BAB 8

228 12 3
                                    

Pagi-pagi begini matahari sudah terik sekali. Langit Jakarta sangat cerah, secerah wajah Ray yang tersenyum lebar karena mendapati punggung Cakka berada di antara kerumunan anak-anak yang berjalan masuk ke sekolah. Ia langsung berjalan cepat melewati anak-anak itu untuk menyusul sahabatnya, kemudian langsung menepuk pundaknya.

"Pagi!" sapa Ray dengan riang.

Cakka menoleh dengan tatapan datar, kemudian kembali fokus menatap depan.

Namun, Ray tidak mempermasalahkan itu. Berteman dengan Cakka selama ini sudah membuatnya kebal. Memang pada dasarnya dia terlalu cuek, selalu merasa membalas ucapan salam itu tidak penting. "Hei, bagaimana keadaan lo?"

"Memangnya gue kenapa?" tanya Cakka balik.

"Ah, baguslah. Kalau lo nanya begitu, berarti lo udah nggak inget lagi sama masalah kemarin, kan?"

Cakka bergidik. "Apaan sih, nggak jelas. Tentu aja gue masih marah."

Ray tertawa. Ia kembali menepuk pundak Cakka. "Nggak baik marah lama-lama, Kka. Muka lo udah jelek, entar tambah jelek aja. Rio juga pasti maafin lo kok kalau lo minta maaf."

Cakka mendengus. "Kayak muka lo nggak jelek aja."

"Gue nggak mau tahu, pokoknya lo sama Rio jangan berantem lagi. Gue mau kita semua akur. Berantem memang perlu, tapi untuk saling mengerti. Bukan buat ngibarin bendera perang," kata Ray. "Oke?"

Cakka memutar bola matanya, malas meladeni temannya yang satu ini. Kalau berdebat dengan Ray, selalu saja tak pernah bisa menang. Ray selalu memiliki alasan untuk mempertahankan pendapat-pendapat bijaknya. "Terserah lo deh, Ray."

Ray tertawa. "Inget, nggak ada marah-marah kalau ketemu Rio nanti."

"Iya, iya. Kapan sih lo berhenti ngomong? Ketularan Rio ya lo?" seru Cakka sambil menjotos pelipis Ray pelan.

Ray langsung membekap mulutnya dengan kedua tangan. Kemudian, menoleh ke arah Cakka, seolah-olah memperlihatkan bahwa ia sudah tidak berbicara lagi. Dan Cakka langsung tersenyum miring melihatnya.

"Nggak begitu juga kali," kata Cakka sambil menjitak pelipis Ray.

"Aduh! Sakit, tahu!" kata Ray sambil mengusap pelipisnya, namun setelah itu tertawa pendek. Temannya ini memang tak pernah bisa berlaku lembut pada siapapun.

-------

Devi mengerutkan dahinya melihat teman-temannya berkumpul di satu meja yang ada di sudut ruangan saat ia masuk ke dalam kelas. Aneh, tidak seperti biasanya. Namun, di sisi lain, Keke tampak mengobrol dengan Acha di kursi mereka yang terletak di dekat pintu kelas. Devi langsung menghampiri mereka berdua.

"Pagi, Ke, Cha," sapa Devi dengan wajah heran. "Itu ada apaan sih?"

Keke dan Acha menoleh ke arahnya.

"Eh, Vi, baru dateng lo. Itu si Icha, katanya nyokapnya habis pergi," kata Keke.

"Hah? Serius?" kata Devi kaget. Icha, teman sekelasnya yang terkenal sebagai gadis berkepang dua yang ceria. Devi juga tahu sih kalau ibunya sakit karena faktor usia, tapi tak menyangka akan tiba-tiba pergi begini.

"Iya, serius. Makanya dari tadi dia nangis terus," Acha membuka suara.

Devi manggut-manggut mengerti. "Kasihan banget."

Keke mengangguk. "Memang kasihan, padahal sehari-harinya dia nggak kelihatan sedih walau harus ngejagain nyokapnya sendiri. Bokapnya kan sibuk kerja, dan dia anak tunggal. Sekarang malah kayak begini."

"Kita nggak mau ngumpulin uang duka, Ke? Patungan aja sama sekelas!" kata Devi.

"Maunya sih begitu. Tadi kita berdua juga udah diskusi, nanti kita ngomong aja sama temen-temen kita. Biar ini jadi kejutan buat Icha," kata Keke tersenyum.

THE REAL HIM 2 [CERBUNG]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang