T H E . E S S E N C E

37 3 0
                                    

Ruang yang dingin. Ruangan antik itu teramat luas hingga butuh puluhan chandelier untuk sanggup meneranginya. Jalan panjang memotong ruangan ini yang ujungnya entah dimana. Ikatan bunga mawar putih tak berbau menghiasi pinggiran jalan nan-panjang itu. Pangkal dari jalan itu adalah sebuah pelaminan indah bertaburkan bunga mawar putih. Sofa indah dipenuhi ukiran -sepertinya diukir dengan sangat teliti- tampak seperti sebuah perjalan hidup. Sebuah tudung dari sutra terbaik serta ditaburi penuh oleh kelopak bunga mawar putih, menghiasi bagian atas sofa itu. Banyak bertebaran makhluk hidup diruangan ini. Setiap makluk bernafas di ruangan ini memiliki kesibukan sendiri. Entah itu kesibukan yang "berbau" busuk atau "harum" semerbak seperti bau mereka. Beberapa mahluk bernafas itu tampak misterius walau indah rupanya. Saling menyapa dengan ucapan manis dan senantiasa tumpah dari mulutnya. Mulut itu menyambil untuk mengubur kebencian dan kekecewaan yang terkubur di lubuk hatinya, apabila ia memiliki hati. Hati tak perlu berwujud bukan? Makhluk - makluk itu sering disebut manusia juga terkadang tak pantas disebut sebagai manusia. Berbagai kitab menyatakan-walau sering tak masuk akal-manusia adalah makhluk sempurna dintara makluk ciptaanNya. SEMPURNA yang sangat ditekankan itu terasa sangat menekan. SEMPURNA untuk tidak bercermin, SEMPURNA untuk mengkhianati apa yang sudah dipersatukan demi yang lebih mapan, SEMPURNA untuk meninggalkan apa yang telah ditakdirkan menjadi anugrah, SEMPURNA untuk membiarkan harta untuk mengubur kebenaran, dan SEMPURNA untuk menyangkal bahwa dirinya hidup. Apa ada terbesit pemikiran oleh "yang lain" tentang si mahluk sempurna? bahkan yang tercipta dengan empat kaki dapat melakukan kebajikan walau harus merangkak. Makhluk sempurna ialah yang memiliki dua tangan. Tangan yang mampu mengasah ketamakan pada besi tua yang berkarat hingga menjadi tajam. Dan besi itu, sesekali ia tancapkan kesemua makhluk termasuk sesamanya sampai pada waktunya ada besi yang lebih tajam dan besar melumpuhkan besi asahan itu. Manusia sang makhluk sempurna, selalu mengandalkan hukum rimba dibanding hukum ciptaannya sendiri yang terkubur dibalik tumpukan harta kebatilan.

Aroma busuk dan harum yang tak bertuan bercampur diruangan ini. Bukan berasal dari ribuan bunga yang menghiasi ruangan ini, melainkan dari benda yang seringkali disebut "hati manusia". Berada ditengah - tengah mereka mungkin dapat menghancurkan indra penciuman karena bau busuk lebih mendominan dibandingkan dengan bau harum yang ada. Menyingkir dari kerumunan mungkin adalah hal yang terbaik meski bau busuk itu masih tercium,

-DING! DING! DING!-

bunyi lonceng yang menyambil bunyi terbukanya pintu yang menutupi jalan yang panjang itu. Detik demi detik kerumunan saling bertanya- tanya dan membicarakan apa yang sedang terjadi-. Seketika ada bau yang mengalahkan semua bau yang ada di ruangan ini. aroma magis ini sunggung langka untuk ditemukan. Suatu keberuntungan untuk bisa mencium aroma ini sepanjang hidup. Untuk sesaat, setarik nafas rasanya bagai seabad lamanya. Ruang dan waktupun serasa terhenti karena aroma magis ini. tak salah lagi, aroma ini adalah aroma perawan. Cinta yang tulus menjadi pemikat utama dari bau yang ia tebarkan. Udara yang melewatinya sangatlah beruntung untuk menyentuh dan menggambil sebagian dari aroma yang ada. Perlahan sepasang manusia memberikan bayang tubuh mereka dari jauh tanda mereka sudah datang. Bunyi langkah kaki yang anggun mulai terlihat dari jauh. Bersamaan dengan dua anak kecil yang menari sambil menebarkan kelopak mawar putih, mereka memasuki ruangan menggah ini. Gaun putih dengan hiasan serba putih menghiasi si perawan. Warna putihpun menjadi warna kebesaran baginya. Sepatu merah menyentrik yang indah melindungi kakinya. Heranpun menyembur dari seluruh kepala makhluk yang ada di ruangan ini. Warna merah itu sungguh menggangu mata yang mulai terbuai dengan nuansa serba putih yang suci ini. berubahlah warna kelopak mawar putih yang bertebaran di jalanan menjadi warna yang sana dengan warna sepatu itu, warna merah. Sentuhan magis yang diciptakan sepatu itu mengubah segala yang tersentuh. Sesuatu sepertinya telah menyentuh ujung gaun putih itu. Warna merah perlahan menyelimuti gaun putih dan mengubah segala yang berwarna ptih pada tubuh si perawan. Bisik - bisik mulai menghiasi kerumunan yang kagum. Telinga mulai menjadi jala bagi bisik - bisik yang tak bertuan yang mampu membuat mahluk sempurna saling membunuh. Sesuatu telah membuat si perawan merah tertarik. Ketertarikannya itu telah membuatnya menghentikan langkah kalinya yang sebentar lagi akan sampai ke pelaminan. Seekor ular putih melintas di hadapannya dengan sejuta maksud. Tangannya menjuntai kebawah untuk merai ular itu dengan lentik dan anggun. Diangkatnya ular itu hingga setinggi wajahnya. Lemas dan tak menimbulkan bunyi desis, ular itu mengering menjadi abu dan hialng begitu saja. Si perawan melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti tersebut. Satu per satu anak tangga ia lewati, satu, dua, tiga. Mata hitamnya mencerminkan sebuah sofa yang terukir kebahagiaan sepasang kekasih. Lantas senyum pasi tercetak jelas dibibirnya. Ia melangkah dengan pelan seolah - olah ini adalah kesempatan terakhir dalam hidupnya. Seperti duduk adalah hobinya, angin dingin berhembus lembut kesetiap sudut. Selayaknya sedang mencari mangsa, angin itu hanya berhembus di area leher. Bersamaan dengan angin magis itu, bau nan busuk menguasai ruangan ini. ribuan bunga ikat layu seketika. Arah jam 3, wanita yang sudah berkepala empat memberanikan diri untuk menatap si perawan. Tatapan sendu tercermin dari bola mata si wanita. Bertemulah dua pandangan dari dua pasang bola mata yang berbeda yang sempat terlihat sepaham. Dedam, amarah, kesal, kecewa memenuhi bola mata si perawan. Satu tarikan nafas yang menyambil sebuah suingan senyum di bibir seolah memanggil si wanita ke hadapannya. Langkah kikuk yang maju perlahan - lahan seolah mendorongnya untuk maju kedepan. "Ibu..." suara pelan nan-sendu keluar dari antara lipatan bibir si perawan. Meneteskan air mata berwarna merah yang baunya seperti darah segar dari lembu yang baru disembelih. Kecepatan bagaikan peluru tembak, tangan si perawan dipenuhi dengan darah ibunya yang tercekik. Dalam dan semakin dalam, kuku tangan si perawan menancap di leher wanita parubaya itu. Tetes demi tetes mengalir ke bawah membentuk sungai kecil bermata air dri tubuh yang mati tergantung lemas di tangan siperawan. Kembali angin membawa tubuh tak bertuan itu. Terbang menjadi abu dan menghilang. Mungkin itu adalah makanan terlezat yang pernah ada atau kepuasan dari sebuah dendam lama sampai menjilat darah yang mrnghiasi tangan indah si perawan. Tapi toh tidak demikian.

Satu per satu orang orang mati di tangannya yang lentik. Dinding putih ruangan di hiasi percikkan - percikkan darah dengan bau yang berbeda - beda. Suasana ruangan terlihat menyeramkan. Bau anyir tersebar dimana - mana. Jijik? Sudah pasti. Seakan jagat raya ini ditentukan oleh siperawan dan ruangan tanpa nama ini. sulit di artikan dengan kata - kata. Kabur mungkin adalah kata yang tepat disaat hal seperti ini terjadi. Tentunya kebenaran tak berpihak dengan pemikiran. Langkah pun tak berani memindahkan posisi dimana ia berada saat sudah menatap si pemilik bola mata hitam yang duduk diatas sana. Jari - jari yang sudah siap menerkam jiwa siapapun memainkan jarinya kekiri dan ke kanan. Jiwa - jiwa yang kini sudah mati tak dapat lagi kembali keraganya yang telah tersapu angin. Kehilangan kepekaan tuk memebaui kehangatan, kebaikan bahkan kebahagiaan dunia. Tak memiliki kesempatan tuk tidur dengan seorang lelaki yang dicintai yang hanya tersenyum tanpa arti melihat yang hidup mengandung seorang anak. Menonton semua hal tanpa raganya menyambil yang memiliki raga untuk sanggup menangisi yang mati dan mensyukuri yang hidup. Kepekaan yang dimiliki sebatas yang beraga menimbulkan keirian bagi yang tak beraga. Hanya mampu untuk bergeming di dalam sunyi yang sepi. Seutas pengharapan dari setiap mahluk hidup hanya satu, mati. Mati sendiri dengan tenang tanpa harus menyaksikan wajah bahagia yang tertutup topeng kesedihan yang kapan saja dapat dibuang. Apalagi harus mati dan tidak dikubur dengan baik. Dunia memang berpihak kepada apapun yang berjalan sewajar. Hidup timbul dari berbagai asal. Resmi yang barbau busuk dan haram yang berbau harum. Bila dapat memilih, raga haram bisa saja memilih untuk "tidak hidup" dan menjalankan "jalan mudah" yang memandangnya monster dan sampah yang terbuang yang menciptakan jalan hidup yang dipenuhi kebencian dan dendam. seperti kutu yang mencari kematian yang siap diinjak kapan saja untuk meninggalkan raganya. Tapi toh si penginjak merasa risih dan tidak menginjaknya karena jijik itu akan mengotori kakiknya. Kehidupan imajinaitf yang di utarakan manusia-sang mahluk sempurna- membawa ketidak sempurnaan. Siperawanpun berjalan sendiri keluar ruangan yang tubuhnya dipenuhi ribuan cipratan darah sampai menutup sempurna pada bibirnya. Semua berakhir begitu saja. Cerita yang belum memiliki epilog pun berakhir. Seperti bagaimana bakteri berkembang, akhir cerita ini sunggung tak jelas. Kebenaran dan penjelasan tak ada tertulis satu hurufpun. Gadis itupun menutup buku berwarna merah yang tebalnya tak seberapa. Warna merah seperti darah segar menutup sempurna buku itu. Sesuatu menarik bibirnya ke samping yang membentuk sebuah senyum pasi tanpa arti. Sebuah goresan huruf klasik tertulis inda di bagian depan buku merah itu. Goresan - goresan itu mrnuluskan sebuah kata yang menyelaraskan antara tulisan itu dengan cerita yang berasa didalamnya. Jari - jari lentik mulai mengeja huruf - huruf itu. Bibir indah yang tadi tersenyum bergerah membentuk sebuah ejaan indah yang mengakhiri sebuah cerita. "THE WEDDING." Eja bibirnya. Kepuasan terlihat matang di wajahnya. Seperti sebuah ikatan yang menyesakkan hati telah terlepas dari hatinya. Meninggalkan buku itu dimeja dan pergi sambil menenteng tas. Detik demi detik terlewat untuk memikirkan buku itu. Apa rupanya? Bukankah tak cukup dijelaskan oleh kata - kata? Angin yang berbau anyir bertiup cukup kencang hingga membuka lembaran buku itu. Angin yang misterius itu juga menyentuh lembut tengkuk lehermu dengan pelan seperti ini membisikkan sesuatu. Menghentikan satu lembar yang menunjukkan halaman yang menuliskan, "si perawan sedang mengawasimu." Dan gambar pendukung cerita yang menggambarkan si perawan sedang menatap si pembaca dengan sedu yang teraduk dengan dendam yang haus darah segar. Tangan mistis tak kasat mata bergerak cepat menyentuh lehermu menyisakan rasa kering ditenggorokan seperti ada yang menyerap jiwamu. Bisikan tawa ringan terngiang di telingamu hingga malam membawamu tidur. Apakah kau adalah penutup dari cerita ini?



Vote if you love this story💗

THE WEDDING (one shot)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang