"Kau masih disini?"
Sebuah suara mengusik ketenangan Kyuhyun yang terpaksa membuat dirinya mengalihkan pandangan dari laptop yang selama ini ada dalam fokusnya. Di hadapannya ada Jongwoon. Pria itu bukan lagi barista di coffee-shop ini. Pria itu memutuskan berhenti dan membuka sendiri kedai kopinya. Kyuhyun tidak habis pikir kenapa pria yang memiliki kedai kopi sendiri justru mampir ke kedai kopi lain untuk menikmati secangkir espresso.
"Here I am," ujarnya sambil mengangkat bahu. Laptop yang ada di hadapannya sudah berpindah dalam mode hibernate di atas meja dalam posisi tertutup. "Ini rumah keduaku. Dan kau sudah lama tahu itu. Tempat ini selalu menjadi pelarianku setelah menjalani satu hari penuh kesibukan."
"Kurasa kehadiranmu disini bukan lagi untuk mencari ketenangan atau pelampiasan kesibukanmu."
"Maksudmu?"
Jongwoon menaikan bahunya. Lalu menyeruput espresso panas itu. Sementara, Kyuhyun masih diam menuntut penjelasan.
"Kau menunggu."
Kyuhyun tidak menuntut penjelasan lebih lanjut lagi dari Jongwoon. Baik pria itu maupun dirinya sendiri sangat paham akan apa atau siapa yang sedang dibicarakan saat ini. "Aku tidak menunggu dia."
"Ayolah Kyuhyun-ah, aku tidak senaif itu."
"I'm just stay for a while, okay?" sergahnya.
"Dua tahun bukan waktu yang sebentar. Nichan pergi saat natal dua tahun lalu. She's long gone and already moved on maybe. Apakah kau nyaman dengan kondisimu ini?"
Jujur, Kyuhyun selalu gelisah dan tidak pernah nyaman dalam kondisi apapun selepas Nichan pergi. Ia sebenarnya sudah lelah dan ingin menyerah pada perasaanya. Tapi, entah kenapa dia selalu tidak punya daya untuk mengakhiri ini semua.
"Entahlah, aku sudah menjadi terlalu buta untuk ini semua."
Jongwoon merasa jengah menghadapi sahabat yang duduk di hadapannya ini. Dia merasa Kyuhyun menjadi sangat bodoh. Masih banyak gadis yang berkeliaran diluar sana. Masih banyak gadis yang bahkan bersedia melakukan apapun agar bisa menjadi kekasih hidupnya. Jongwoon berani bertaruh bila hanya gadis bodohllah yang menolak seorang Cho Kyuhyun. Wajahnya tampan dan tidak berbanding terbalik dengan prestasinya. Lulus dengan cumlaude hanya dalam 3 tahun di Universitas Stanford dan di umurnya yang baru 24 tahun, dia sudah memenangi beberapa penghargaan arsitektur dan dia termasuk dalam arsitek muda terbaik. Pendapatannya perbulan ditambah dengan latar belakag keluarganya yang memang sudah termasuk dalam keluarga terpandang menambah nilai jual pria itu semakin tinggi. Dan dia juga pria setia -terbukti dengan sikapnya yang masih saja menunggu hingga dua tahun ini. Tidak perlu diragukan lagi, Cho Kyuhyun adalah pria yang sempurna untuk ukuran manusia. Tapi entahlah. Pria ini serasa dibutakan oleh cintanya pada gadis yang sekarang ini entah berada dimana.
"I'll make it simple for you. Stay or move on?"
Kyuhyun terdiam. Jongwoon benar, dia harus memutuskan. Tapi ini tidak sesederhana itu. Saat kau sudah memilih stay, kau akan tiba-tiba merasa sangat menyesal dan berusaha untuk move on, tapi kau sudah tidak bisa melakukannya lagi. Perasaanmu sudah mengurungmu. Lalu anehnya, saat kau memilih move on, yang ingin kau lakukan hanyalah terus memikirkannya dan mengenangnya.
"Kau tahu, kan apa yang akan terjadi saat kau ingin melupakan seseorang? The more you try, the less it works!"
Jongwoon menyerah. Dia tidak tahu harus melakukan apa lagi atau mengatakan apa lagi agar pria pintar tapi bodoh ini bisa kembali sepenuhnya sadar dan melanjutkan hidupnya. Yang bisa ia lakukan kemudian hanyalah berdecak dan kembali menikmati esspresso panasnya.
Kyuhyun tersenyum saat melihat Jongwoon yang kembali menyerah untuk menariknya dari semua ini. Dia mengalihkan pandangannya keluar jendela. Dia melihat titik putih itu lagi. Mungkin ini hanya ilusinya, tetapi ia melihat sebuah serpihan putih melayang kesepian di udara. Mungkin ini hanya ilusinya, tetapi ia yakin itu adalah ampas salju yang tersisa di langit. Salju itu jatuh di bibir jendela dan meleleh sedetik kemudian. Ia tersadar akan satu hal.
Salju yang memulai kisah ini, salju pula yang menutupnya.
Kemudian, ia sudah memutuskan. Ia belum ingin melanjutkan hidupnya. Ia masih ingin tetap tinggal bersama perasaan dan kenangannya.
Ia masih rindu.