Menuju Abdi Negara

778 63 7
                                    

Gue terlahir dari keluarga dengan budaya 'abdi negara' yang kuat. Bukan, keluarga gue bukan keluarga superhero yang mengamankan negara dari serangan monster kepiting raksasa yang mengacak-acak kota kayak di film ultraman. Abdi negara yang gue maksud disini adalah semua keluarga gue bekerja untuk pemerintah (public sector) bukan swasta (private sector).

Sebagai contoh, bokap gue adalah seorang (purn) dari satuan TNI Angkatan Darat, beliau mengabdikan karirnya hingga pensiun sebagai seorang prajurit. Kakak pertama gue adalah seorang PNS yang berdinas di Pemerintah Kota Surabaya. Kakak kedua gue juga bekerja sebagai PNS, lebih tepatnya PNS di salah satu kementerian dengan penempatan dinas di Nunukan.

Jika ditelisik lebih jauh lagi, darah 'abdi negara' ini juga mewabah hingga menjangkiti keluarga besar gue. Mulai dari om, tante, bahkan hingga kakak ipar gue semua bekerja di sektor publik. Ada yang bekerja sebagai PNS di kementerian, PNS di pemerintah daerah, hingga menjadi pendidik (guru) maupun polisi. Kalo pas hari lebaran, keluarga besar gue jadi kayak toserba nya 'abdi negara', hampir semua jenis abdi negara tersedia di keluarga gue.

Dengan begitu derasnya darah 'abdi negara' yang mengalir di keluarga gue, nggak heran kalo ortu (khususnya nyokap) sangat berharap gue juga bisa meneruskan tradisi keluarga ini. Gue yang saat itu baru lulus kuliah S1 pada pertengahan tahun 2007 sudah dibebani harapan tinggi untuk bisa menjadi seorang PNS. Terserah mau jadi PNS di kota mana saja atau di instansi apa saja, yang penting jadi PNS.

Nyokap selalu bilang, "Semoga kamu lulus tes PNS dan bisa jadi orang le." Ya, jadi 'orang'. Mungkin sebelum gue lulus tes PNS, nyokap masih menganggap gue sebangsa Pithecantrhopus Erectus, alias belum jadi manusia dan masih separuh kera. Gue jadi pengen jalan-jalan nggak pake baju, makan pisang, dan tidur dalam goa.

Sejujurnya gue nggak pernah membayangkan diri gue bekerja sebagai PNS. Alasannya sepele, karena gue nggak mau harus pergi ke kantor dengan balutan seragam dinas PNS. Soalnya seragam dinas PNS itu... bener-bener nggak fashionable dan terlihat old school banget. Bukan berarti gue paham masalah fashion sih, cuma dengan seragam dinas model bapak-bapak begitu, kadar ketampanan gue dipastikan bakal terjun bebas. Padahal tampang gue sekarang aja udah ala kadarnya. Gue yakin gue bakal terlihat seperti 'om-om' kalo harus pakai seragam dinas PNS, meski usia gue saat itu masih di awal 20-an.

Tapi demi berbakti pada orang tua yang sudah sangat berharap agar gue bisa jadi PNS, maka gue yang pada saat itu sudah bekerja di perusahaan swasta memutuskan untuk mengikuti tes masuk CPNS. Dan nggak gue duga ternyata untuk bisa lulus tes CPNS itu dibutuhkan perjuangan yang naudzubillah beratnya. Jangankan mengikuti tes seleksinya, untuk sekedar bisa mendaftar tes saja sudah butuh kerja ekstra (khususnya jika mendaftar tes CPNS di pemda/pemkot).

Berbeda dengan pendaftaran tes CPNS di pusat (kementerian) yang sudah menggunakan sistem online, pendaftaran tes CPNS di pemda/pemkot (pada saat itu) masih menggunakan sistem manual. Belum lagi harus memenuhi segala tetek bengek persyaratan pada saat pendaftaran, seperti legalisir ijazah, surat pengantar kelurahan, surat keterangan sehat, kartu kuning, hingga surat keterangan kelakuan baik dari kepolisian, semua membutuhkan waktu yang tidak sedikit untuk mempersiapkannya.

Ini tentunya menyulitkan bagi gue yang saat itu sudah bekerja karena harus ambil cuti kerja atau (pura-pura) izin sakit supaya bisa kabur dari kantor. Lebih repotnya lagi, ada beberapa persyaratan yang hanya bisa diurus sesuai dengan domisili di KTP. Itu artinya gue musti balik ke Bojonegoro (gue bekerja di Surabaya) hanya untuk mengurus persyaratan tersebut.

Mungkin orang kantor berpikir gue sakit keras dan dirawat di UGD karena lama nggak nongol di kantor. Padahal surat dokter yang gue bawa saat masuk kantor cuma sakit panu. Gue beralasan ke HRD kalo panu nya menjalar sampai ke wajah, jadi gue nggak bisa masuk kantor sebelum sembuh dan wajah imut gue kembali. Oke, gue cuma lagi lebay disini. Gue nggak beneran sakit panu sampe ke wajah, ini cuma alasan gue untuk mendapat efek humor dalam tulisan ini aja. Panunya bener-bener nggak sampe wajah. Serius. Cuma sampe mata kaki.

Random TalkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang