang mulai curiga dengannya. Di saat suasana kelas yang masih ramai karena jam pelajaran terakhir belum segera dimulai, Aleta berjalan keluar. Menenteng tasnya dengan santai lalu berjalan gontai tanpa berpamitan. Alva, si teman kecil Aleta pun tidak peduli lagi karena ini sudah menjadi kebiasaan buruk Aleta.

Aleta jalan begitu santai melewati koridor kelas yang penuh dengan teman-temannya. Diam-diam dalam santainya itu, dia menoleh ke kanan lalu ke kiri beberapa kali untuk memastikan bapak tua bertopi biru yang bertuliskan 'Security' itu tidak berkeliaran di sekitar sini.

Cepat-cepat dia melempar tasnya keluar tembok ketika mencapai pelataran belakang sekolah. Memastikan keadaan sejenak, lalu menarik roknya ke atas dan mulai memanjat. Namun tiba-tiba dia diam sejenak dan tersentak di atas tembok ketika tas yang dilemparnya mengenai punggung seseorang yang sedang berjalan.

"Anjing!" seru orang itu mengumpat sambil meraba badan bagian belakangnya yang terkena tas.

Tampilan orang itu sama seperti Aleta. Dengan seragam SMA yang sama namun tidak dikancingkan, sehingga kaos putihnya terlihat. Sambil masih meraba, dia membalikan badan. Melihat itu, cepat-cepat Aleta melanjutkan panjatannya dan menghentakkan kaki tepat setelah dia berhasil meloncat keluar.

"Ini tas lo atau—" kata lelaki bertampang lumayan itu terpotong ketika Aleta langsung menarik tasnya dan beranjak pergi tanpa ucapan maaf.

-o-

Suasananya sepi dan sangat gelap. Semua lampu sudah padam dan tidak ada penerangan sedikitpun menyinari ruangan ini. Bagus. Begitu gadis batinnya berkata sambil menyengir lebar. Dia mengedarkan pandangan. Mendesah lega karena mata bak matahari yang bersinar itu sudah memastikan orang-orang di rumah sudah terlelap dalam tidurnya.

Aleta & Alva (was Our Different)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang