Dari dulu, gue sedikit antipati pada 'kaum pengemis'. Maaf, bukan berarti gue melanggar perintah agama untuk menyayangi dan mengasihi kaum dhuafa. Gue setuju mereka adalah kaum yang memerlukan uluran tangan, bahkan hingga termaktub dalam Undang-Undang Dasar kita yang menyatakan bahwa "Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh Negara". Antipati gue bukanlah kepada kaum dhuafa tetapi 'kaum dhuafa'. Ada semacam tanda petik yang mengurungnya. Mereka bukanlah kaum dhuafa biasa. Mereka adalah oknum-oknum kaum dhuafa yang kerap membuat orang merasa enggan untuk menyumbangkan sebagian harta yang dimilikinya.
Berita tentang oknum pengemis seperti ini sudah banyak kita dengar diberbagai media, (baik media elektronik, media cetak, hingga media sosial), maupun melalui omongan orang-orang baik di sekolah, di kantor, bahkan sampai di warung kopi pinggir jalan sekalipun. Secara garis besar, isi dari berita tersebut adalah: "Pengemis itu sebetulnya hanya orang yang malas kerja", "Pengemis itu sebetulnya punya rumah yang bagus di kampungnya", "Pengemis itu penghasilannya sebulan dari meminta-minta bisa jaauuh lebih besar dari pegawai kantoran", "pengemis itu sebetulnya ada semacam koordinatornya, jadi nanti uang yang kamu berikan malah hanya masuk ke kantong-kantong orang yang sebenarnya tidak membutuhkan", dll, dll, dll.
Bahkan di salah satu acara tivi swasta, ada semacam investigasi yang mengangkat cerita tentang pengemis-pengemis muda dimana para laki-laki yang sehat secara fisik namun mereka berpura-pura 'sakit'. Misalnya dengan membuat luka/borok bohong-bohongan dengan menggunakan tape dan betadine, atau berpura-pura kakinya putus dengan mengikat bagian celananya, dan lain sebagainya. Semua itu mereka lakukan untuk menarik simpati masyarakat agar mau memberi mereka uang.
Hal yang sama juga terjadi saat gue menonton reality show milik Uy* Kuya. Seperti biasa, Uy* menghipnotis orang yang menjadi obyek wawancaranya dengan menggunakan sepotong kertas yang dibakar. Setelah melihat kertas yang terbakar si obyek wawancara tersebut akan tiba-tiba tertidur. Obyek wawancara alias orang yang ketiban sial dibongkar rahasia pribadinya kali ini adalah seorang ibu-ibu pengemis yang membawa seorang bocah kecil. Diantara kondisi tidak sadar karena pengaruh hipnotis atau mungkin karena bau badan Edy, asistennya Uy*, si ibu pengemis menceritakan semuanya rahasia pribadinya. Ia mengatakan bahwa sebenarnya dia punya rumah besar di kampung, penghasilannya dari mengemis dalam sebulan bisa mencapai sekian juta rupiah, bocah kecil yang dibawanya bukanlah anak kandungnya, ia hanya anak sewaan yang diajak mengemis setelah memberi sejumlah uang kepada orang tua kandungnya, dan banyak lagi rahasia lainnya yang dibocorkan si ibu pengemis itu. Terlepas dari apakah acara Uy* Kuya itu menyuguhkan fakta atau hanya hasil rekayasa, tampaknya khalayak ramai sudah mulai mahfum dan sepakat bahwa: oknum pengemis itu memang ada!
Hal-hal seperti inilah yang membuat orang menjadi antipati. Padahal gue yakin, sebetulnya diantara para pengemis itu, ada orang-orang yang memang sangat membutuhkan bantuan khususnya secara finansial. Mereka yang hidup sebatang kara, berusia lanjut, atau difabel, sehingga tidak lagi mampu bekerja untuk mendapatkan uang selain dengan meminta-minta. Namun, akibat ulah sejumlah 'oknum pengemis' seperti inilah yang sudah merobek kepercayaan masyarakat sehingga enggan menyedekahkan harta mereka kepada kaum pengemis.
Gue pribadi berpendapat lebih baik menyumbangkan atau menyedekahkan sebagian harta kita di tempat-tempat yang memang mampu untuk menyalurkan uang tersebut secara tepat sasaran, misalnya di masjid-masjid, panti asuhan, atau badan-badan amil zakat. InsyaAllah, uang yang disedekahkan tersebut akan sampai pada orang-orang yang benar-benar membutuhkan.
***
Minggu pagi itu, seperti biasanya gue, Andi, dan Kim sarapan lontong sayur setelah joging di GBK. Kami baru saja selesai sarapan saat datang seorang pengemis wanita yang meminta-minta ke meja kami. Gue sedikit kaget pengemis ini ada di sekitar GBK, karena gue inget banget ini pengemis yang biasanya berkeliaran di sekitar warung-warung pinggir jalan di dekat kantor gue. Memang jarak antara kantor gue yang ada di samping kampus Al-Azhar dengan GBK nggak terlalu jauh, tapi tetep aja gue takjub, karena seinget gue trayek dia ngemis full ada di daerah kantor gue, karena nggak pas sarapan, nggak pas makan malam, gue sering banget ngelihat pengemis ini ada di sekitar kantor gue.
Pengemis wanita ini berusia sekitar 30 tahun, dengan trademark dandanan seperti layaknya pengemis lainnya, menggunakan kaos dan celana pendek yang tampak lusuh, compang-camping, dan menimbulkan kesan kumal. Rambutnya diikat kuncir kuda dan selalu membawa kantong kresek warna hitam besar di tangannya, entah untuk apa. Yang paling menarik perhatian gue, gue rasa pengemis ini baut diotaknya udah banyak yang lepas. Banyak banget! Dia selalu ngomong nggak jelas, kadang meracau sendiri, kadang ketawa-ketawa sendiri, kadang nyanyi-nyanyi sendiri, dan nyebelinnya seringkali dia nggak mau pergi sebelum dikasih uang.
Sama halnya sekarang, dia berdiri di samping meja kami, dan ngomong sendiri nggak jelas. Mulai dari minta makan dari piring kami (padahal jelas-jelas di piring kami tinggal sisa-sisa makanan, karena kami memang sudah selesai makan), minta duitlah, ngomongin artis lah, dan banyak lagi. Ini membuat kami jadi nggak nyaman. Andi dan Kim pun akhirnya mengeluarkan selembar uang ribuan yang diberikan pada pengemis wanita itu. Gue sendiri masih kekeh pada pendirian gue untuk nggak ngasih uang ke pengemis yang nggak jelas. Setelah diberi uang, pengemis itu pergi dari meja kami dan mendatangi meja lainnya, sejurus kemudian kembali meracau nggak jelas.
Sore harinya, gue dan Andi pergi ke Blok M Plaza untuk menonton film. Sebagai jomblo-jomblo bapuk nggak punya pasangan kayak gue dan Andi, cara untuk menghabiskan weekend kami adalah dengan keluar bareng dan saling menghibur diri, daripada ngegalau sendirian di kost lantaran nggak ada kegiatan. Menjadi makhluk jomblo di usia yang hampir mendekati kepala 3 ini, sungguh suatu hal yang sangat mengenaskan...
Gue dan Andi sampai di Blok M pukul 13.10, sedangkan film yang akan gue tonton masih pukul 14.30. Masih ada waktu sejam lebih sebelum film kami diputar. Berhubung cacing dalam perut gue udah pada nyanyi keroncong minta jatah makan, gue dan Andi memutuskan untuk makan siang dulu. Mengisi perut sekaligus menghangatkan badan, supaya nanti nggak masuk angin pas nonton. Maklum, kami anak-anak ndeso, kena AC dingin dikit langsung meriang.
Gue dan Andi masuk di S*laria yang lokasinya dekat dengan bioskop. Saat mau naik ke balkon atas, gue dan Andi takjub sepenuh hati melihat salah satu pengunjung Solaria yang sedang duduk di meja dekat dengan tangga. Pengemis wanita yang kami temui tadi pagi di GBK ada di sana.
Gue ulangi...
Pengemis wanita yang kami temui tadi pagi di GBK ada di sana!!!!!!!!!
Ya, pengemis wanita itu ada di dalam S*laria. Jelas dia disana bukan untuk meminta-minta, tapi merupakan salah satu pengunjung di sana. Dia kini tidak lagi meracau nggak jelas, dia duduk manis sambil menikmati hidangannya. Dan yang lebih mengejutkan lagi, dia tampil rapi dengan baju bagus dan kalung (berwarna) emas melingkar di lehernya. Semua tampilan belel nya sudah berubah 180 derajat.
Gue dan Andi yang melihatnya hampir nggak percaya. Dari balkon atas, bolak-balik gue melihat ke arah wanita itu, siapa tau gue salah lihat. Tapi gue selalu mendapatkan kesimpulan yang serupa: Pengemis itu dan wanita yang sekarang makan di bawah adalah orang yang sama.
Orang yang sama!
Semprull!!!
Meskipun gue emang nggak ikut ngasih uang, tapi hal itu cukup menohok dada gue juga. Pengen rasanya gue minta lagi uang yang tadi pagi dikasih Andi dan Kim untuk dimasukkan ke dalam kotak amal musholla aja. Bagaimana seseorang bisa berubah sedrastis itu. Ternyata bukan hanya (oknum) politikus yang dapat melakukan kebohongan publik, bahkan seorang pengemis pun mampu melakukannya. Seharusnya, wanita ini dapat Piala Citra sebagai best actress untuk perannya dalam "Pengemis yang Tertukar".
Pengalaman gue ketemu pengemis wanita itu di Solaria gue ceritakan ke rekan-rekan di kantor. Dan ternyata, Yudha, rekan satu kantor gue, juga mengalami hal yang sama. Bahkan lebih ekstrim lagi. Yudha pernah ketemu pengemis wanita itu lagi jalan-jalan, dengan mententeng tas belanjaan di Sarinah!
Ngehe'!!!
KAMU SEDANG MEMBACA
Random Talk
HumorQ : Apa itu Random Talk? A : Random Talk adalah gue berbicara tentang keseharian gue, hal-hal yang pernah gue alami, mulai dari bocah sampe dewasa Q : Apa bedanya dengan Kampus Koplak? A : Kampus Koplak khusus bercerita tentang kehidupan kampus gue...