My Nickname

1K 76 28
                                    

Setiap orang pasti punya nama panggilan atau julukan yang disematkan orang lain untuk dirinya. Seringkali kita nggak bisa mengontrol orang mau memanggil kita dengan sebutan apa, karena itu hak prerogatif mereka. Dan apapun nama panggilan yang disandangkan oleh orang untuk kita, tentu ada alasan yang melatarbelakanginya.

Misalnya, temen kuliah gue, Mahe, punya nama panggilan 'Gondrong' karena rambutnya yang panjang semburat tak beraturan. Mirip anak Alay yang sebelah matanya sering kecolok rambutnya sendiri. Atau Yanto, teman SMA gue yang punya julukan 'Profesor' karena otaknya yang encer dan kacamata tebal yang dikenakannya. Saking tebalnya, gue yakin Yanto sudah mengganti kacamatanya dengan kaca nako.

Gue sendiri punya nama panggilan, atau lebih tepatnya...beberapa nama panggilan. Berikut nama-nama panggilan yang sudah seenaknya dilabelkan orang untuk gue:


Cungkring

Julukan ini melekat pada diri gue untuk jangka waktu yang sangat lama. Mulai dari masuk TK sampai gue Kuliah. Ya, badan gue memang kurus kering mirip kerupuk yang kelamaan dijemur waktu musim kemarau. Gue tampak seperti bocah kurang gizi yang kurang mendapatkan asupan makanan. Banyak orang yang menaruh simpati untuk gue. Dikiranya gue nggak dikasih makan di rumah. Padahal untuk orang sekurus gue, gue termasuk kuat makan

Ada yang bilang kalau usus gue itu panjang, soalnya gue gampang merasa lapar. Nyokap percaya kalau gue itu cacingan. Menurut analisa Nyokap, semua asupan gizi yang masuk ke tubuh gue justru jadi makanan untuk cacing kelaparan. Makanya gue tetep kurus, sedangkan cacing-cacing itu malah obesitas. Mungkin cacing dalam tubuh gue udah masuk kategori anakonda kalau dibandingin cacing pada umumnya.

Metobolisme tubuh gue sepertinya tidak mengijinkan badan gue untuk 'melar' barang sedikit saja. Pasti banyak super model yang iri sama gue. Mereka mati-matian menahan nafsu makan agar badannya tetap langsing, sedangkan gue, mau makan sebanyak apapun badan gue tetap singset. Sampai lulus kuliah, dengan tinggi badan 170 cm, gue memiliki berat badan maksimal 'hanya' 54 kg. Itu pun gue nimbangnya setelah makan. Dua piring.


Badut Ancol

Ini salah satu julukan yang paling nggak gue suka sewaktu gue masih kelas 2 SD. Karena waktu itu gue menderita Badutphobia, alias takut sama badut. Kadang gue heran, kenapa ada orang yang bilang kalau badut itu lucu. Buat gue, badut itu nggak ada lucu-lucunya. Badut itu ngeri banget men!

Lihat aja perutnya yang buncit itu. Mungkin mereka sudah 'menyantap' anak-anak kecil sebagai makan malamnya. Belum lagi hidungnya yang berwarna merah, wajah pucat kebanyakan bedak, dan rambut kumal warna-warni, dimata gue badut mirip penjagal anak kecil yang suka jalan-jalan sambil bawa balon untuk mencari mangsa.

Itulah kenapa gue nggak suka dipanggil Badut Ancol. Lalu bagaimana gue bisa dipanggil dengan sebutan itu? semua bermula sewaktu gue belajar naik sepeda. Gue yang belum terlalu mahir naik sepeda mau 'sombong' di depan temen-temen gue. Gue berniat menunjukkan skill gue dalam bersepeda.

Di sebuah turunan dengan tikungan tajam ke kiri, gue membiarkan sepeda gue melaju dengan kecepatan tinggi. Gue berencana untuk menaklukkan turunan dengan tikungan tajam itu tanpa menggunakan rem. Gue tegaskan, Tanpa Menggunakan Rem! Karena sepeda gue emang nggak ada remnya.

Hasilnya mudah ditebak, gue terpelanting beberapa kali dan nyusruk masuk ke halaman rumah orang. Meski gue nggak menderita luka serius, tapi hampir seluruh badan gue lecet-lecet. Khususnya di bagian wajah, karena gue mendarat dengan kepala duluan. Untungnya pagar rumah orang yang gue tabrak bukan terbuat dari besi, tapi pagar yang tersusun dari deretan tanaman. Wajah imut gue pun nyangsang di salah satu tanamannya. Besoknya, gue masuk sekolah dengan 'obat merah' memenuhi muka gue. Gue disambut temen-temen sekelas dengan tawa riuh dan julukan baru, Badut Ancol. Semprul.

Random TalkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang