2

37 6 2
                                    

Ia berjalan ketakutan,bagaimana tidak jika seorang lelaki tengah mengikutinya bahkan meminta untuk tinggal bersama di rumahnya. Zaki nii-san kakak kelasnya saat SMA dulu yang pernah mengerjainya dengan menyelipkan cicak mati yang sudah berbentuk pipih seperti kerupuk berada di pembatas buku bacaannya dan membuatnya menjerit tak terkendali di perpustakaan yang saat itu cukup ramai. Ia malu sekali menjadi bahan tontonan,sedangkan yang menjailinya hanya tertawa terbahak di sudut ruangan.

"Pokoknya aku akan tinggal di rumahmu, mau sempit kek yang penting bisa tidur," seru Zaki yang kini sudah berjalan di depan Mirai. Mirai meringis, kakinya perih dan ia terlambat bekerja. Sudah pasti ibu Tomo akan mengomel.

"Kak Zaki apa-apaan sih, kita ini beda gender dan gak ada hubungan keluarga. Apa kata orang kalau kita tinggal serumah," dengus Mirai. Seketika langkah Zaki terhenti, menoleh ke arah Mirai dan menghampirinya. "Beraninya kamu membantahku, aku gak peduli apa kata orang. Yang penting AKU INGIN TINGGAL DI RUMAHMU! KALAU TIDAK, TUNGGU SAJA AKIBATNYA!" Zaki menggeram marah. Wanita di depannya ini sungguh keras kepala, yang dia inginkan hanya itu dan ia tak peduli apa kata orang.

"I.. iya kak Zaki," Mirai berkata dengan gugup, tatapan tajam kak Zaki membuatnya takut dan merinding. Tiba-tiba saja tubuhnya serasa melayang, ia menoleh ke arah kanan dan langsung bertemu dengan mata coklat cerah yang tajam sedang menatapnya. "Dimana rumahmu? Jika kau berjalan, sama saja seperti aku mendampingi kura-kura. LAMA!"

Setelah diberi petunjuk oleh Mirai smpailah mereka di rumah Mirai yang berada di samping sungai Mesan dengan air jernihnya. Walau rumahnya sempit ia tetap bersyukur, kedua orangtuanya sudah tiada dan bibinya pun yang selalu mendampinginya kini telah pergi menyusul kedua orangtuanya. Ia sebatang kara, menopang hidup dengan kemampuan apa adanya sebelum lulus dan berharap akan menjadi orang sukses. Amin.

Diturunkannya Mirai kemudian membuka kunci rumahnya. "Ouh ini toh rumahmu, lumayan lah untuk tinggal berdua," Zaki memasuki rumah berpetak itu, melepas sepatunya dan menggantinya dengan sandal Hello Kity. "Hey apa tak ada sandal lain?", serunya pada Mirai yang masih melepas sepatu dengan pandangan geli. "Aku ini perempuan,masa iya beli yang bergambar robot dan lainnya. Ngaco ya kamu," Mirai melengos memasuki rumah mendahului Zaki yang ternganga mendengar jawabannya.

"Hey tunggu, aku lapar. Apa ada makanan?", seru Zaki seraya duduk di lantai ruang tv yang cukup besar. Ia melihat sekelilingnya di samping kanan pintu masuk ada kamar tidur, lalu di depan pintu kamar tidur ada dapur yang terhubung dengan kamar mandi. Ya ampun jadi disini cuma ada satu kamar tidur dan kamar mandi, sempit sekali pikir Zaki. Tapi kenapa ruang tv cukup luas? Mungkin ia harus tidur disini.

Mirai keluar dari kamarnya dengan setelan kerja dari toko swalayan yang hanya berjarak seratus meter dari rumahnya. Jalan kaki tentu saja jalan pintas sampai disana, tak perlu membuang ongkos, lebih hemat dan tentunya sehat. "Di atas westafel ada laci, buka saja disana ada cake. Aku kerja dulu, ingat jangan macam-macam. Ittekimasu, nii-san." Zaki menganggukan kepalanya sambil tersenyum.

-----

Mirai membuka pintu rumahnya seraya menghembuskan nafas lelah, jam di ruang tengah menunjukkan pukul 10 malam. Ia dimarahi untuk kesekian kalinya oleh ibu Tomo, mungkin jika ia mengulangi lagi ia akan dipecat. Huft,untung saja besok jadwal kuliah hanya jam 9 pagi sampai jam 11 jadi ia bisa beristirahat sebentar sebelum bekerja.

"Baru pulang?" Seru suara bariton dari arah dapur.

Mirai terkejut sekaligus teringat jika -sekarang- di rumah bukan hanya ada dirinya tapi ada Zaki. "Ngagetin aja," Mirai melangkahkan kakinya ke kamar dan bergegas mandi. Setelah mandi ia keluar kamar dan menuju dapur, ia ingin memasak ramen kesukaannya.

"Kakkkk Zakiiiiii,makanannya kemana semua?", jerit Mirai dengan suara melengking. Zaki yang sedang tiduran di karpet seketika terbangun dan menoleh ke arah dapur. Mirai tak menyangka stok makanan untuk seminggu ludes tak tersisa dari mie ramen instan, makanan kecil, koktail buah dan lainnya. Sekarang ia harus makan apa, uangnya sudah menipis.

"Huaaaaaaa hiks hiks," Mirai menangis dan terduduk di lantai dapur.

Zaki menghampiri Mirai seraya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Bingung dan sesak. Itulah yang dirasakannya, entah kenapa mendengar Mirai menangis membuatnya sesak. "Kamu kenapa sih Rai, mewek gitu."

Mirai mendongak. "Kakak kenapa habisin stok makanan Mirai? Kakak tau gak itu tuh stok untuk seminggu ke depan dan Mirai udah gak punya uang. Tinggal nasi, sayur sama tempura, kakak mau kita makan bubur selama seminggu ini. Mau?", Mirai mengusap air matanya.

Zaki pun mengerti, tadi siang ia sangat lapar karena dari kemarin belum makan dan tidak punya uang sepersenpun. Tapi ia tak menyangka ia menghabiskan stok mingguan dari Mirai, padahal itu cukup sedikit untuk dimakan olehnya apalagi untuk Mirai. Pantas saja dia kurus sekali, batinnya.

"Kakak gak tau kalo itu stok seminggu Rai, lagian itu tuh terlalu sedikit untuk seminggu."

"Tapi untuk aku itu cukup kak, terserah deh apa kata kakak. Aku males," Mirai bangun, berlari masuk ke kamar dan menutup pintu kamar dengan keras meninggalkan Zaki yang sedikit merasa bersalah. Apalagi Mirai belum makan setelah pulang kerja.

-----

Paginya saat Mirai keluar kamar ia dikejutkan dengan makanan yang sudah siap ada di meja kecil ruang tv.

"Ohayoo, ayo dimakan itu buatanku loh," seru Zaki menghampiri Mirai yang menatap tak percaya makanan di depannya. Mirai menoleh dan dibuat terkejut lagi dengan setelan kak Zaki yang memakai kaos putih polos dengan rambut berantakan, celana jeans selutut dan celemek pink miliknya. Seketika ia tertawa, membuat Zaki yang tengah duduk di depannya mengerutkan dahinya.

"Kamu kenapa?",tanya Zaki.

"Gak apa-apa, kakak yang masak semua ini?".

"Ya iyalah... menurutmu siapa lagi, shinigami?". -shinigami adalah dewa kematian-

"Ya kali kak disini ada shinigami," Mirai mendengus kesal. Ia menyuapkan sesendok bubur ke mulutnya.

"Hueekkkkk," walaupun ia merasa ingin memuntahkannya tapi tetap menelannya.

Raut khawatir terhias di wajah Zaki ketika Mirai mual tetapi tetap menelan makanan buatannya.

"Kakak, ini asin sekali. Mau ngeracunin aku?," wajah Mirai memerah dan segera meminum teh buatan Zaki yang lumayan pas takarannya.

"Aku kan baru pertama kali masak Rai, wajar dong. Tapi teh nya pas kan?".

"Kalo teh, Mirai suka. Ya udah kak, Mirai abisin dulu buburnya.." baru saja Mirai ingin memakan lagi buburnya, Zaki sudah merebutnya dan menyodorkan tempura goreng.

"Makan tempura saja, buburnya terlalu asin dan gak baik buat kamu. Ayo makan."

Mirai memakan tempura goreng buatan Zaki dengan lahap. Setelah habis ia membereskan piring, menaruhnya di westafel dan ingin mencucinya tetapi ditahan oleh Zaki. Katanya biarkan saja dia yang mencuci.

"Kak aku berangkat kuliah dulu."

"Iya hati-hati di jalan, Rai." Seru Zaki dari arah dapur.

Mirai keluar rumah dengan senyum terukir di wajahnya, Zaki yang tadi malam membuatnya kesal setengah mati berubah menjadi sangat manis. Ia merasa aman dan nyaman, apalagi di rumah ia tidak akan merasa sendirian dan kesepian lagi.

###

Wohaaa cerita gaje dilanjut 😂😂😂 typo(s) bertebaran. 17-06-16

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 17, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Cinderella Number OneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang