Chapter One

770 43 11
                                        


Dinginnya malam ini membuatku bergidik. Salju yang mulai turun lebat tak membuat Ayah memperlambat langkah kakinya. Aku memeluk erat Alfie-boneka beruang berwarna coklat tua milikku.

Alfie adalah  boneka kesukaanku sejak pertama kali Ibu memberikannya padaku saat natal tahun lalu. Alfie juga lah yang menjadi sahabatku satu-satunya sejak Ayah bilang bahwa Ibu pergi jauh meninggalkan kami.

Aku rindu Ibu. Aku masih ingat wajah pucat Ibu saat aku terakhir kali melihatnya. Ayah bilang Ibu sedang lelah dan aku tidak boleh mengganggunya. Tapi meskipun terlihat lelah, Ibu tetap tersenyum saat melihatku datang membawa bunga mawar merah muda kesukaannya.

Bulu lembut di tubuh Alfie kembali menyentuh hidungku. Membuatku lagi-lagi bersin dan hampir tersandung kakiku sendiri.

Ayah menghentikan langkahnya, lalu berlutut di hadapanku. Wajahnya terlihat lelah. Matanya merah seperti mataku saat aku menangis karena Ibu bilang aku tidak boleh makan es krim hari ini.

"Daddy?" Ujarku pelan.

Ayah mengangkat wajahnya, memandangku dengan sedih. Air mata meluncur di sudut-sudut matanya.

"Yes, baby girl?" Jawabnya sembari tersenyum. Tangannya sibuk mengaitkan kancing jaket dan mengeratkan syal yang tengah kupakai. "Are you cold?"

Aku mengangguk. "Where are we going?" tanyaku untuk yang kesekian kalinya. Pertanyaan sama yang kuajukan sejak Ayah menjemputku dari sekolah dan langsung menuju ke bandara tanpa membawa apapun, kecuali Alfie dan tas sekolah ku yang berisi buku gambar dan kotak pensil warna.

"You'll know in a minute. We're almost there." Balasnya dengan suara serak. "Better?" tanyanya lagi.

Lagi-lagi aku mengangguk. Ayah mencium keningku, lalu kembali berdiri dan melanjutkan perjalanan kami.

Ayah menggendongku saat kami hendak berbelok di sebuah jalan. Aku memeluk erat leher Ayah dengan Alfie di antara kami. Aku memperhatikan bangunan-bangunan yang kami lewati. Beberapa diantaranya  tanpa lampu seperti tak berpenghuni.

Aku sedang menghitung jumlah bangunan-bangunan itu saat Ayah kembali berbelok, kali ini memasuki sebuah jalan kecil, lebih kecil dari jalan yang tadi kami lewati. Jalan kecil kali ini hanya berisi rumah dengan tembok yang beberapa sudah rusak.

Ayah memperhatikan satu persatu pintu-pintu rumah tersebut, kemudian berhenti di depan sebuah pintu kayu tua yang hampir rusak. Tembok di sekelilingnya pun sudah mulai hitam dan berjamur.

Aku mengernyitkan hidungku, mencoba menghalau bau tidak enak yang menguap di sepanjang jalan kecil itu.

Ayah mengetuk pintunya beberapa kali, hingga suara berderit mengerikan yang berasal dari pintu itu terdengar. Seorang pria yang belum terlalu tua muncul dari balik pintu itu. Wajahnya terkejut melihatku dan Ayah.

"David?" Ujarnya menyebut nama Ayah dengan suara yang aneh.

Ayah mengangguk, lalu menurunkanku dari gendongannya. Aku meronta, terlalu takut untuk menginjakkan kaki disana. Tapi Ayah sepertinya tak melihat ketakutanku, karena Ayah tetap menurunkanku.

Aku berdiri di depan Ayah, tanganku mencengkeram kaki Ayah kuat-kuat. Aku menengadahkan kepalaku dan melihat Ayah mengeluarkan kertas dari saku di dalam jaketnya.

"$150.000. Cukup untuk keperluan makan, pakaian dan sekolahnya beberapa bulan kedepan. Aku akan mengirimnya lagi, kau tidak perlu khawatir. Dan belilah rumah yang lebih baik." Ujar Ayah dalam bahasa yang tidak kumengerti.

Pria di hadapanku dan Ayah menerima kertas yang Ayah berikan sembari menyeringai.

Ayah kembali berlutut dan memelukku dengan erat. Kali ini Ayah tidak menahan tangisannya.

Aku tidak tahu kenapa Ayah menangis, tapi melihat Ayah menangis, membuatku ingin menangis juga. Aku memeluk Ayah tak kalah erat. Mencoba mendengarkan kata-kata yang sejak tadi Ayah ucapkan dengan tidak jelas karena bibirnya tak henti-henti mencium rambutku.

Aku menarik jaket yang Ayah kenakan. "Daddy?"

"I'm sorry, baby girl." Ujarnya. "I'm so sorry." Lanjutnya berulang-ulang mengucapkan kata-kata itu.

"Daddy, you scared me." Protesku yang kini menangis ketakutan.

"I'm sorry. I love you so much, baby girl."  Ujarnya, kemudian menjauhkan tubuhnya dari tubuhku. Memisahkan pelukan kami. "Please remember that I always love you. And forgive me." Lanjutnya kemudian dengan cepat bediri.

Aku panik dan ketakutan melihat Ayah yang  mulai memundurkan langkahnya. Ayah tidak mungkin pergi tanpaku. Ayah tidak mungkin meninggalkan ku di sini. Aku ingin melangkah maju dan meraih Ayah, tapi sebuah tangan yang kuat menahanku.

Aku menangis semakin keras. "Daddy, don't leave me, please! I'll be a good girl, I promise you. Daddy!" Teriakku saat Ayah mengucapkan I love you dan I'm sorry untuk terakhir kalinya sebelum akhirnya berbalik dan berlari tanpa melihat ke arahku lagi.

Aku meronta saat pria pemilik rumah tadi  menggendongku dan membawaku masuk ke dalam rumahnya.

Aku tidak ingin di sini! Aku ingin Ayah! Aku ingin pulang!

Pria itu menurunkanku. Kedua tangannya mencengkeram erat pundakku.

"I am your uncle." Ujarnya terbata-bata. "Mother?" Ujarnya lagi sembari menunjukku dengan jari yang kuku-kukunya terlihat kotor. "I am brother!" Lanjutnya.

"No! I want my Daddy! I want to go home with my Daddy!" Teriakku.

"Aishhh!!!" Sahutnya frustasi. Tangannya menggaruk kepalanya dengan kasar. "Mulai sekarang kau harus menggunakan bahasaku jika ingin bicara. Dan kau harus mempelajarinya jika ingin tetap hidup di sini. Mengerti?"

Pria itu berdiri tegak dan memastikan bahwa dia sudah mengunci semua pintu dan jendela rumahnya. Setelah yakin semua terkunci, pria itu kembali menghampiriku sembari tersenyum.

"Welcome to Seoul, Lee Hea Ae!" Ujarnya kemudian duduk di sofa busuk yang ada di depan televisi berukuran kecil, sembari meminum minuman langsung dari botol dan tertawa keras.

***

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 14, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Seoul's Whore Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang