[AA : 03] - Ragu

969 56 0
                                    

Hari demi hari berlalu. Semakin hari aku dan Asta semakin dekat. Tidak tahu seberapa kuat aku bertahan dalam persahabatan ini. Tidak tahu seberapa dalam lagi rasa cinta ini. Yang ku tahu, Asta sangat nyaman dengan zona aman kita.

Kemarin hari terakhir aku UAS II. Sekarang hari Minggu dan aku masih dengan kebiasaanku yang dulu, duduk termenung menikmati secangkir, atau bahkan lebih, caramel macchiato dicafe dekat komplekku.

Bicara tentang Asta tak akan ada habisnya. Setahun ini hubungan ku dengan Asta tidak ada yang berbeda. Maksudku, meskipun kami sangat dekat, tapi dia masih saja modus dengan fangirlnya. Kadang aku merasa seperti tersingkir. Lebih tepatnya, aku cemburu.

Asta : dimana?

Selalu. Selalu itu yang dia tanyakan. Jika seperti ini aku merasa bahwa dia mencariku. Entah untuk apa. Belum sempat aku membalas, ponselku berdering kembali.

Asta : gue kangen :((

Untuk kesekian kalinya, aku terbawa perasaan. Aku merasa bodoh. Maksudku, bahkan aku tidak tahu yang sebenarnya Asta rasakan padaku itu apa. Cinta kah? Sayang kah? Kagum kah? Suka kah? Atau apalah itu.

Me : caffe as always :)

Biasanya Asta juga menemaniku disini. Kadang aku jadi teringat ketika dia menyatakan perasaannya dikafe ini. Bukan padaku, pada Destri.

"Udah lama disini?" aku tersentak mendengar suara Asta. Aku menatapnya yang kini sedang duduk dihadapanku.

"Belum sih. Tiga puluh menit kayanya."

Dia mendecakkan lidah. "Itu lama namanya. Apalagi kalau lo cuma duduk disini, liat kearah jendela, sambil senyum-senyum sendiri kaya orang gila."

"Orang gila nggak ketawa sendiri ya, dia ketawa sama imajinasinya."

"Membela kawanannya."

"Iya, lo."

"Iya gue gila, Del. Gila karena lo," ucapnya seraya menaik turunkan alisnya.

"Gue kuat."

Asta mengernyitkan alisnya. "Iya kuat. Kuat dibikin baper mulu sama lo."

Guratan dikeningnya perlahan menghilang lalu dia tertawa. Tidak ada yang lucu kurasa. Dia memang gila.

"Lucu lo. Mana gue bikin baper sih? Gue cuma mengatakan yang sejujurnya."

"Udah ah, basi tahu nggak," ujarku sewot dan dia pun diam.

Pandangannya menelisik dikeramaian taman seberang kafe melalui jendela. Dia tersenyum. "Rame ya tamannya,"

Aku ikut memandang taman itu. "Iya, kaya hati lo. Rame."

Dia mengalihkan pandangannya padaku. "Jangan buat gue selalu merasa bersalah, Del."

Aku diam. Enggan menanggapi omongannya. Dia berkata seperti itu aku menjadi menyimpulkan satu hal:

Sebenarnya selama ini aku ragu dengan dia yang masih bertahan disampingku. Bisa saja dia bertahan disini karena dia merasa bersalah karena dulu pernah menyakitiku.

Karena seseorang yang masih bertahan selalu memiliki alasan.

** AdeliAsta **

Pertemuan dikafe siang tadi kami lanjutkan dengan candaan ringan. Tentu saja dengan gombalan recehnya yang tidak pernah luput dari pendengaranku. Kadang aku merasa semuanya hanya omong kosong, meski dia bilang "Gue nggak gombal kok."

Semakin kesini aku semakin merasa bosan. Meski rasa sayangku padanya tidak berkurang barang satu persen pun. Kadang aku merasa dimilikinya, namun terkadang aku merasa hanya sebatas teman ngobrol.

Dan mulai sekarang, aku ragu.

AdeliAstaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang