Atmosfer ruang rapat tampak dingin. Gelagat ragu, marah, serta rasa tak enak begitu mendominasi mimik-mimik para orang-orang yang ada disana.
Berhadapan dengan wali dari seorang murid bukanlah hal mudah bagi para guru maupun komite siswa tersendiri, ditambah lagi jika wali dari murid itu menampakan kemurkaan mereka.
"Bun.. udahlah, ini salah Prilly kok lagipu-"
"Salah? Apa kamu melakukan hal-hal tidak senonoh di sekolah? " Suara arogan itu menginterupsi bisikan Prilly untuk berhenti, ia menggelengkan pelan kepalanya sembari menggigit bibir bawahnya prustasi.
Kalau sudah seperti ini mau salah atau tidak salah, bundanya, Nike, tidak akan mau menyerah sampai titik terakhir.
"Eum, begini ibu Nike, Prilly memang tidak salah tapi-"
"Nah, kalau begitu kenapa harus mengadakan rapat kedipsilinan untuk anak saya?" Nike mengibas-ngibaskan sebelah tangannya yang bebas kedepan wajah, bukan karena suhu di ruangan yang terlalu pengap, namun hatinya, hati Nike sudah membara akibat ulah pihak sekolah terdahap putrinya, Prilly. Nike melempar amplop berisi lembaran kertas yang ia dapat tadi pagi keatas meja dengan gaya khasnya, "dan ini! Apa ini? Berani sekali kalian membuat surat kepindahan tanpa ada persetujuan dari saya?" Sedangkan Prilly hanya mampu menghela nafas pasrah.
"Kami bisa jelaskan itu ib-"
"Oh astaga, apa Prilly pernah melanggar peraturan? Membolos? Mendapat nilai merah, atau-"
"Prilly adalah anak yang baik," kini giliran Fani, wali kelas Prilly yang tampak anggun dengan balutan seragam dinas berwarna biru malamnya, "dia salah satu anak yang pintar, juga rajin didalam kelas." Yang lain hanya mengangguk, sedangkan Nike tampak sudah mulai tertarik untuk mendengar penjelasan ibu guru yang cantik itu.
"Tapi, kami sekali lagi minta maaf, kelebihan Prilly yang jadi masalahnya." Sambungnya dengan seksama.
"Kelebihan? Apa kalian menghina anak saya sekarang?" Nike mendengus sebal, meskipun jarang sekali menemui Prilly karena kesibukannya, namun yang namanya anak, bukankah sudah seharusnya sebagai ibu dia perduli?
"Bunda..." Prilly memelas, berharap percakapan ini segera berakhir dan bundanya akan mengalah untuk kesekian kalinya.
Ini sudah sering terjadi,
"Prilly, kelebihan atau kekurangan itu bukan masalah yang tidak bisa diterima oleh pihak sekolah, apa kamu merendahkan diri kamu sekarang? Bunda sudah mengeluarkan banyak biaya untuk ini." Tatapan manik Nike mengintimidasi. Nike bukan tak sayang pada anak semata wayangnya itu, bahkan sangat menyayanginya. Ia tak ingin Prilly merasa terbebani karena perbedaannya dengan anak-anak lain. "Prilly tidak cacat, dia bisa menjalani kehidupan normal dan semua ini bukan yang ia mau. Pihak sekolah memindahkan dia seolah-olah membuangnya, bukankah kalian harusnya mampu membantu menjaga Prilly? Sekali lagi saya tekankan, Prilly bisa menjalani kehidupannya dengan normal."
"Bukan maksud kami membuang, ibu Nike." Sang kepala sekolah nampak ragu-ragu, bagaimana pun juga Nike adalah salah satu peyumbang dana terbesar untuk sekolah, ia tak mungkin mengecekawan keluarga yang satu ini. "Kami menyayangi Prilly seperti murid yang lainnya, tapi, kami hanya takut siswa-siswa yang ikut terbawa dengan halusinasi Prilly. Saat ini mereka diradang ketakutan karena masalah yang Prilly timbulkan kemarin lusa.
Kemarin lusa?
Oh, Prilly mulai ingat saat itu...
Hujan turun sangat deras, suasana kelas masih dilingkupi rasa keterkejutan dengan apa yang Prilly lakukan terhadap mejanya.
Prilly sendiri benar-benar terkejut menyadari tangannya sudah dilumuri dengan darah akibat terlalu keras menekan dan mengukir penanya keatas meja.

KAMU SEDANG MEMBACA
[NF] The Times
TerrorDunia bukan hanya berisikan makhluk yang mampu terlihat dengan mata telanjang. di dunia, mereka tak pernah menyadari hal-hal lain yang tak pernah mereka lihat. kecuali pada mereka yang istimewa, mampu melihat hal-hal tak kasat mata, di alam yang ber...