1. Next Door

64.3K 3.2K 673
                                    

"Al, tau ga, semalem gue ditembak sama Andika!" Althaf yang sedang merangkum catatan dari buku paket hanya menggumam kecil menjawab perkataan sahabatnya.

"Ih, Al! Gue lagi cerita, simpen dulu bukunya," rengek Kalila seraya menarik-narik lengan kemeja Althaf.

"Diem, Kal, gue masih nyatet. Entar aja ceritanya ya."

Kalila langsung bersidekap dan mengerucutkan bibirnya sebal. "Gimana lo mau laku kalo sahabat lo aja dikacangin, nyebelin lo!"

Althaf hanya menoleh singkat, membetulkan letak kacamata dengan jari telunjuknya dan kembali melanjutkan mencatat. Dan Kalila lagi-lagi hanya menggeram tertahan.

"Kal!"

Kalila menoleh cepat saat tiba-tiba seseorang meneriaki namanya dari pintu. Mata Kalila langsung berbinar melihat Andika berdiri di sana, dia menoleh singkat ke Althaf dan langsung mengacak rambut sahabatnya.

"Gue main dulu ya, Al. Selamat mencatat!"

Dan Kalila langsung melesat menuju Andika. Althaf hanya meliriknya kecil dan kembali sibuk mencatat. Ia sudah kelas 12 dan semua materi harus ia matangkan secepat mungkin. Padahal Althaf sudah sangat pintar, entah apa yang ia khawatirkan saat UN nanti.

🎬

Andika kini mengajak Kalila duduk-duduk santai di pinggir lapangan sepak bola. Andika yang menjabat sebagai kiper terbaik sekolah ini sedang mengawasi adik-adik kelas mereka yang sedang dilatih untuk menjadi kiper, tentu saja menggantikan Andika yang sudah kelas 12.

"Kal, tau ga bedanya lo sama bola?"

"Gue cantik sedangkan bola bulet. Bener ga?"

"Salah. Bola masuknya ke gawang dan lo masuknya ke hati gue hahaha."

Kalila menatapnya dengan mengernyit. Itu sama sekali tidak lucu dan terlalu pasaran, bagaimana bisa Andika tertawa hanya karna tebak-tebakan recehnya sendiri.

"Ga lucu, Dik. Selera humor lo rendah banget." Pedas seperti biasa. Kalila memang seperti itu, kata-katanya yang pedas memang menjadi daya tariknya. Tentu saja selain wajahnya yang nyaris sempurna.

Semua mantannya di sekolah ini dari adik kelas, sepantaran sampai para alumni pernah mencicipi ucapan pedas Kalila. Dan mungkin sampai sekarang masih melekat di bayang-bayang mereka.

Andika menggaruk tengkuknya. Malu sekaligus jengkel. Rasanya ia ingin menjitak Kalila saja, gemas sekali mendengar ucapan pedas Kalila atas selera humornya.

"Ga lucu ya, yaudah deh." Kalila hanya menggumam kecil dan Andika semakin bingung dibuatnya. Apa lagi yang harus ia bicarakan dengan gadis bermulut pedas ini?

"Kal, gue cowok ke berapa lo?"

Kalila menatap Andika dengan raut wajah berpikir. Tangannya bergerak-gerak bersamaan dengan bibirnya yang bergerak-gerak. "Satu, dua, tiga, empat, lima, enam-ah gatau! Gue ga pernah ngitung."

Andika kembali mengangguk dan kembali berpikir mencari topik pembicaraan. "Kal, besok malem bisa ikut gue ngumpul sama temen-temen gue ga?"

"Di mana? Dalam rangka apa?"

"Di tempat tongkrongan biasa, ga ada apa-apa sih, ngumpul doang."

"Ga penting-penting amat berarti ya, gue ga bisa. Gue besok harus belajar sama Althaf."

Andika mengernyit tidak suka. "Lo kan pacar gue, kok malem mingguan malah sama si Althaf sih?"

"Ya emang kalo gue pacar lo kenapa? Mesti gitu malem mingguan? Old school banget lo," sahut Kalila cuek. Malam mingguan tidak ada di dalam kamus hidupnya. Apa istimewanya sih malam mingguan? Ga ada. Lebih baik duduk anteng di kamar sambil menikmati semilir angin dari jendela dan ditemani setumpuk novel best seller. Nah itu baru malam minggu yang indah. Cielah.

Returned Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang